Di Kota Sentral Raya, kejahatan bukan lagi bayangan yang bersembunyi—ia adalah penguasa. Polisi, aparat, hingga pemerintah berlutut pada satu orang: Wali Kota Sentral Raya, dalang di balik bisnis ilegal, korupsi, dan kekacauan yang membelenggu kota ini.
Namun, ada satu sosok yang tidak tunduk. Adharma—pria yang telah kehilangan segalanya. Orang tua, istri, dan anaknya dibantai tanpa belas kasihan oleh rezim korup demi mempertahankan kekuasaan. Dihantui rasa sakit dan dendam, ia kembali bukan sebagai korban, tetapi sebagai algojo.
Dengan dua cerulit berlumuran darah dan shotgun di punggungnya, Adharma tidak mengenal ampun. Setiap luka yang ia terima hanya membuatnya semakin kuat, mengubahnya menjadi monster yang bahkan kriminal pun takut sebut namanya.
Di balik topeng tengkorak yang menyembunyikan wajahnya, ia memiliki satu tujuan: Menumbangkan Damar Kusuma dan membakar sistem busuk yang telah merenggut segalanya darinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mimpi Yang Berdarah
Darma berdiri di depan rumah kecil mereka yang dahulu penuh kebahagiaan. Matahari sore memancarkan sinarnya dengan hangat, menciptakan bayangan panjang di halaman depan. Di teras rumah, Sinta sedang menyapu sambil tersenyum kepadanya, sementara Dwi Handayani berlari kecil ke arahnya, tertawa riang.
"Ayah!" suara Dwi begitu jernih, begitu nyata.
Darma berjongkok, membuka tangannya lebar, dan Dwi langsung melompat ke pelukannya. Tubuh kecil itu terasa hangat di dalam dekapannya.
“Kamu habis main apa, Nak?” tanyanya, suaranya terdengar lebih lembut daripada yang ia ingat.
"Aku habis main jadi pahlawan, Ayah!" Dwi mengangkat tangan kecilnya, menunjukkan boneka superhero yang dibelikan Darma tempo hari. "Aku mau jadi kuat, kayak Ayah!"
Darma tersenyum, tapi di balik senyum itu ada kepedihan yang menyusup. Ini terlalu sempurna. Terlalu damai.
Sinta berjalan mendekat, duduk di samping Darma di atas teras rumah. Ia menatap suaminya dengan penuh cinta, lalu meraih tangannya. "Kamu kelihatan lelah, Mas," katanya lembut.
Darma menatap mata istrinya yang jernih. "Aku capek, Sin... Aku capek kehilangan kalian."
Sinta menggeleng, menggenggam tangan Darma lebih erat. "Kami nggak pernah pergi, Mas... Kami selalu ada di sini."
Sinta meletakkan tangannya di dada Darma, tepat di atas jantungnya yang berdegup kencang.
Darma ingin percaya. Tuhan, betapa ia ingin percaya.
Mereka bertiga duduk bersama di teras itu, menikmati senja yang perlahan berubah menjadi malam. Dwi menyandarkan kepalanya di dada Darma, sementara Sinta menggenggam tangannya.
Tapi tiba-tiba, suhu udara berubah drastis. Hangatnya senja berganti dengan dinginnya malam yang mencekam. Langit yang tadinya berwarna jingga berubah menjadi gelap pekat.
Darma mengerutkan kening, perasaan tidak nyaman mulai menjalar di tubuhnya. Ia menoleh ke arah Sinta dan Dwi—mereka masih ada di sana, tapi ada sesuatu yang aneh.
Sinta tersenyum… tapi matanya mulai kosong. Dwi masih bersandar di dadanya… tapi tubuhnya terasa lebih berat, lebih dingin.
Darma mencoba menggerakkan tubuhnya, tapi rasanya seperti ada beban yang menekannya.
Lalu—
DOR!
Suara tembakan memecah keheningan.
Mata Darma melebar saat melihat kepala Sinta tiba-tiba meledak. Darah dan serpihan tengkoraknya berhamburan, mengotori wajah dan bajunya. Tubuh istrinya langsung lunglai, jatuh ke lantai teras dengan suara gedebuk yang menyakitkan.
"Ayah…"
Suara kecil Dwi memanggilnya, membuat Darma menoleh dengan panik.
Tapi sebelum ia sempat melakukan apa pun—
DOR!
Peluru menembus kepala Dwi. Darah segar menyembur ke wajah Darma saat tubuh kecil itu jatuh dari pelukannya. Mata Dwi yang masih terbuka menatapnya kosong, kehilangan cahaya kehidupannya.
"TIDAAAAKKKKK!!!"
Darma berteriak sekuat tenaga, memeluk tubuh anaknya yang kini tak bernyawa. Tangannya gemetar, jantungnya berdegup kencang, dan rasa sakit yang tak tertahankan menghantamnya seperti gelombang tsunami.
Ia menoleh ke kanan, ke kiri—mencari siapa pelakunya. Tapi yang ada hanyalah kegelapan.
Dia sendirian.
Sendirian dalam lautan darah keluarganya sendiri.
Darma tersentak bangun. Dadanya naik turun dengan cepat, napasnya memburu seperti seseorang yang hampir tenggelam.
Peluh dingin membasahi tubuhnya, meskipun ruangan tempatnya beristirahat terasa dingin.
Dia butuh waktu beberapa detik untuk menyadari bahwa dia ada di rumah Doni, duduk di kursi tua dengan tangannya masih mengepal.
Itu mimpi.
Tapi rasanya begitu nyata. Begitu menyakitkan.
Tangannya gemetar saat meraih liontin yang kini tergantung di lehernya. Liontin yang seharusnya ada di leher Sinta.
Ia meremasnya erat, seolah ingin merasakan kehadiran istrinya melalui benda kecil itu. Tapi tidak ada yang tersisa selain kenangan dan luka yang semakin dalam.
Darma mengangkat kepalanya, menatap cermin di seberang ruangan. Sosok yang ia lihat bukan lagi dirinya yang dulu. Bukan lagi seorang pria pekerja keras dengan kehidupan sederhana dan bahagia.
Yang ia lihat hanyalah seorang pria yang telah kehilangan segalanya.
Seorang pria yang hanya punya satu tujuan di dunia ini.
Balas dendam.
Doni yang sedang berada di dapur mendengar suara napas Darma yang tersengal-sengal. Ia segera meletakkan gelas kopi yang baru saja ia buat dan berjalan ke ruang tamu. Begitu melihat sahabatnya duduk dengan wajah pucat, keringat dingin membasahi dahinya, Doni langsung merasa ada sesuatu yang salah.
"Darma?" suaranya pelan, tapi penuh perhatian.
Darma masih duduk diam, tangannya mencengkeram liontin di lehernya dengan erat. Tatapannya kosong, seakan jiwanya belum sepenuhnya kembali ke dunia nyata.
Doni melangkah lebih dekat dan berjongkok di depannya. "Bro, lu kenapa? Mimpi buruk?"
Darma tidak langsung menjawab. Ia hanya menghela napas berat, berusaha mengendalikan emosinya yang masih berantakan.
Doni menatapnya dengan penuh kekhawatiran. Ia tahu sahabatnya sedang berada di ambang batas. Sejak tragedi itu, Darma bukan lagi orang yang sama.
"Aku lihat mereka, Don..." suara Darma akhirnya keluar, serak dan penuh luka.
Doni mengernyit. "Mereka?"
Darma mengangguk pelan. "Sinta... Dwi... Mereka ada di sana. Aku lihat mereka... Aku bicara dengan mereka... Aku..."
Doni menunggu.
"...dan aku melihat mereka mati lagi, Don." Suara Darma bergetar. "Kepala mereka ditembak di depan mataku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku tidak bisa menyelamatkan mereka... lagi."
Doni menghela napas panjang. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi tidak ada kata-kata yang cukup kuat untuk mengurangi penderitaan Darma.
"Lu masih mimpiin mereka tiap malam?" tanyanya hati-hati.
Darma tertawa kecil, tapi penuh kepahitan. "Setiap malam, Don. Setiap aku menutup mata, aku kembali ke sana. Ke saat mereka dibunuh."
Doni menundukkan kepala, ikut merasakan kepedihan sahabatnya.
"Aku nggak bisa terus begini," lanjut Darma. "Aku nggak bisa tidur... aku nggak bisa makan... yang ada di kepalaku cuma satu hal..."
Doni mengangkat wajahnya, menatap Darma dalam-dalam. Ia sudah tahu apa yang akan dikatakan sahabatnya itu.
"Dendam?"
Darma menatapnya. "Aku harus membalas mereka, Don. Aku harus membunuh setiap orang yang bertanggung jawab atas ini."
Doni menarik napas panjang. Ia sudah menduga ini akan terjadi. Darma bukan tipe orang yang bisa diam saja setelah kehilangan segalanya. Tapi mendengar langsung niat itu dari mulutnya sendiri tetap membuatnya merasa berat.
"Darma..." Doni mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Lu yakin ini jalan yang mau lu ambil?"
Darma tersenyum kecil, tapi matanya penuh kebencian. "Gue nggak punya pilihan lain, Don. Mereka sudah merenggut semuanya dari gue. Sinta, Dwi, orang tua gue... mereka mati sia-sia. Gue nggak bisa hidup dengan diam."
Doni menghela napas berat. Ia menatap mata sahabatnya yang kini dipenuhi api kemarahan dan rasa sakit yang tak terobati.
Lalu, tanpa berkata apa-apa lagi, Doni mengulurkan tangannya, menepuk bahu Darma dengan erat.
"Gue nggak bakal nahan lu, Darma," katanya akhirnya. "Tapi apapun yang lu rencanain, lu harus hati-hati. Jangan sampai lu kehilangan diri lu sendiri."
Darma menatap Doni dalam-dalam. Lalu, untuk pertama kalinya malam itu, ia mengangguk.
"Aku nggak akan berhenti, Don. Aku akan buat mereka semua merasakan neraka."