NovelToon NovelToon
Ketika Takdir Menemukan Langit

Ketika Takdir Menemukan Langit

Status: sedang berlangsung
Genre:Crazy Rich/Konglomerat / Cinta pada Pandangan Pertama / CEO / Office Romance
Popularitas:4.4k
Nilai: 5
Nama Author: Lacataya_

Embun Nadhira Putri, 28 tahun, terjebak antara tuntutan pekerjaan dan desakan keluarganya untuk segera menikah. Ketika akhirnya mencoba aplikasi kencan, sebuah kesalahan kecil mengubah arah hidupnya—ia salah menyimpan nomor pria yang ia kenal.

Pesan yang seharusnya untuk orang lain justru terkirim kepada Langit Mahendra Atmaja, pria matang dan dewasa yang tidak pernah ia pikirkan akan ia temui. Yang awalnya salah nomor berubah menjadi percakapan hangat, lalu perlahan menjadi sesuatu yang jauh lebih berarti.

Di tengah tekanan keluarga terutama sang Mama, rutinitas yang melelahkan, dan rasa takut membuka hati, Embun menemukan seseorang yang hadir tanpa diminta.
Dan Langit menemukan seseorang yang membuatnya ingin tinggal lebih lama.

Terkadang takdir tidak datang mengetuk.
Kadang ia tersesat.
Kadang ia salah alamat.

Dan kali ini…
takdir menemukan Langit.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lacataya_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 27 – Dan Dunia Mulai Bergeser

Keheningan yang menggantung di ruang rapat kecil itu akhirnya pecah ketika Papi Arga menyandarkan tubuhnya ke kursi, menautkan jari-jarinya di atas meja, dan menatap Embun dengan tatapan yang tidak bisa disalahartikan sebagai apa pun selain ketertarikan profesional yang mendalam.

“Kapan kamu bisa mulai kerja?” Suaranya berat, tegas, namun ujungnya terdengar sangat antusias. “Kalau bisa… secepatnya.”

Embun sempat mengerjap, seolah memastikan bahwa ia tidak salah dengar. Pipinya sedikit memerah, bukan karena malu, tapi karena lega dan syok yang datang bersamaan.

Ia merapikan duduknya, menaruh kedua tangan di atas pangkuan, lalu menjawab dengan nada sopan namun penuh semangat yang sulit disembunyikan:

“Saya bisa mulai hari Selasa depan, Pak. Hari Senin saya ingin pamit dulu kepada teman-teman dan menyerahkan tugas akhir saya di perusahaan sebelumnya.”

Papi Arga mengangguk pelan, wajahnya melembut dengan senyum kecil yang nyaris tidak bisa ia tahan karena puas telah menemukan permata langka.

“Baik. Selasa kamu sudah bisa masuk ke Atmaja Group.” Ia mencondongkan tubuh sedikit, suaranya menghangat. “Dan untuk kamu tahu… ini saya langsung yang meminta kamu bergabung sesegera mungkin.”

Embun tak bisa menahan diri untuk membalas senyuman itu. Senyuman yang lembut, tulus, dan penuh rasa syukur yang manis.

Senyuman yang… membuat Langit kehilangan keseimbangan napasnya. Karena ketika Embun tersenyum, matanya ikut tersenyum. Dan cahaya dari jendela kecil di ruang rapat itu jatuh tepat pada wajahnya, membuat senyumnya terlihat lebih lembut dari yang seharusnya, lebih berbahaya dari yang ia sadari.

Langit merasakan dadanya menegang aneh. Detak jantungnya tiba-tiba bergerak lebih cepat dalam ritme yang tidak ia suka. Tidak teratur. Tidak efisien.

Seperti saat ia mendengar suara “Miss” semalam. Dalam hati ia mengumpat pelan. ‘Bodoh. Kenapa reaksimu begini.’

Namun tubuh manusia tidak bisa dibohongi.

Dan saat seisi ruangan masih diselimuti aura resmi keputusan perekrutan itu, Langit tiba-tiba membuka suara.

Nada suaranya rendah, stabil, namun ada sesuatu di dalamnya—sesuatu yang bahkan Papi Arga belum pernah dengar dengan cara seperti itu.

“Kamu mau kerja di tim saya langsung?”

Semua kepala di ruangan menoleh ke arahnya.

Papi Arga mengangkat alis, separuh kaget, separuh menahan senyum. Reno hampir menjatuhkan laptop. Embun sendiri mengedip pelan, dua kali, seolah otaknya butuh waktu ekstra untuk memproses pertanyaan yang terdengar terlalu besar, terlalu cepat, terlalu… personal.

Ia menatap Langit, dan demi Tuhan—senyum kecil muncul lagi di bibirnya, senyum yang manis, hangat, dan sedikit gugup.

“Tentu, Pak. Saya mau.” Ia meremas tangan di pangkuannya. “Sejujurnya… di tim siapa pun saya mau. Asal saya bisa bekerja di perusahaan ini.”

Senyum itu menghancurkan sesuatu di dalam dada Langit.

Ia tidak berkedip. Tidak bernapas dengan benar. Tatapannya terperangkap oleh mata Embun yang bersinar jujur, oleh pipinya yang merona, oleh ketulusan yang—entah kenapa—membuat langit merasa seperti ia sedang melihat versi manusia dari suara yang membuatnya tidak tidur semalam.

Baru setelah beberapa detik, ketika ruangan terasa terlalu sunyi, Papi Arga berdehem keras.

“Ehem.”

Langit tersentak kecil, seakan ditarik keluar dari hipnosis. Ia langsung menegakkan tubuh, merapikan ekspresi, berusaha kembali menjadi CEO dingin yang tidak pernah terguncang oleh senyuman seorang kandidat muda.

Namun Reno… Reno melihat semuanya. Dengan sangat jelas. Sangat jelas sampai ia harus menunduk agar tidak terlihat tersenyum.

Dan seakan semesta belum cukup mempermainkan keduanya hari itu, Embun kembali berbicara—dengan nada lembut yang… Ya Tuhan. Nada itu. Suara itu. Cara ia berhenti sepersekian detik sebelum melanjutkan kata selanjutnya.

Itu sama persis dengan suara “Miss” semalam.

“Bapak … terima kasih banyak atas kepercayaannya.”

Langit menatapnya lebih lama dari yang profesional seharusnya. Suasana menjadi sedikit… canggung.

Tidak agresif, tidak tidak nyaman— lebih seperti dua orang yang tiba-tiba menyadari bahwa suara mereka saling mengenali satu sama lain. Langit menelan napas, matanya berkedip lambat.

‘Tidak mungkin. Tidak mungkin ini Miss. Tapi suara itu… kenapa sama sekali tidak berbeda?’

Sementara itu… Embun merasakan hal yang sama. Suara Langit ketika menjawab barusan—bariton rendah yang menyapu lembut di akhir kalimat—membuat jantung Embun jatuh bebas.

‘Kenapa mirip sekali sama Mister…? Enggak mungkin. Enggak mungkin semudah itu. Jangan halu, Bun… jangan halu.’

Ia buru-buru menunduk agar pipinya tidak terlihat semakin panas.

Papi Arga, yang memperhatikan kedua anak muda ini saling mencuri napas, langsung berdiri sambil menepuk meja pelan.

“Kalau begitu, keputusan sudah bulat.” Senyumnya lebar. “Selasa kamu mulai kerja. Selamat bergabung, Embun.”

“Oh iya Ren, infokan Pak Soyan kalau selasa depan Bulan akan mulai bergabung dengan kita di tim inti dengan Langit” lanjut Papi Arga kepada Reno.

“Baik Pak” ucap Reno singkat.

Embun berdiri, membungkuk sopan, dan mengucap terima kasih dengan suara yang kembali… sangat Miss-like.

Dan Langit, meski tidak mengatakannya, secara mental menaruh satu tangan di jidat: ‘Sial. Ini benar-benar mirip Miss.’

**

Rumah keluarga Atmaja berdiri anggun di kawasan Menteng, menempati hampir setengah blok dengan kepercayaan diri yang hanya bisa dimiliki oleh bangunan yang diciptakan dengan tangan arsitek terbaik negeri ini.

Dari kejauhan saja, rumah itu tampak seperti karya seni yang kebetulan bisa ditinggali—

dinding dari batu hitam obsidian yang menyerap cahaya sore, jendela-jendela besar dengan bingkai perak matte yang memantulkan pepohonan trembesi di halaman depan, serta atap tinggi dengan garis-garis modern yang membuat bangunan itu tampak tegas namun tidak sombong.

Halaman depannya luas, dipenuhi tanaman tropis yang tertata dengan estetika ketat, seperti seseorang dengan OCD kecantikan merapikan setiap daun satu per satu. Lampu-lampu taman tersembunyi di antara semak, memancarkan cahaya keemasan lembut yang memberi kesan hangat alih-alih mewah mencolok. Di sisi kiri rumah berdiri garasi kaca dengan sensor otomatis; di sisi kanan, terhampar kolam pantul dengan batu granit hitam yang memantulkan langit jingga senja.

Rumah ini—dengan segala kemegahannya—harusnya dingin. Harusnya berjarak. Harusnya sepi seperti museum. Tapi tidak. Rumah kediaman keluarga Atmaja tidak pernah benar-benar sunyi.

Dari balik pintu-pintu kaca, terdengar suara—kehidupan—yang membuat bangunan megah itu terasa seperti rumah yang ditempati keluarga nyata, bukan patung-patung marmer.

Ada dentingan sendok dari dapur. Ada tawa samar dari ruang makan. Ada suara TV yang terlalu keras dari ruang tengah. Ada langkah kaki cepat seorang ART yang mencoba mengejar kucing peliharaan keluarga yang lagi lari-larian.

Dan yang paling khas… yang paling tidak mungkin diabaikan… adalah suara lantang Mami Yunda.

Wanita itu tidak butuh pengeras suara; suaranya memiliki tenaga bawaan yang bisa menggetarkan satu rumah. Bukan karena marah—tapi karena hidup, penuh semangat, penuh rasa ingin tahu yang tidak pernah mati, dan penuh kecintaan pada keluarganya.

Ketika pintu depan bergeser terbuka, ruangan dua lantai itu disambut angin malam yang lembut. Di ambang pintu berdirilah Langit Mahendra Atmaja, mengenakan kemeja putih yang lengan bawahnya sudah digulung, dasi terlepas separuh dari kerah, jas tersampir longgar di bahunya. Rambutnya sedikit berantakan karena hari panjang yang penuh rapat, analisa sistem, dan kejadian aneh yang melibatkan seorang gadis jenius dengan suara yang… Akh. Jangan dipikirkan dulu.

Ia baru mengangkat satu kaki memasuki foyer rumah ketika suara keras menyambutnya lebih dulu dari siapa pun.

“Weisssssssttttt—si jomlonya Mami akhirnya pulang ju-gaaa!”

Langit menutup pintu sambil memejamkan mata sepersekian detik, antara lelah dan tak kuasa menahan senyum kecil yang otomatis muncul. Suara Mami Yunda selalu bisa membelah suasana dengan kombinasi cinta dan candaan yang tidak pernah gagal menusuk harga diri anak bujangnya.

Namun di balik itu semua—yang tidak pernah Langit ucapkan secara langsung—suara itu membuat rumahnya terasa… hidup.

Begitu ia berjalan melewati foyer, aroma rumah langsung memeluknya—wangi kayu manis dari diffuser ruang tamu, perpaduan harum bunga segar yang baru diganti oleh ART sore tadi, dan samar-samar aroma masakan yang masih tertinggal dari makan malam.

Rumah keluarga Atmaja, meski ukurannya seperti hotel butik bintang lima, selalu memberi rasa hangat yang anehnya menyentuh sudut hati yang tidak tersentuh bahkan oleh pencapaian karier atau rapat-rapat korporat.

Langkahnya menyusuri marmer putih ke ruang tengah, dan di sanalah sumber suara itu berada.

Di sebuah sofa panjang empuk warna dusty tosca, duduklah Mami Yunda—elegan namun ekspresif, memakai gaun santai yang entah kenapa tetap terlihat seperti koleksi desainer. Rambutnya disanggul artistik, tangan kirinya memegang remote TV, tangan kanan mencolek snack, sementara matanya terpaku ke sinetron yang baru saja memasuki adegan paling dramatis.

“Inget rumah juga kamu ternyata! Kirain kamu udah nikah diam-diam sama laptop di kantor!”

Langit tertawa kecil dan akhirnya menjawab, “Malam, Mi…”

Suara itu—lembut, rendah, sedikit serak karena lelah—membawa atmosfer rumah menjadi lebih damai.

Namun Mami Yunda tidak berhenti di situ. Ia tidak pernah berhenti ketika sedang mode ngomel sayang.

“Lihat tuh rambut! Kamu kerja atau kabur dari angin puting beliung?! Astaga, Papiiii… anak kita kayak belum mandi tiga hari!”

Dari balik koridor, terdengar suara Papi Arga masuk sambil membuka kancing jas kerjanya.

“Mih… jangan lebay. Anak kita cuma naik turun pake lift doang, bukan naik gunung.”

Ruang tamu dipenuhi cahaya hangat dari lampu gantung kristal. Mami Yunda duduk manis di sofa panjang dengan gaun santai warna tosca, rambut disanggul cantik, wajahnya memancarkan kombinasi elegan dan usil dalam satu paket sempurna.

Papi Arga masuk setelah Langit, langsung duduk sambil melepas jam tangan. Mami Yunda yang tadinya fokus nonton sinetron, langsung mematikan TV dan memelototi suaminya.

“Pi, kamu tadi cerita dari mobil soal kandidat cewek jenius itu… lanjut dong! Mami penasaran banget!”

Langit mendengus pelan. “Mi, jangan dilebih-lebihkan.”

Papi Arga malah tertawa. “Lho, ini bukan dilebih-lebihkan, Lang. Anak itu memang jenius. Pinter banget soal sistem, coding, virus, antivirus… Pokoknya luar biasa.”

Mami Yunda langsung menajamkan mata, seperti kucing yang melihat gerakan kecil mencurigakan.

“Hmmmm…” gumamnya, menoleh pelan ke arah Langit.

Tatapan itu… tatapan khas seorang ibu yang mencium adanya bumbu cinta di udara.

“Lang…” Nada suaranya naik satu oktaf. “Kok setiap papi kamu cerita tentang si perempuan jenius itu, papi kamu ngelirik ke kamu melulu sih?”

Langit memijat pelipis. “Mami…”

“Oh??? DIAM??? KENAPA DIAM???” Mami Yunda langsung mendekat, wajahnya penuh antusiasme. “Apa kamu… sukaaaa sama anak itu?”

Langit tersedak napas sendiri.

Papi Arga tertawa sambil membuka koran. “Mih, jangan langsung di ulti gitu dong.”

“Lho gimana dong, Pi?” Mami Yunda makin menjadi. “Tadi Papi cerita anak itu pinter banget, cantik banget, suaranya lembut banget—eh pas papi ngomong suara lembut, si Langit langsung kaku kayak patung Pancoran!”

Langit menutup wajahnya. Reno—yang tidak ikut tapi seandainya mendengar—pasti sudah jatuh berguling di lantai.

“Mamiii…” Langit menghela napas panjang. “Professional. Itu cuma profesional.”

Mami Yunda langsung berjempol. “Yaelah Lang, kamu tuh kalau lagi suka sama orang kelihatan banget, tau gak?!”

Langit berdiri buru-buru, melarikan diri dengan alasan klise, “Aku ke kamar dulu.”

Papi Arga bersandar sambil menahan tawa. “Ciyeee… kabur.”

Mami Yunda tepuk tangan. “Ih, Pi, aku sukaaak! Akhirnyaaaa ada perkembangan kisah cinta anak kita yang udah kayak gurun Sahara ini!”

**

Kamar Embun malam itu terasa lebih hangat daripada biasanya, entah karena AC sedang tidak terlalu dingin atau karena seluruh tubuhnya masih diselimuti sisa-sisa ketegangan dan kebahagiaan yang bercampur aduk setelah interview paling mendebarkan dalam hidupnya.

Ia terebah di kasur, menatap langit-langit kamar yang polos, sementara rambutnya terurai pelan di atas bantal, jari-jari kanan menyusuri ujung selimut tanpa fokus, seolah ada sesuatu yang ingin dikeluarkan dari dadanya namun tidak punya bentuk.

Hari ini… berubah segalanya. Ia lolos interview Atmaja Group. Ia diterima kerja langsung oleh Chairman Perusahaan tersebut. Ia—tanpa pernah membayangkan sebelumnya—akan masuk di TIM-nya Langit Mahendra Atmaja.

Dan meski pikirannya sudah berusaha meredam, suara Langit di ruang rapat tadi… Suara itu terngiang tanpa henti.

Sial.

Embun menutup wajah dengan kedua telapak tangan, menahan desiran aneh di dadanya. Ketika ia sedang sibuk mengatur napas, ponselnya bergetar pelan di samping bantal.

Incoming call: Mr. Don’t Know

Embun langsung duduk setengah panik, setengah girang seperti remaja SMA yang baru pertama kali ditelpon gebetan.

Ia menelan ludah, merapikan rambut padahal laki-laki itu tidak bisa melihatnya, lalu menekan tombol hijau.

“Alooo miss…” suara lembut bariton itu terdengar di telinga, sedikit serak, sedikit malas, namun entah kenapa punya efek menenangkan sekaligus membuat lututnya mau copot.

Embun tertawa kecil, hangat menyelimuti dadanya. “Halo mister… tumben banget nelpon malam-malam.”

“Habis gue mikirin keputusan lo soal resign kemarin,” ucapnya santai, tapi ada nada perhatian yang sangat Embun kenali.

Embun menghela napas pelan. “Iya… gue jadi resign beneran, Mister. Dan… gue diterima kerja di tempat lain.”

“Oh?” nada pria itu langsung berubah menjadi terdengar lebih segar. “Serius? Selamat, Miss. Gue bangga banget sama lo.”

Entah kenapa embun menutup mata. Kata bangga itu menghantam dadanya seperti pelukan halus.

“Makasih, Mister,” bisiknya lembut.

Lalu—seolah keduanya sama-sama butuh jeda dari perasaan yang terlalu intens—percakapan mereka bergeser menjadi sangat random.

“Oke, Miss, lo udah nonton gosip artis yang viral hari ini belum? Yang pemain sinetron pake wig nyangkut di kipas angin?”

“HAHAHAHA Mister jangan bikin gue ketawa dong!”

“Atau yang ini nih, drummer band indie yang ternyata fans berat K-pop?”

“Astaga Mister, lo update banget gosip ginian…”

“Ya iyalah, hidup gue berat. Harus ada hiburan.”

Pembicaraan ngalor-ngidul itu berlangsung lama. Mereka tertawa dengan natural, tidak canggung, seolah dunia hanya milik mereka berdua. Terkadang ada jeda sunyi, bukan karena kehabisan topik, tapi karena keduanya diam-diam menikmati keberadaan satu sama lain dalam telepon.

Tanpa sadar, waktu sudah hampir menunjuk tengah malam.

Dan ketika akhirnya harus mengakhiri telepon, Embun merasa dadanya menghangat lagi—hangat yang ia belum siap untuk akui.

**

Di lantai dua rumah itu, pintu kamar Langit tertutup rapat. Ruangan itu sunyi, hanya diterangi lampu tidur yang memantulkan warna emas lembut di permukaan kayu mahoni.

Langit menjatuhkan diri di kasur king sizenya, melepaskan napas panjang yang seolah ia tahan sepanjang perjalanan pulang.

Ia membuka ponselnya lagi… Dan tanpa perlu berpikir, jarinya membuka chat bertuliskan: Miss 🌙

Tidak ada pesan baru. Karena barusan ia bertelponan dengan Miss hampir dua jam. Lalu ia menekan voice note terakhir malam kemarin.

Suara lembut itu terdengar memenuhi ruang kerja:

“Good night, Mister… jangan ngimpiin aku ya.”

Langit bersandar, menutup mata, memeluk suara itu seperti pelukan diam-diam yang hanya dia tahu. Senyum kecil muncul di sudut bibirnya—senyum yang jarang sekali muncul, senyum yang bukan untuk publik, bukan untuk staf, bukan untuk partner bisnis.

Senyum seorang laki-laki yang hatinya baru tersentuh sesuatu yang belum ia pahami sepenuhnya.

Ia memutar voice note itu sekali lagi. Dan sekali lagi.

Setiap kali suara itu mengalun, dadanya menghangat seperti ada cahaya kecil yang menyalakan sudut tersembunyi di dirinya.

“Miss…” gumamnya pelan. “Malam ini lo bikin gue gak bisa tidur lagi.”

Ia membuka matanya perlahan, menatap langit-langit ruang kerja, dan untuk pertama kalinya dalam waktu lama—hatinya berdebar bukan karena tekanan pekerjaan…

tapi karena seseorang yang tidak ia kenal wajahnya… dan seseorang yang hari ini tanpa ia sadari… berada satu ruangan dengannya.

**

tbc

1
Bia_
ferdi lu bener bener ya,
Al_yaa
greget banget sama bab ini, gak sabar nunggu lanjutannya, updatenya bisa langsung 5 bab gak thor,penasaran bangettt
Al_yaa
cepatt cari orang bodoh itu papiiii
Al_yaa
cefatt rekrut diaa langitttt
KaosKaki
rasakno koe fer
KaosKaki
boleh gak berkata kasar buat di Ferdi /Panic//Panic/
Bubuuu
ceritanya bagus banget 👍👍😍😍
Al_yaa
yg buat virus perempuan, diremehin pulak tapi bikin satu gedung gonjang ganjing /Joyful/
aRa_
hebat banget embun, langsung ulti si Ferdi pake virus biar kicep
aRa_
bajigur banget si Ferdi /Panic/
aRa_
baru telponan aja udh deg degan ya embun
Al_yaa
ferdi, lo syibal banget yakk/Angry/
Al_yaa
pandangan pertama awal aku berjumpa /Hey//Hey/
Al_yaa
one step closer langit, berawal dari callan lama lama video callan dehhh
Bia_
akhirnya akhirnya /Scream/
Bia_
yaloh mereka udah Callan aja
KaosKaki
huuwwaaa akhirnya mereka ketemu tapi gak kenal /Sob//Sob//Sob/
KaosKaki
ada apa inih, kenapa bapaknya angkasa nongol. tor ada apa ini coba jelaskan
KaosKaki
bener bener dah ya, embun sama langit udah kaya anak abg banget /Facepalm/
Bia_
wow apakah akan ada plot twist Pemirsa 🤭
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!