Zevanya memiliki paras yang cantik turunan dari ibunya. Namun, hal tersebut membuat sang kekasih begitu terobsesi padanya hingga ingin memilikinya seutuhnya tanpa ikatan sakral. Terlebih status ibunya yang seorang wanita kupu-kupu malam, membuat pria itu tanpa sungkan pada Zevanya. Tidak ingin mengikuti jejak ibunya, Zevanya melarikan diri dari sang kekasih. Namun, naasnya malah membawa gadis itu ke dalam pernikahan kilat bersama pria yang tidak dikenalnya.
Bagaimana kisah pernikahan Zevanya? Lalu, bagaimana dengan kekasih yang terobsesi padanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naaila Qaireen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
SELAMAT MEMBACA
Zevanya melongo dengan wajah terkejut tak kala Wira menyodorkan bungkusan ponsel baru yang dibeli di toko elektronik tadi bersama dirinya. Ia kira ponsel itu untuk Wira sendiri atau hadiah untuk temannya, tidak pernah mengira akan diberikan kepadanya.
“Loh, kenapa diam? Kamu tidak suka? Padahal tadi saya sudah menanyakan pendapatmu, dan kamu bilang semuanya bagus.” Zevanya menggeleng pelan, bukan itu permasalahannya.
“Ini beneran untuk saya?” tanyanya masih tidak percaya, ia bahkan tidak berani menyentuh ponsel baru tersebut yang masih rapi berada di dalam kotaknya.
Wira terkekeh pelan akan reaksi lucu dari gadis di depannya, “Tentu saja, untuk siapa lagi?” tanyanya. “Gimana, kamu suka kan?” Wira menaik turunkan alisnya, menggoda Zevanya yang mendapatkan ponsel baru.
“Tapi, harganya mahal.” Lirih gadis itu, merasa sayang uang 7 juta hilang begitu saja hanya karena sebuah ponsel.
“Tidak apa-apa, uang bisa dicari lagi.” Kata pria itu menenangkan. Tahu bahwa Zevanya merasa sayang pada uang yang telah terpakai. “Benda ini tidak akan percuma, nanti kalau ada apa-apa bisa langsung menelponku. Atau ketika aku ada urusan mendadak lagi, kita bisa bertukar kabar.” Jelasnya.
“Hmm... iya, tapi bisa beli yang lebih murah sedikit. Tadi ada yang harganya 1 juta lebih, fungsinya juga sama, tetap bisa bertelepon atau bertukar pesan.” Gadis itu masih kekeh, bahkan berniat ingin menukar ponsel dengan harga murah.
Wira menghela napas, “Beginilah punya istri irit,” katanya lalu terkekeh kemudian. Hal tersebut sontak membuat Zevanya malu dan menatap ke arah lain, sebutan istri membuat dadanya bergemuruh cepat.
“Beda, kamera yang ini lebih jernih dan daya penyimpanannya juga besar.” Wira membuka pembungkus ponsel, dan mulai menyalakannya. Pria itu membuat aku email dan menginstal beberapa aplikasi yang sekedarnya akan di butuhkan oleh Zevanya, sengaja tidak melakukan di toko elektronik agar tidak terlalu lama di sana.
Zevanya pun mendekat karena penasaran. Melihat bagaimana lihainya Wira menekan fitur-fitur di ponsel lalu memasang anti gores dan terakhir memasang silikon berwarna biru yang elegan. Gadis itu baru menyadari maksud Wira yang menanyakan warna kesukaannya, bibirnya pun mengembangkan senyum.
“Ini, kalau ada aplikasi lagi yang mau kamu install silakan. Saya juga telah menyimpan nomor di sana,” Zevanya mau tidak mau menerima pemberian Wira, ia mengucapkan terima kasih dan dibalas elusan kepala dari si pria. Bibir yang sedikit tebal menyunggingkan senyum, melihat bagaimana mata jernih Zevanya berbinar.
Zevanya memegang benda pipih tersebut dengan hati-hati, lalu mulai menjelajahi fitur di dalamnya. Beberapa saat kemudian gadis itu dibuat tersentak oleh panggilan, melihat nama yang tertera ‘My Husband’ dilengkapi emot love.
Ia mengalihkan pandangannya pada Wira yang tengah tersenyum tengil, pipi gadis itu merona merah dan dengan cepat mematikan panggilan.
“Loh, kenapa tidak diangkat?” pria itu menahan senyum.
“Kan orangnya ada di sini,” Zevanya menjawab sedikit ketus, membuat Wira tergelak.
Tawa pria itu dihentikan oleh deringan ponselnya, matanya memindai penelpon dan seketika raut wajahnya berubah seperti beberapa hari lalu tak kala langsung menerima pernikahan paksa dan serba kilat dari warga.
Wira meminta ijin untuk menerima telepon tersebut, ketika mendapatkan anggukan dari Zevanya pria itu pun berdiri menuju dapur untuk menerima telepon.
Zevanya melihat sekilas kepergian Wira, tidak ingin ikut campur atau mempermasalahkan kepergiannya yang mengangkat telepon di tempat lain. Ia yakin pasti ada sesuatu yang penting. Gadis itu pun kembali pada aktivitasnya menjelajahi fitur baru di dalam ponsel, dan berniat akan mengunduh platform novel online untuk sekedar menghilangkan kebosanan.
Semenjak resmi menikah dan menjadi istri seorang Wira, ia tidak pernah lagi bekerja. Padahal kemarin sudah bertekad ingin mandiri, tidak terlalu tergantung pada pria yang telah resmi menjadi suaminya. Tetapi niatan itu harus ia pikir ulang karena tidak ingin kejadian kemarin terulang, dimana dirinya bertemu dengan Adrian.
Wira kembali dari dapur, wajahnya kaku dan terlihat suram. Namun, ketikan berpapasan dengan manik mata Zevanya, pria itu dengan cepat mengubah ekspresinya kembali seperti semula. Hangat dan tampak tenang.
“Gimana? Suka 'kan?” Zevanya mengangguk antusias, ia kembali mengucapkan terima kasih pada pria itu. Sungguh tidak menyangka bisa mendapatkan ponsel baru.
“Tidak, tolong jangan katakan itu. Saya tidak suka kamu mengucapkan terima kasih pada saya.” Pria itu memandang Zevanya lekat. Sedangkan gadis dengan mata bulat jernih itu mengerjap tidak mengerti.
“Kita ini suami istri,” pria itu kembali mengingat status mereka. “Jika ingin berterima kasih jangan dengan ucapan, tapi... dengan tindakan.” Ia mengerlip nakal. “Tidak perlu terlalu sungkan. Ingat, saya suamimu!” katanya dengan menekankan kata ‘suami’.
Zevanya mengernyit dengan mulut membulat, antara mengerti dan tidak mengerti. “Seperti apa tindakan berterima kasih dengan pasangan?” tanyanya polos dengan rasa ingin tahu.
Wira memalingkan wajah, tersenyum miring penuh maksud. “Ya... contohnya dengan memberikan kecupan pada pasangan.” Ia berkata dengan wajah dibuat serius.
Zevanya diam sejenak, lalu mendekati Wira perlahan. Pria itu malah gelagapan sendiri, mengira Zevanya akan memberikan kecupan bibir. Dengan refleks ia malah menutup mata menunggu momen Zevanya memberikan tindakan terima kasihnya.
Cup!
Seketika mata Wira terbuka dengan lebar, gelayar aneh menyerang dadanya. Padahal bukan bibir yang mendapatkan kecupan dari bibir lembut tanpa lipstik itu, melainkan pipinya kanannya. Dan entah kenapa ia merasa sedikit kecewa karena hal itu.
Zevanya yang telah merona malu, menjauhkan dirinya pada Wira. Hal yang sama terjadi pada gadis itu, dadanya berdebar karena baru pertama kali mengecup seseorang terlebih itu adalah lawan jenisnya. Tubuhnya tidak menunjukkan keanehan, itu karena dirinya yang melakukan karena keinginannya dan tanpa paksaan yang mengancam.
Deringan telepon Wira kembali terdengar, pria itu berdesir merasa diganggu. Ia pun tanpa pikir menolak panggilan tersebut.
“O-oh yaaa, haruskah saya juga memberikan tindakan sama-sama. Karena setelah seseorang mengucapkan terima kasih tentu akan dibalas dengan ucapan sama-sama.” Pria itu mengulum senyum.
Zevanya langsung melotot dan menggeleng cepat, Wira terkekeh melihat reaksinya. Wajah gadis itu semakin merah bak kepiting rebus, tidak hanya pipinya tetapi seluruh wajahnya.
“Hahaha, bercanda...” gelak Wira. Lalu keduanya saling menatap, kemudian terlihat sama-sama canggung.
Dan kecanggungan itu terhenti lagi-lagi oleh deringan ponsel Wira, pria itu berdecak kembali mematikan telepon.
“Mmmmm, saya sepertinya harus keluar. Apa kamu tidak apa-apa sendirian di rumah. Saya akan usahakan pulang tidak terlalu lama. Jika ada apa-apa atau ada seseorang yang mengganggumu, cepat kabari saya. Hmmm?” pria itu terlihat menjiwai sebagai suami yang meminta ijin pada istrinya.
Zevanya tidak banyak berkomentar, ia mengangguk mengiyakan. Lalu mengantar Wira menuju pintu rumah setelah pria itu terlebih dahulu meraih kunci motornya.
“Hati-hati,” ucap Zevanya seraya mengulurkan tangan. Wira yang mengetahui maksudnya segera memberikan tangan, menutup matanya menikmati kecupan bibir gadis itu pada punggung tangannya.
“Kamu juga hati-hati di rumah, kunci pintu dan jendela jika saya belum pulang sebelum adzan magrib. Tapi saya usahakan tetap pulang cepat,” Zevanya mengangguk, Wira memberanikan diri mengulurkan tangannya untuk mengusap kepala sang istri.