Kelahiran Senja Putri Baskara bukanlah awal, melainkan akhir.
Awalnya, ia adalah janin yang dikandung ibunya, janin yang membawa badai-badai kehadirannya merenggut nyawa kakak laki-lakinya, Fajar Putra Baskara, menghancurkan bisnis keluarga, dan melenyapkan kebahagiaan sang ibu. Sejak hari pertama dirinya hadir, Senja adalah bayangan yang dicap sebagai pembawa sial.
Satu-satunya cahaya di hidupnya adalah sang ayah. Pria yang memanggilnya 'Putri' dan melindunginya dari tatapan tajam dunia. Namun, saat Senja beranjak dewasa, cahaya itu pun padam.
Ditinggalkan sendirian dengan beban masa lalu dan kebencian seorang ibu, Senja harus berjuang meyakinkan dunia (dan dirinya sendiri) bahwa ia pantas mendapatkan kebahagiaan.
Apakah hati yang terluka sedalam ini bisa menemukan pelabuhan terakhir, ataukah ia ditakdirkan untuk selamanya menjadi Anak pembawa sial? ataukah ia akan menemukan Pelabuhan Terakhir untuk menyembuhkan luka dan membawanya pada kebahagiaan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kegelapan malam, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
14
Tujuh bulan telah berlalu sejak Damar dan Senja resmi pindah ke rumah baru. Kehidupan mereka berdua terasa begitu damai dan intim, ibarat sebuah taman yang kini terbebas dari hama. Untuk merayakan kedamaian itu, Fatimah ibu Damar, mengadakan acara syukuran dan silaturahmi kecil di rumahnya.
Senja, dengan senyum yang tulus dan pancaran mata yang hidup, bergerak lincah di dapur Fatimah . Kepercayaan dirinya terlihat jelas. Ia mengenakan gaun panjang berwarna beige yang menonjolkan kulitnya yang bersih. Ia bukan lagi sosok yang menyusut dan gemetar.
"Biar Ibu saja yang memotong kuenya, Nak. Kau duduk saja dengan Damar," perintah Fatimah lembut, sambil mengusap punggung Senja.
"Lihatlah Damar, dia sudah tidak mau lepas dari sisimu sejak pindah rumah! Ibu senang sekali melihat kalian bahagia."
"Saya juga senang, Bu. Saya merasa punya rumah yang sebenarnya sekarang," jawab Senja tulus.
Di antara tawa dan obrolan hangat dari kerabat dekat, ada satu sudut yang menyimpan udara dingin: tempat di mana Tante Ratih bibi Damar yang paling julid dan suaminya, Paman Heru, duduk. Mereka mengamati Senja dari jauh dengan tatapan yang penuh penilaian.
Setelah sesi makan siang, Tante Ratih menarik Fatimah ke sudut ruangan yang sedikit terpisah, memastikan suaranya cukup lantang untuk didengar Senja yang sedang menyajikan teh.
"Fatimah , bukannya aku mau ikut campur, ya," Tante Ratih memulai, nadanya seolah berbisik rahasia, padahal keras. "Tapi, Senja itu sudah setahun lebih menikah, kan? Damar sudah mapan, sudah pindah ke rumah yang lebih besar. Segalanya sudah sempurna. Kapan kabar baiknya? Ini sudah lewat batas wajar, Fatimah ."
Tante Ratih mencondongkan tubuhnya, matanya menyipit penuh spekulasi. "Sudah diperiksa? Jangan-jangan trauma masa lalu yang ia alami itu tidak hanya mengenai mental, Fatimah . Kadang, pikiran yang sakit bisa menutup rezeki rahim. Di usia Senja yang masih muda, kalau terlalu lama menunda, nanti Damar cepat tua lho menunggu momongan. Apa tidak takut Damar bosan dan mencari yang lain? Anak itu adalah pengikat terkuat."
Fatimah berusaha tersenyum, tetapi rahangnya mengeras. "Ratih, aku sudah bilang, anak itu rezeki dari Tuhan"
"Iya, rezeki Tuhan, tapi harus diusahakan! Coba tanyakan, apa Senja benar-benar ingin anak? Atau jangan-jangan dia masih takut?" Tante Ratih melirik ke arah Senja. "Bagaimana pun, dia kan dulu datang dengan beban masalah. Tugasnya sekarang adalah membayar beban itu dengan memberikan Damar keturunan. Kasihan Damar, sudah berkorban banyak!"
Seketika, seluruh tubuh Senja yang sedang membawa nampan teh menegang. Rasa sakit yang tajam menusuknya. Kata-kata 'beban' dan 'membayar' itu adalah warisan Paramita, yang Senja pikir sudah ia kubur. Ia merasa kembali menjadi gadis kecil yang tak berharga. Paramita tidak perlu ada di sini, suaranya sudah merasuk ke orang lain, pikir Senja.
Senja hampir menjatuhkan nampan itu, tetapi Damar sudah bergerak cepat. Damar muncul dari belakang, mengambil nampan dari tangan Senja, dan meletakkannya di meja. Ia berdiri membelakangi istrinya, menghadap langsung ke Tante Ratih.
Namun, Fatimah bertindak lebih dulu, memberikan tameng emosional. Ia memotong ucapan Tante Ratih dengan nada yang dingin dan otoritatif.
"Cukup, Ratih," kata Fatimah . "Kami sudah tahu semua tentang masa lalu Senja, dan kami menerimanya. Kami sudah ke dokter, dan Senja serta Damar keduanya sehat. Hasilnya luar biasa. Masalah keturunan bukan urusanmu, bukan urusan kami. Itu adalah hadiah Tuhan, bukan pembayaran utang."
Fatimah meraih tangan Senja yang kini berdiri di sisinya. "Aku lebih bahagia melihat menantuku sehat mental, tertawa setiap hari, dan mencintai anakku dengan tulus, daripada harus melihatnya tertekan hanya untuk memenuhi ekspektasi orang lain. Ratih, ketahuilah, kebahagiaan Senja adalah kebahagiaan Damar, dan itu lebih dari cukup untukku. Jangan pernah lagi bicarakan trauma atau pembayaran utang di rumahku."
Fatimah memberikan tatapan keras yang membuat Tante Ratih tersentak mundur, terdiam karena tidak menyangka Fatimah akan seprotektif itu.
Damar, kini, menyempurnakan pembelaan itu dengan menatap Tante Ratih tanpa emosi, namun suaranya membawa otoritas penuh.
"Tante Ratih, kami tidak pernah menunda. Kami sedang menikmati fase pernikahan yang penuh kebebasan dan kasih sayang. Dan ya, kami memang sedang menunggu. Kami ingin memastikan, saat anak itu hadir, ia akan melihat orang tua yang saling mencintai, yang bebas dari stres dan tekanan, yang tidak terburu-buru oleh suara-suara sumbang dari luar."
Damar merangkul Senja, menariknya erat ke sisi tubuhnya, seolah menyalurkan seluruh kekuatannya. "Tante tidak perlu khawatir soal warisan atau harta. Saya menikahi Senja bukan karena janji keturunan atau uang. Saya menikahi Senja karena cinta. Dan tugas kami saat ini adalah menghargai satu sama lain, bukan memaksakan diri untuk memenuhi target biologis."
"Anak itu adalah bonus, Tante. Bukan inti dari pernikahan kami," tegas Damar, menatap Senja dengan tatapan penuh pemujaan. "Kami sudah memiliki segalanya cinta, kedamaian, dan keutuhan. Kehadiran anak hanya akan menambah meriah kebahagiaan yang sudah kami miliki."
Tante Ratih sepenuhnya bungkam. Sindirannya hancur total di bawah dinding cinta dan logika yang dibangun oleh Damar dan Fatimah .
Senja mendongak, merasakan kehangatan pelukan Damar. Air mata yang sempat tertahan kini menetes, tetapi ini adalah air mata kelegaan dan rasa terima kasih.
"Jika ini terjadi lima tahun lalu, aku akan lumpuh. aku akan lari dan percaya bahwa kata-kata 'beban' dan 'mandul' adalah takdirnya. aku akan percaya bahwa ia harus membayar cintanya. Tetapi kini, aku harus berdiri tegak. Suamiku telah mengajarkanku bahwa aku sangat berharga, aku dicintai, dan tubuhku adalah milikku sendiri, bukan aset yang harus menghasilkan keturunan. Aku menyadari, jika ibu benar-benar telah dikalahkan. Bukan oleh penjara, tetapi oleh keluarga yang tidak bisa diserang oleh kebencian." batin senja
Senja menarik Damar menjauh, meraih tangan Fatimah , dan tersenyum tulus. "Terima kasih, Bu. Terima kasih, sayang. Aku sudah baik-baik saja."
Ia memakan sepotong kuenya, menikmati setiap gigitan. Sindiran itu cepat berlalu, dan kebahagiaan mereka tetap utuh, terbukti tak tergoyahkan.
Damar dan Senja sedang menikmati pernikahan mereka, siap menunggu rezeki anak pada waktu yang tepat.