Maura, gadis lugu dari kampung dengan mimpi besar di kota, bekerja sebagai pengasuh nenek dari seorang milyader muda bernama Shaka Prawira. Tak disangka, Maura juga ternyata mahasiswi di universitas milik Shaka. Di balik sikap dinginnya, Shaka menyimpan perhatian mendalam dan mulai jatuh cinta pada Maura—meski ia sudah memiliki tunangan. Terjebak dalam cinta segitiga, Maura harus memilih antara impian dan perasaannya, sementara Shaka berkata,
"Aku sangat menyukaimu, Maura. Aku ingin kau ada saat aku membutuhkanku."
“ anda sudah bertunangan tuan ,saya tidak mau menyakiti hati wanita lain .”
“ Kau tidak akan menyakitinya sayang ,Thalita urusanku ”.
Namun, apakah cinta mampu mengalahkan janji dan status?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mira j, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 11
Bel istirahat berdentang nyaring. Mahasiswa mulai berkemas dan berhamburan keluar dari kelas. Maura memasukkan bukunya ke tas sambil sesekali melirik ke arah pintu, memastikan Megan dan gengnya sudah keluar terlebih dulu. Ia tidak sedang ingin berurusan lagi dengan si ratu kampus hari ini.
Laila menyikut pelan lengan Maura sambil cengar-cengir.
"Hei, sekarang waktunya kamu cerita. Dari tadi aku nahan banget nggak nanya."
Maura menghela nafas panjang. Ia menggandeng tangan Laila dan menariknya keluar dari kelas.
"Ayo cari tempat duduk dulu. Aku nggak mau cerita sambil berdiri."
Mereka duduk di bangku taman kecil di bawah pohon rindang, tak jauh dari kantin kampus. Udara siang itu cukup teduh, cocok untuk ngobrol serius.
Laila menatap Maura penuh semangat, seperti anak kecil yang siap dengar cerita dongeng.
"Jadi gimana? Kamu diapain sih sama Pak Shaka sampai mukamu merah gitu?"
Maura memelototinya sekilas.
"Jangan keras-keras, nanti kedengaran orang!" bisiknya dengan pipi kembali memerah.
"Astaga! Jadi bener dong, dia—"
Maura buru-buru menutup mulut Laila dengan tangannya.
"Dia... nyium aku," ucapnya setengah frustasi.
Laila terbelalak. "WHAT?!"
"Ssstttt!" Maura makin panik. "Tadi pas aku ngomel soal dia mau ngeluarin aku dari kampus, dia malah ketawa-tawa. Terus... dia bilang aku ‘gemesin’! Dan sebelum aku sempat ngomel lagi, dia langsung... nyium aku!"
Laila menatap sahabatnya dengan ekspresi antara kaget, kagum, dan geli.
"Gila sih itu cowok kulkas. Nyium kamu pas kamu lagi marah-marah? Kayak drama Korea aja! Atau jangan jangan ….dia punya rasa sama kamu maura ?”
Maura menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. "Aku nggak tahu harus senang atau kesal. Rasanya pengen nabok, tapi jantungku juga kayak... deg-degan gitu."
Laila terkekeh. "Kamu mulai baper ya, Maura?"
"Enggak!" jawab Maura cepat. "Aku cuma—aku cuma bingung. Dan...kukira dia cuma cucu dari majikanku,ternyata dia juga pemilik kampus!"
"Serius? Wah... bukan main!" Laila memutar matanya. "Sekarang masuk akal kenapa kamu dibilang cewek sugar-daddy sama Megan."
Maura menghela napas. "Padahal aku cuma kerja part-time jaga Oma-nya."
Laila menepuk bahu Maura pelan. "Tenang aja. Kamu kuat kok. Dan... yah, kalau Shaka sampai jatuh cinta sama kamu, artinya kamu memang luar biasa."
Maura hanya tersenyum kecil. Tapi dalam hatinya, ia masih belum bisa tenang. Shaka terlalu berbahaya untuk didekati—karismanya, kekuatannya, dan kini... tatapan matanya yang menghantui pikirannya.
Langit sore mulai merona jingga saat Maura dan Laila melangkah beriringan keluar dari gerbang kampus. Mereka berbincang ringan, sesekali tertawa, membiarkan angin senja menyapu rambut mereka. Di kejauhan, Laila melambaikan tangan ke arah mobil kecil berwarna biru yang sudah menunggunya.
“Maura, aku duluan ya. Besok kita duduk bareng lagi,” ujar Laila sambil membuka pintu mobilnya.
Maura mengangguk sambil tersenyum. “Hati-hati di jalan.”
Begitu mobil Laila berlalu, Maura menarik napas dan melanjutkan langkahnya ke halte. Rambutnya yang dikuncir ekor kuda bergoyang pelan saat ia duduk di bangku halte, menunggu bus seperti biasa. Ia mengeluarkan earphone dan mencoba mencari ketenangan dengan musik dari ponselnya.
Tapi ketenangan itu hanya bertahan sejenak.
Sebuah mobil hitam mewah berhenti dengan mulus di depannya. Kaca jendela turun perlahan, memperlihatkan wajah Shaka yang duduk santai di balik kemudi. Tatapannya jatuh langsung ke arah Maura.
“Ayo, masuk ,” ucap Shaka tanpa basa-basi.
Maura langsung melepas earphone-nya dan menggeleng pelan. “Terima kasih, tapi aku nunggu bus.”
Shaka menaikkan alisnya, ekspresinya tak berubah. “Aku tahu kamu keras kepala, tapi serius... kamu nggak capek pulang naik bus setelah seharian kuliah?”
“Aku sudah biasa. Dan kamu juga sibuk, kan? Nggak usah repot-repot,” jawab Maura, berusaha tetap tenang meski jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.
Shaka mendengus pelan, lalu menatap lurus ke depan. Dengan nada santai tapi penuh makna, ia berkata, “Baik. Tapi jangan bilang ke Oma kalau aku menelantarkan perawatnya ya.”
Setelah itu, ia menekan gas perlahan, dan mobil hitamnya meluncur pergi, meninggalkan aroma parfum maskulin yang samar menyelinap di udara.
Maura mendesah, antara kesal dan geli. “Dasar pria aneh,” gumamnya sambil menatap mobil yang semakin menjauh. Tapi entah kenapa, bibirnya justru tertarik membentuk senyuman kecil.
Shaka memarkir mobilnya di halaman depan mansion Oma Margaret. Matanya sempat melirik ke kaca spion, seolah bertanya pada dirinya sendiri, “Ngapain aku ke sini?” Biasanya, ia hanya datang kalau Oma memanggil atau ada urusan penting. Tapi sore ini... Tangannya seolah membawa mobil itu meluncur dengan sendirinya. Mungkin karena perasaan tak tenang sejak meninggalkan Maura di halte.
Tanpa banyak pikir, Shaka membuka pintu mobil dan melangkah masuk ke dalam mansion. Pelayan yang melihat kedatangannya langsung memberi salam hormat. Ia membalas singkat, lalu masuk ke ruang tengah.
“Oma?” panggil Shaka datar.
Tak lama, Oma Margaret muncul dari ruang baca, langkahnya pelan namun penuh wibawa. Matanya membulat saat melihat siapa yang berdiri di depannya.
“Shaka? Kamu pulang?” tanyanya heran. “Tumben sekali... biasanya harus aku panggil dulu baru muncul.”
Shaka tersenyum kecil. “Lagi pengen mampir aja, Oma.”
Shaka baru saja duduk di ruang tengah bersama Oma Margaret ketika suara pintu dibuka dengan kasar. Langkah kaki terdengar tergesa dari arah depan, dan tak lama kemudian muncullah sosok wanita berpenampilan glamor dengan wajah penuh amarah.
“Shaka!” seru Talitha lantang.
Shaka menoleh dengan ekspresi malas, sementara Oma Margaret sedikit mengernyit melihat kedatangan Thalita yang tidak sopan itu.
“Seharian aku nungguin kamu di kantor! Aku udah dandan, udah siap, tapi kamu gak muncul! Aku coba cari kamu ke apartemen, kosong! Kamu di mana, Shaka?!” suara Thalita nyaring, penuh amarah dan kekecewaan.
Shaka menyandarkan tubuhnya di sofa dengan santai. “Kamu nggak dapet kabar dari sekretarisku? Aku cancel semua janji hari ini di perusahaan. ada urus di kampus yang tidak bisa di gantikan.
Thalita mendengus kesal. “Cancel? Kamu bahkan nggak bilang langsung ke aku! Jadi kamu lebih milih pulang ke sini, ke rumah nenekmu, daripada ketemu tunanganmu sendiri?”
Oma Margaret yang sedari tadi diam, akhirnya bersuara. “Thalita, ini rumah saya. Tolong, jika kamu masuk kesini, masuklah dengan sopan. Bukan dengan teriakan seperti itu. Dan ini juga rumah Shaka dia bisa pulang kesini kapanpun dia mau ,ingat itu !”.
Thalita sempat terpaku. Ia memandang sang nenek dengan ragu, lalu menunduk sedikit. “Maaf, Oma... saya hanya kesal.”
Oma Margaret berdiri perlahan dari kursinya, matanya tajam menatap Thalita. “Kalau kamu benar-benar ingin menjadi bagian dari keluarga kami, kamu harus belajar mengendalikan diri. Bukan dengan membuntuti Shaka dan menerobos rumah orang seenaknya.”
Shaka mengusap pelipisnya, terlihat bosan. “Sudahlah, Thalita. Aku sedang nggak mau ribut. Pulanglah dulu. Kita bicara nanti.”
“Jadi kamu memang sengaja menghindar dari aku, ya?” tanya Thalita dengan nada getir. “Kamu memang sudah berubah, Shaka. Sejak akhir-akhir ini... kamu jauh.”
Shaka berdiri, menatapnya datar. “Mungkin memang kita harus bicara soal ini. Tapi bukan sekarang. Aku capek.”
Thalita terdiam. Matanya memerah, tapi ia tahu ini bukan tempat untuk drama berlebihan.
Oma hanya menghela nafas panjang. Dalam hati, ia semakin ragu pada Thalita. Dan Shaka... ia bisa melihat perubahan besar dalam diri cucunya. Ada sesuatu—atau seseorang—yang mengusik hati dingin itu. Sesuatu yang bahkan Thalita tak bisa pahami.
Di tengah ketegangan antara Thalita dan Shaka, tiba-tiba terdengar suara lembut dari arah pintu.
"Assalamualaikum , Oma..." sapa Maura sambil masuk dengan sopan.
Oma Margaret langsung menoleh dan senyum ramah merekah di wajahnya. Ia segera melangkah mendekati Maura. “Maura, kemarilah, Sayang.”
Maura tersenyum kecil dan menghampiri sang nenek. Namun suasana di ruangan masih terasa tegang. Tatapan Thalita langsung tertuju pada Maura dari ujung kepala hingga kaki. Naluri wanitanya menangkap sesuatu—wajah manis, sikap lembut, dan aura tenang Maura cukup mencolok.
“Siapa gadis ini, Oma?” tanya Thalita sambil setengah menahan nada curiga.
Oma Margaret dengan santai menjawab, “Ini Maura. Dia pengasuh pribadi Oma. Orang kepercayaan Oma di rumah ini.”
Mendengar itu, Thalita langsung menghela nafas lega. “Oh, cuma pengasuh... Kukira...” Ucapannya menggantung, tapi cukup jelas menunjukkan bahwa ia sempat berpikir Maura adalah saingan.
Shaka melirik sekilas ke arah Maura, tapi tak berkata apa-apa. Maura pun hanya menunduk sopan, tidak ingin mencampuri urusan pribadi mereka.
Namun Thalita belum selesai. Ia masih merajuk pada Shaka, menggenggam lengan pria itu sambil berkata, “Shaka, ayolah... kita jadi makan malam. Aku sudah siap dari tadi, kamu juga janji sama aku.”
Shaka mendesah pelan, merasa malas memperpanjang drama. “Oke. Ayo. Aku ikut. Tapi jangan berisik lagi di rumah ini,” ujarnya datar.
Thalita langsung tersenyum menang, lalu berpamitan manis pada Oma Margaret. “Kami pergi dulu ya, Oma...”
“Jaga sikapmu, Thalita,” jawab Oma singkat namun tegas.
Sementara itu, Maura hanya berdiri diam di sisi ruangan. Matanya tak sengaja bertemu dengan mata Shaka sesaat, dan ada kilatan emosi yang tak bisa menghindar dijelaskan. Tapi Shaka segera mengalihkan pandangan, menggandeng Thalita pergi dari ruangan itu.
Setelah pintu tertutup, Oma Margaret menepuk lembut tangan Maura. “Kau lihat sendiri, kan? Itulah tunangannya... Shaka , Tapi entah kenapa Oma rasa... dia tidak cocok dengan Shaka.”
Maura hanya tersenyum kecil, tak memberi komentar. Tapi hatinya... ikut terasa aneh. Ia seakan tak rela mendengar shaka sudah punya tunangan.
Maura duduk di ruang tengah bersama Oma Margaret, namun pikirannya tak berada di sana. Ia masih memikirkan kejadian tadi—tentang Shaka, Thalita, dan ciuman yang sempat dicuri darinya. Hatinya terasa sesak, bingung dengan perasaannya sendiri.
Ternyata dia sudah punya tunangan... pikir Maura dalam hati. Lalu kenapa dia masih berani menyentuhku seperti itu? Seenaknya sendiri. Dasar laki-laki egois!
Ia menggertakkan giginya pelan, kesal pada Shaka dan... pada dirinya sendiri karena sempat merasa berdebar saat bersama pria itu. Sialnya, kenangan tentang ciuman singkat tapi membekas itu terus menghantuinya.
Oma Margaret berbicara panjang lebar di sampingnya, menceritakan sesuatu tentang pertemuan keluarga, namun Maura tak menangkap satu kata pun. Ia hanya duduk kaku, dengan tatapan kosong.
Melihat Maura diam tak bereaksi, Oma pun menepuk pelan pundaknya.
"Maura? Sayang, kamu kenapa? Lho, kok diam saja? Kamu kecapekan, ya?" tanya Oma dengan nada khawatir.
Maura tersentak dari lamunannya. Ia langsung menggeleng dan mencoba tersenyum. “Nggak, Oma. Maaf... Aku cuma sedikit capek.”
Oma mengangguk pelan. “Kalau begitu, kamu makan, lalu istirahat dulu ya. Jangan dipaksakan. Kalau ada yang mengganggu pikiranmu, ceritakan ke Oma. Jangan dipendam sendiri.”
Maura hanya menjawab dengan anggukan kecil. Ia bangkit dari duduknya dan pamit ke kamar. Tapi sesampainya di kamar, ia jatuh terduduk di tempat tidur.
Di balik pintu yang tertutup, Maura menghela nafas panjang.
Kenapa kamu cium aku, Shaka... Kalau ternyata kamu sudah punya tunangan?
Dan untuk pertama kalinya, Maura sadar... Shaka benar-benar mulai mempengaruhi perasaannya.
Restoran bergaya Perancis itu ramai tapi tetap hangat dan berkelas. Malam itu, Thalita tampil menawan dengan gaun hitam elegan yang memperlihatkan bahu jenjangnya. Ia menyilangkan kaki dengan anggun, memandangi Shaka yang duduk di hadapannya dengan ekspresi datar. Sementara pelayan meletakkan hidangan utama, Thalita membuka percakapan.
“Shaka, aku pengen ngomong sesuatu,” katanya pelan namun terdengar jelas di antara denting alat makan dan musik klasik.
Shaka mengangguk sedikit, mengangkat tatapannya yang tadi sibuk menatap layar ponsel. “Apa?”
“Aku bakal ke Paris bulan depan. Ada jadwal fashion show selama satu bulan penuh. Empat kota, dan brand-nya besar banget. Aku excited banget.”
Shaka meletakkan garpu dan pisau di piringnya, menyandarkan tubuh ke sandaran kursi. “Paris? Satu bulan?”
Thalita mengangguk antusias. “Iya! Ini kesempatan besar, Shaka. Aku bisa tampil bareng model internasional. Ini karir impianku sejak dulu.”
Shaka menghela napas, lalu dengan tenang menjawab, “Kalau itu yang kamu mau, ambil saja. Aku nggak akan halangi.”
Thalita menatap Shaka, matanya sedikit menyipit. “Kok kamu gitu sih, Sha? Nggak ada dukungan atau pelukan kek? Atau, ‘Aku bangga sama kamu, lita’? Aku cerita ini karena aku ingin kamu terlibat, setidaknya emosional.”
Shaka menatap ke meja, lalu kembali menatap Thalita. “Aku senang kamu punya kesempatan besar. Tapi aku... akhir-akhir ini pikiranku lagi penuh”.
Thalita menyandarkan tubuh, lalu memutar gelas anggurnya perlahan. “Penuh sama apa? Jangan bilang... pekerjaan terus.”
Shaka mengangkat bahu. “Pekerjaan, keluarga, Oma. Banyak hal.”
Thalita mencondongkan tubuhnya ke depan, lebih serius. “Sha, aku ini tunanganmu. Tapi kadang aku merasa kayak orang asing. Kamu makin jauh akhir-akhir ini. Kamu sibuk, aku ngerti. Tapi kamu juga dingin, nggak kayak dulu.”
Shaka menatap Thalita, kali ini lebih dalam. “lita…. aku tahu kamu kecewa. Tapi ada banyak hal yang harus aku urus. Mungkin setelah kamu balik dari Paris, kita bisa bicara lebih tenang.”
Thalita tersenyum kecut. “Jadi kamu senang aku pergi jauh, ya?”
Shaka tak menjawab. Ia hanya mengalihkan pandangan ke luar jendela restoran yang memperlihatkan pemandangan kota di malam hari.
Thalita menarik napas panjang. “Oke, aku akan pergi. Tapi, Shaka.... jangan terus menerus menghindar. Kita ini bukan cuma dua orang yang terikat cincin. Kita saling mencintai.”
Shaka menatapnya sejenak. Ada keraguan di matanya, lalu ia berkata pelan, “Aku nggak pernah berniat menghindar, Tal. Tapi kadang... Kesibukan membuat kita berubah, dan aku juga nggak tahu kenapa.”
Thalita tercenung. Tangannya mengepal pelan di pangkuan. Malam itu, meski ditemani cahaya lilin dan musik romantis, ada jarak yang tak terlihat—namun jelas terasa—di antara mereka. Dan Thalita Tak mau itu terjadi Shaka sumber uang untuk nya karena berapa pun ia minta Shaka akan memberikannya .