Demi melanjutkan pendidikannya, Anna memilih menjadi magang di sebuah perusahaan besar yang akhirnya mempertemukannya dengan Liam, Presiden Direktur perusahaan tempatnya magang. Tak ada cinta, bahkan Liam tidak tertarik dengan gadis biasa ini. Namun, suatu kejadian membuat jalan takdir mereka saling terikat. Apakah yang terjadi ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black moonlight, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Korban Liam
Tidak butuh waktu lama sampai desas-desus itu menyebar ke seluruh lantai 35—bahkan sampai ke lantai-lantai strategis lainnya. Di perusahaan sebesar itu, kabar tentang Liam marah biasanya sudah cukup membuat orang menghindari lorong tertentu. Tapi kali ini berbeda. Kali ini ada sumber kemarahannya. Dan nama itu sudah beredar lebih cepat daripada email resmi: Anna.
Anna bahkan tidak tahu kapan tepatnya badai itu mulai. Yang dia tahu, pagi itu semua orang masih bersikap biasa saja. Lalu setelah jam makan siang, suasana berubah drastis. Seakan udara menegang. Para manajer jalan terburu-buru, rapat yang biasanya ramai terasa seperti ruangan sidang. Semua orang. Semua. Berjalan sambil menahan napas.
Namun yang membuat jantung Anna seolah berhenti adalah ketika salah satu supervisor mendekatinya dengan wajah masam.
“Kamu ikut bikin presdir bad mood hari ini?” tanyanya tanpa basa-basi.
Anna tertegun. “M—maaf?”
“Teh panas. Tumpah. Kena baju beliau. Kamu, kan?”
Nada kata-katanya naik satu oktaf, seolah memastikan semua orang di sekitar mendengar.
Beberapa rekan kerja menoleh. Ada yang pura-pura sibuk. Tapi diam-diam mereka memperhatikan.
Anna merasa sesaknya naik ke tenggorokan. “Iya, Bu… tapi itu nggak sengaja. Saya udah—”
“Udah apa? Udah bikin satu kantor ikut kena imbasnya?” supervisor itu menyambar cepat. “Hari ini semua jadwal Liam kacau. Meeting sama investor sampai digeser. Kamu pikir itu tidak berdampak?”
Anna hanya bisa menunduk. “Maaf, Bu.”
Supervisor itu menghela panjang. “Nanti kita bahas di evaluasi. Untuk sekarang kerja yang benar dulu. Dan jangan bikin masalah lagi.”
Setelah itu, perempuan itu berlalu, meninggalkan Anna dengan tatapan-tatapan yang menusuk dari berbagai arah. Beberapa staf mulai berbisik pelan. Anna bisa menangkap sepatah dua patah:
“Kasihan Jordan, yang bawa anak magang tapi malah begini.”
“Baru juga satu bulan, tapi kerjanya sudah menyusahkan satu perusahaan.”
“Nggak tanggap, nggak hati-hati. Magang kok bikin repot.”
Semakin lama semakin banyak suara sumbang. Suara-suara yang seharusnya tidak terdengar tapi entah kenapa tetap masuk, menancap seperti duri. Anna menunduk semakin dalam, pura-pura fokus pada komputer. Tapi sudut matanya menangkap satu hal lagi: sebuah email singkat yang masuk ke grup internal divisinya.
Subject: Urgent – Penyesuaian Meeting Hari Ini
Karena kondisi tertentu, jadwal meeting dengan Presdir akan mengalami perubahan. Mohon seluruh divisi siap untuk kemungkinan penjadwalan ulang dan pengkajian tambahan laporan.
– Management Office
Tidak ada nama yang disebut. Tidak ada penjelasan. Tapi cukup jelas ke mana telunjuk itu diarahkan.
Dan seolah belum cukup, manajer divisinya lewat di dekat meja Anna lalu berhenti sebentar. “Anna, tolong lebih berhati-hati. Liam sedang tidak bisa ditoleransi kesalahan sekecil apa pun hari ini.” Nada suaranya dingin, formal, tidak memberi celah.
Anna mengangguk lemah. “Baik, Pak.”
Tapi manajer itu menambahkan kalimat yang menusuk—kalimat yang akan diingat Anna seumur hidupnya:
“Kamu harus sadar diri bahwa satu tindakan ceroboh bisa memengaruhi reputasi seluruh tim.”
Setelah itu ia pergi.
Anna menelan ludah, menahan napas yang terasa tercekat di dada.
Tangan-nya bergetar saat memegang mouse. Huruf-huruf di layar komputer kabur. Tatapannya buram. Suara bising kantor terasa seperti gema tanpa bentuk.
Seketika itu, rasa bersalah menumpuk seperti bebatuan besar yang jatuh satu per satu ke atas jiwanya.
Ia mencoba bekerja. Mencoba bernapas normal. Mencoba mengabaikan desas-desus. Tapi tekanan itu terlalu kuat. Ruangan terasa sempit. Kursi terasa keras. Udara seakan menolak masuk ke paru-paru.
Lalu terdengar bisikan lain, cukup keras untuk membuatnya ingin lenyap.
“Dia yang bikin Liam ngamuk?”
“Iya, katanya hampir bikin bos kecelakaan. Tehnya panas banget loh.”
“Berani-beraninya bikin presdir marah. Emang dia siapa?”
“Magang. Baru juga sebulan.”
“Pantes aja…”
Detik itu Anna berdiri. Kursinya terseret pelan. Ia meraih ponselnya dan berjalan cepat. Tidak peduli tatapan orang. Tidak peduli apa pun. Yang dia butuhkan hanyalah ruang untuk bernapas. Satu tempat yang cukup untuk menampung gelombang emosi yang sudah tidak bisa dia kontrol lagi.
Ia masuk ke kamar mandi perempuan. Mengunci pintu salah satu bilik.
Dan begitu pintu tertutup—
Air matanya pecah.
Tanpa suara. Tanpa kontrol. Hanya jatuh begitu saja seperti air hujan di atap seng.
Anna menutup mulutnya dengan tangan. Tubuhnya gemetar.
Ia menunduk dalam, seolah mencoba membuat dirinya sekecil mungkin, seolah jika ia mengecil cukup jauh, dunia tidak akan melihatnya lagi.
“Kenapa…” suaranya pecah, nyaris tak terdengar.
“Kenapa harus aku… kenapa harus hari ini…”
Ia mengusap wajahnya, namun air mata terus mengalir tanpa henti.
Bahu Anna bergerak naik turun, napasnya tersengal seperti orang yang baru saja berlari jauh.
Dalam kepalanya, kata-kata orang-orang tadi berputar lagi:
Ceroboh. Menyusahkan. Ganggu reputasi tim. Bikin presdir marah.
Setiap kata itu seperti menampar harga dirinya.
Seperti membongkar keyakinan yang selama ini ia bangun bahwa dirinya kompeten. Bahwa ia punya masa depan di perusahaan ini. Bahwa dirinya—paling tidak—cukup.
Namun hari ini, Anna merasa… tidak cukup.
Ia merosot sampai duduk di lantai. Seragam kantornya kusut. Tangan dingin.
Air matanya mengalir tanpa bisa ia hentikan.
“Kenapa semua menyalahkan aku padahal aku sudah minta maaf…”
“Kenapa satu kesalahan kecil bisa sebesar ini…”
“Kenapa aku bahkan nggak bisa membela diri…”
Anna menggigit bibir hingga terasa asin.
Ia mencoba mengambil tisu, tapi tangannya bergetar terlalu kuat.
Ia menengadah dan menarik napas sangat panjang, tapi tetap saja rasanya sesak.
Hidupnya terasa mengecil pada satu titik: rasa tidak berguna.
Untuk pertama kalinya sejak mulai magang, Anna merasa seluruh kerja kerasnya sia-sia. Semua lembur, semua catatan rapih, semua meeting yang ia persiapkan, semua laporan yang ia revisi belasan kali—semuanya hilang ditelan satu kejadian sial pagi itu. Dan yang lebih menyakitkan, tidak ada yang membelanya.
Tidak Jordan.
Tidak supervisor.
Tidak rekan kerja.
Tidak siapa pun.
Mereka semua lebih memilih mengikuti arus ketakutan terhadap presdir daripada mempertimbangkan bahwa Anna hanyalah manusia yang sedang mengalami kecelakaan kecil.
Sambil terisak, Anna menyandarkan kepala ke dinding kabin.
Ia menutup mata erat-erat, mencoba menenangkan diri.
Tapi hati seseorang yang terluka tidak bisa disuruh berhenti.
Ia hanya bisa menunggu sampai rasa sakitnya reda sendiri.
Setelah beberapa menit, isakannya mereda. Napasnya masih bergetar, tapi ia cukup tenang untuk berdiri. Ia menatap dirinya di cermin. Mata sembab, hidung merah, pipi basah.
Ia menarik satu tisu lagi dan mengelap wajahnya.
Lalu Anna berkata pelan pada bayangannya sendiri:
“Bertahan… cuma ini yang bisa kamu lakukan sekarang.”
Ia mengambil napas panjang, mencoba menguatkan diri untuk keluar dari kamar mandi dan kembali ke dunia yang sudah telanjur menghakiminya.
Hari itu, Anna tidak berani menatap siapa pun.
Tidak berbicara kecuali jika diminta.
Tidak tersenyum.
Dan meski ia terus bekerja, rasa bersalah itu menggantung di atas kepalanya, mengikuti setiap langkahnya seperti bayangan.
Untuk pertama kalinya… Anna merasa benar-benar kecil.
Benar-benar sendirian.
Benar-benar tidak berguna.
Dan itu baru awal dari badai yang lebih besar.