Keira Anindya memiliki rencana hidup yang sempurna. Lulus kuliah, kerja, lalu menikah dengan pria dewasa yang matang dan berwibawa. Namun rencana itu hancur lebur saat ayahnya memaksanya menikah dengan anak rekan bisnisnya demi menyelamatkan perusahaan.
Masalahnya calon suaminya adalah Arkan Zayden. Pria seumuran yang kelakuannya minus, tengil, hobi tebar pesona, dan mulutnya setajam silet. Arkan adalah musuh bebuyutan Keira sejak SMA.
"Heh Singa Betina! Jangan geer ya. Gue nikahin lo cuma biar kartu kredit gue gak dibekukan Papa!"
"Siapa juga yang mau nikah sama Buaya Darat kayak lo!"
Pernikahan yang diawali dengan 'perang dunia' dan kontrak konyol. Namun bagaimana jika di balik sikap usil dan tengil Arkan, ternyata pria itu menyimpan rahasia manis? Akankah Keira luluh atau justru darah tingginya makin kumat?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aluina_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
9
Pagi itu suasana di meja makan terasa sedikit berbeda dari biasanya. Matahari bersinar cerah menembus jendela kaca besar di ruang makan, tetapi wajah Arkan Zayden tampak mendung seperti langit mau hujan badai. Sejak bangun tidur, pria itu bertingkah aneh. Dia mondar-mandir di dapur, mengecek kunci pintu depan tiga kali, dan bahkan mengintip ke balik tirai jendela seolah sedang memantau pergerakan musuh.
Keira duduk di kursi makannya sambil mengoleskan selai stroberi ke atas roti tawar. Dia memperhatikan tingkah laku suaminya dengan kening berkerut.
"Lo kenapa sih, Arkan? Dari tadi kayak setrikaan rusak, bolak-balik terus," tanya Keira heran. Dia menggigit rotinya dengan santai.
Arkan berhenti melangkah. Dia menatap Keira dengan sorot mata waspada. Pria itu mendekat ke meja makan lalu mengambil gelas susu milik Keira. Dia mengendusnya, lalu meminumnya sedikit untuk memastikan rasanya.
"Hei! Itu susu gue!" protes Keira sambil memukul tangan Arkan. "Jorok banget sih main minum bekas orang."
"Gue cuma mengetes, Ra. Siapa tahu susunya basi atau ada racun sianida," jawab Arkan serius. Dia meletakkan kembali gelas itu. "Aman. Lo boleh minum."
Keira memutar bola matanya malas. "Drama banget hidup lo. Siapa juga yang mau ngeracunin gue? Gue bukan putri keraton yang punya banyak musuh."
Arkan tidak menjawab. Dia duduk di hadapan Keira, tetapi matanya tidak fokus pada makanan. Pikirannya melayang pada kotak hitam berisi sepatu bayi yang dia terima semalam. Ancaman Clara terasa begitu nyata. Wanita itu tahu di mana mereka tinggal. Arkan tidak bisa membiarkan Keira lengah sedikit pun.
"Mulai hari ini, gue yang antar jemput lo kerja. Enggak ada penolakan," kata Arkan tegas. Nada bicaranya tidak terdengar main-main.
"Hah? Enggak mau. Kantor kita kan beda arah, Arkan. Nanti lo telat, gue juga telat. Gue bawa mobil sendiri aja," tolak Keira. Dia paling benci merepotkan orang lain, apalagi kalau orang itu Arkan yang pasti akan minta imbalan aneh-aneh.
"Gue bilang enggak ya enggak. Mobil lo masuk bengkel," dusta Arkan cepat.
"Bengkel? Kapan masuk bengkelnya? Kemarin gue parkir di garasi kondisinya sehat walafiat," bantah Keira curiga.
"Tadi pagi gue cek bannya kempes empat-empatnya. Kayaknya ada paku jahat yang menyebar ranjau di garasi kita," jawab Arkan asal. Padahal, dia sengaja mencabut sekring mobil Keira subuh tadi agar mobil itu tidak bisa menyala.
Keira menyipitkan matanya. Alasan Arkan terdengar sangat tidak masuk akal. Ban kempes empat-empatnya sekaligus? Itu namanya sabotase, bukan musibah.
"Lo bohong, kan? Lo pasti sengaja ngerjain gue," tuduh Keira.
Arkan berdiri lalu mengambil kunci mobilnya. "Udah, jangan banyak protes. Buruan habisin rotinya atau gue gendong lo masuk ke mobil sekarang juga."
Mendengar ancaman itu, Keira langsung menelan rotinya bulat-bulat sampai tersedak. Dia buru-buru meminum susunya. Dia tahu Arkan cukup gila untuk benar-benar menggendongnya seperti karung beras.
Di dalam perjalanan menuju kantor, Arkan menyetir dengan satu tangan memegang kemudi, sementara matanya terus mengawasi kaca spion. Dia memastikan tidak ada mobil mencurigakan yang membuntuti mereka.
"Ra, coba buka laci dasbor di depan lo," perintah Arkan tanpa menoleh.
Keira membuka laci itu. Di dalamnya terdapat sebuah benda kecil berwarna kuning cerah dan sebuah botol semprot kecil.
"Ini apa?" tanya Keira sambil mengangkat benda kuning itu. Bentuknya seperti mainan bebek karet.
"Itu personal alarm. Kalau lo tarik kepalanya, dia bakal bunyi kencang banget kayak sirine polisi. Terus yang botol itu pepper spray atau semprotan merica. Kalau ada orang asing yang coba-coba pegang lo, semprot matanya sampai buta," jelas Arkan panjang lebar.
Keira tertawa renyah. Dia merasa Arkan terlalu berlebihan. "Lo lebay banget sih. Gue cuma mau kerja di kantor desain, bukan mau perang ke medan tempur. Siapa yang mau nyulik gue?"
"Kejahatan itu tidak memandang tempat, Keira. Ingat kata Bang Napi, kejahatan terjadi bukan hanya karena ada niat pelakunya, tapi juga karena ada kesempatan. Waspadalah, waspadalah," tiru Arkan dengan gaya bicara presenter berita kriminal jadul.
Meskipun terdengar konyol, Keira tetap memasukkan kedua benda itu ke dalam tas kerjanya. Jauh di lubuk hatinya, dia merasa sedikit tersentuh dengan perhatian Arkan. Meskipun caranya aneh, suaminya itu sepertinya benar-benar peduli pada keselamatannya.
"Makasih ya, Satpam Pribadi," ledek Keira sambil mencubit pipi Arkan pelan.
Arkan tersenyum tipis. "Sama-sama, Nyonya Besar. Bayarannya nanti malam ya. Pijit plus-plus di pundak."
"Ngarep!"
Sesampainya di lobi kantor Keira, Arkan tidak langsung pergi. Dia menunggu sampai Keira benar-benar masuk ke dalam gedung dan melewati gerbang keamanan. Setelah sosok Keira hilang dari pandangan, barulah Arkan menghela napas lega. Dia segera menghubungi seseorang lewat sambungan telepon mobil.
"Halo, Bimo. Lo di mana?" tanya Arkan dingin.
"Saya sudah di posisi, Pak. Di warung kopi seberang kantor Ibu Keira. Siap memantau," jawab suara di seberang sana.
"Bagus. Jangan sampai lengah. Kalau ada orang mencurigakan, terutama perempuan pakai kacamata hitam atau masker, langsung lapor gue. Foto orangnya dan kirim ke gue," perintah Arkan.
"Siap, Bos. Tapi ngomong-ngomong, biaya kopinya ditanggung kantor kan, Pak?" tanya Bimo polos.
"Iya, Bimo. Sama gorengannya sekalian gue bayarin. Asal kerja lo bener," tutup Arkan lalu mematikan sambungan telepon.
Bimo adalah asisten pribadi Arkan yang paling setia. Meskipun kelakuannya agak gesrek dan sering bikin darah tinggi, Bimo bisa diandalkan dalam situasi genting. Arkan menugaskan Bimo untuk menjadi mata-mata bayangan bagi Keira tanpa sepengetahuan istrinya itu.
Siang harinya, Keira merasa risih. Entah kenapa dia merasa ada yang mengawasinya. Setiap kali dia menoleh ke arah jendela kafe saat makan siang, dia melihat seorang pria dengan topi dan koran menutupi wajah. Pria itu duduk di seberang jalan.
"Sis, lo ngerasa ada yang aneh enggak sih? Itu cowok di seberang kayaknya ngeliatin kita terus dari tadi," bisik Keira pada Siska.
Siska menoleh sekilas lalu tertawa. "Mana? Oh, itu Mas-mas yang lagi makan bakwan? Geer lo, Ra. Dia lagi liatin jalan kali. Atau mungkin dia terpesona sama kecantikan kita."
Keira mencoba berpikir positif. Mungkin dia terbawa suasana paranoid Arkan tadi pagi. Penyakit paranoid itu ternyata menular.
Sore harinya, Arkan menjemput tepat waktu. Bahkan sebelum jam pulang kantor, mobil Arkan sudah standby di lobi.
"Cepet banget sampainya? Lo enggak kerja?" tanya Keira saat masuk ke dalam mobil.
"Kerja lah. Tapi prioritas utama gue kan menjemput permaisuri. Nanti kalau lo kelamaan nunggu di lobi, digondol kucing garong gimana?" canda Arkan.
Perjalanan pulang terasa damai sampai mereka tiba di rumah. Keira masuk ke ruang tamu dan mendapati ada yang berbeda. Di sudut atas plafon ruang tamu, terdapat sebuah benda bulat berwarna hitam yang berkedip merah. CCTV.
Keira berjalan ke dapur. Ada satu lagi di atas kulkas. Dia berjalan ke arah tangga. Ada satu lagi. Bahkan di lorong menuju kamar tidur pun terpasang satu kamera pengawas.
"ARKAN!" teriak Keira untuk kesekian kalinya hari itu.
Arkan yang baru saja melepas sepatunya berlari kecil menghampiri. "Apa lagi, Sayang? Sepatunya hilang lagi?"
"Ini apa maksudnya? Kenapa rumah kita jadi kayak studio syuting Big Brother? Banyak banget kameranya!" protes Keira sambil menunjuk kamera di sudut ruangan.
Arkan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Oh, itu. Gue baru panggil teknisi tadi siang buat pasang CCTV. Biar aman, Ra. Sekarang kan banyak kasus pencurian."
"Tapi enggak di setiap sudut juga kali, Arkan! Ini privasi gue terganggu. Masa gue mau ngupil di ruang tamu aja terekam kamera? Terus nanti lo tontonin gitu?" cecar Keira kesal. Dia merasa diawasi 24 jam.
"Enggak bakal gue tonton kalau lo lagi ngupil. Paling gue screenshot buat stiker WhatsApp," goda Arkan.
"Gue serius!"
Arkan memegang kedua bahu Keira. Wajahnya berubah menjadi mode serius yang jarang dia tunjukkan. "Dengar, Ra. Ini demi kebaikan kita. Gue cuma mau memastikan lo aman saat gue enggak ada di rumah. Gue enggak pasang di dalam kamar mandi atau kamar tidur kok. Cuma di area umum. Please, ngertiin gue ya?"
Keira tertegun melihat sorot mata Arkan yang memohon. Ada kekhawatiran yang tulus di sana. Kekhawatiran yang tidak bisa Keira pahami sepenuhnya, tetapi bisa dia rasakan. Akhirnya, benteng pertahanan Keira runtuh.
"Oke. Tapi janji jangan disalahgunakan. Kalau sampai video gue lagi joget dangdut kesebar di internet, gue tuntut lo," ancam Keira.
"Siap, Bos. Aman," Arkan tersenyum lega.
Malam harinya, hujan turun deras mengguyur Jakarta. Suara petir menyambar-nyambar membuat suasana malam itu terasa mencekam. Keira sedang duduk di sofa ruang tengah sambil menonton TV, sementara Arkan sibuk dengan laptopnya di meja kerja sudut ruangan.
Tiba-tiba lampu padam sejenak lalu menyala lagi. Keira tersentak kaget.
"Arkan, jangan bilang lo mainin saklar lagi," tegur Keira.
"Enggak, Ra. Itu petir kayaknya," jawab Arkan tanpa mengalihkan pandangan dari layar laptop. Dia sedang memantau rekaman CCTV di sekitar rumah. Dia melihat ada mobil sedan hitam yang lewat dua kali di depan rumah mereka dalam satu jam terakhir. Mobil yang sama dengan yang dia lihat di kantor Keira.
Jantung Arkan berpacu cepat. Clara benar-benar meneror mentalnya.
"Gue mau bikin mie instan. Lo mau enggak?" tawar Keira memecah keheningan.
Arkan menutup laptopnya. "Boleh. Pakai telur dua ya."
Keira beranjak ke dapur. Saat sedang menunggu air mendidih, ponsel Keira yang tergeletak di meja makan bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor tidak dikenal.
Keira mengambil ponselnya dan membuka pesan itu.
Nomor Tidak Dikenal:
Selamat malam, Keira. Apa suamimu sudah cerita tentang tamu kecil yang akan hadir di antara kalian?
Dahi Keira berkerut. Tamu kecil? Apa maksudnya? Apa Arkan mengadopsi kucing atau anjing tanpa bilang-bilang? Atau mungkin Arkan beli robot vacuum cleaner yang dia janjikan kemarin?
"Siapa, Ra?" tanya Arkan yang tiba-tiba sudah berdiri di belakang Keira, membuat gadis itu kaget setengah mati.
"Astaga! Lo hobi banget sih muncul kayak jelangkung," omel Keira sambil memegangi dadanya.
Mata Arkan tertuju pada layar ponsel Keira. Dia melihat sekilas isi pesan itu. Wajahnya langsung pucat pasi. Dengan gerakan cepat, dia merebut ponsel dari tangan Keira.
"Eh, kok diambil? Balikin!" seru Keira.
"Ini... ini spam. Penipuan. Jangan dibaca. Bahaya, bisa hipnotis jarak jauh," kata Arkan panik. Alasan yang sangat bodoh.
"Hipnotis lewat SMS? Lo kira gue nenek-nenek gaptek? Sini balikin, gue mau baca. Tadi katanya tamu kecil. Lo beli hewan peliharaan ya?" tanya Keira penasaran.
Arkan menjauhkan ponsel itu. Dia buru-buru menghapus pesan tersebut lalu memblokir nomornya. Tangannya gemetar. Clara sudah mulai menghubungi Keira langsung. Ini gawat.
"Bukan hewan. Itu sales asuransi nawarin tuyul. Udah gue hapus. Jangan diladenin," kata Arkan sambil menyerahkan kembali ponsel itu dengan kaku.
Keira menatap Arkan penuh selidik. Tingkah suaminya hari ini benar-benar mencurigakan. Dari mulai ban mobil yang tiba-tiba kempes, CCTV di mana-mana, sampai kepanikan yang berlebihan soal SMS spam.
"Arkan, lo nyembunyiin sesuatu dari gue ya?" tembak Keira langsung.
Arkan terdiam. Dia menelan ludah yang terasa pahit. Dia ingin jujur, tetapi dia takut Keira akan terluka. Dia takut Keira akan pergi meninggalkannya jika tahu tentang klaim kehamilan Clara. Arkan belum siap kehilangan Keira, padahal dia baru saja mulai menikmati perannya sebagai suami.
"Enggak ada, Ra. Gue cuma lagi banyak pikiran soal kerjaan kantor. Saham lagi turun," dusta Arkan lagi. Kebohongan demi kebohongan mulai menumpuk seperti bola salju.
Keira menghela napas panjang. Dia tahu Arkan berbohong, tetapi dia juga tahu memaksa Arkan bicara saat ini tidak akan berhasil.
"Oke. Kalau lo belum siap cerita, gue enggak akan maksa. Tapi ingat, Arkan. Sepandai-pandainya tupai melompat, pasti bakal jatuh juga. Dan sepandai-pandainya lo bohong, pasti bakal ketahuan juga. Gue harap pas gue tahu nanti, itu bukan hal yang bakal bikin gue nyesel nikah sama lo," ucap Keira dingin.
Kalimat itu menohok hati Arkan. Rasa bersalah menghantamnya telak.
"Airnya udah mendidih tuh. Masukin mienya," kata Keira datar lalu berbalik badan melanjutkan masaknya.
Arkan menatap punggung istri kecilnya itu dengan perasaan campur aduk. Dia bersumpah akan menyelesaikan masalah ini secepatnya. Besok dia akan menemui Clara. Dia akan mengakhiri teror ini sekali dan untuk selamanya, sebelum rumah tangganya hancur berantakan.
Malam itu, mereka makan mie instan dalam diam. Suara hujan di luar seolah mewakili badai yang sedang berkecamuk di dalam hati Arkan. Sementara Keira, di balik diamnya, mulai menyusun rencana sendiri untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Detektif Keira siap beraksi.