Alisha Alfatunnisa, putri dari pemilik pondok pesantren yang populer di kotanya. Belum menikah meski menginjak umur 29 tahun. Hati yang belum bisa move on karena Azam sang pujaan hati, salah melamar kembaran nya yaitu Aisha.
Peperangan batin dilalui Alisha. Satu tahun dia mengasingkan diri di tempat kakeknya. Satu tahun belum juga bisa menyembuhkan luka hati Alisha. Hingga datang sosok Adam, senior di kampusnya sekaligus menjadi rekan duet dalam menulis.
Apakah kehadiran Adam bisa menyembuhkan luka hati Alisha? Atau masih ada luka yang akan diterima Alisha? Cerita yang menguras air mata untuk kebahagiaan sang kembaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Erni Handayani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
Tiga purnama sudah berlalu. Namun, belum membuat aku terbiasa. Elsa dan Mira menyita pikiranku.
"Nak... buka pintunya ini ibu!"
Panggilan ibu membuatku menutup novel Rembulan Tanpa Malam yang sedang aku baca. Aku melirik jam yang ada di atas meja rias menunjukan pukul 21:00.
Sejak pulang dari toko buku tadi aku memilih diam di kamar, menangis tanpa suara karena ucapan Umi Zulfa tadi. Entah sudah pulang atau belum Umi Zulfa.
"Ada apa, Bu?" tanyaku setelah membuka pintu.
"Boleh ibu masuk?" tanya ibu. Aku mengangguk pasti. Ibu masuk ke dalam lalu aku kunci lagi pintu kamar.
Ibu duduk di ranjangku yang muat untuk tiga orang. Novel Rembulan Tanpa Malam di ambilnya.
"Duduk sini, Alisha! Ibu kangen kamu," ujar ibu.
Aku menurut dan langsung duduk di samping ibu yang tengah membaca blur dari novel Rembulan Tanpa Malam.
"Jangan di masukan ke hati omongan Umi Zulfa, Nak! Ibu bangga sama kamu yang berdakwah lewat aksara. Ibu percaya kamu tidak mengecewakan Ayah dan Ibu seperti yang di ucapkan Umi Zulfa tadi," ucap Ibu setelah meletakan novel itu. Tangan Ibu membingkai wajahku.
Allah, bagaimana jika Ibu tahu aku pernah dekat dengan menantunya saat kuliah dulu. Ayah dan Ibu memberikan aku kepercayaan penuh. Namun, aku mengkhianatinya. Mungkin sakit dan takdir ini teguran dari Allah karena aku tak menuruti ucapan Ayah dan Ibu.
"Kalau yang dikatakan Umi Zulfa benar apa yang akan Ibu dan Ayah lakukan?" tanyaku ingin tahu apa reaksi Ibu.
Bukan keterkejutan atau kata-kata yang pedas. Ibu justru malah tersenyum.
"Ibu percaya sama kamu, Nak! Kamu pasti memiliki alasan tersendiri mengapa masih belum menikah."
Kelu lidahku mendengar jawaban Ibu. Sebegitu percayanya sama aku. Aku tersenyum tipis, Ibu selalu menjadi penyejuk kala hati resah. Tidak jarang aku merintihkan namanya saat sedang sakit. Aku tidak pernah ada waktu bermanja dengannya, mungkin Allah memberikan kesempatan itu saat ini.
"Apa Ibu juga mau memaksa Alisha untuk segera menikah? Seperti Ayah yang mengancam Alisha jika tidak pulang kesini?" tanyaku.
"Setiap orang tua pasti ingin anaknya menikah, Ibu tidak memaksamu, Nak! Semua ada di tangan kamu."
Jawaban Ibu membuat aku tenang, aku mengeratkan pelukan. Di belai dengan lembut lenganku.
"Ada yang ingin kamu ceritakan, Nak?" tanya Ibu setelah lama sama-sama diam.
"Nggak bu, Alisha hanya butuh waktu lebih untuk menentukan imam untuk Alisha,"jawabku.
"Maafkan ibu yang kurang waktu untukmu! Ibu orang pertama yang mendukung kamu dalam semua hal apapun."
Aku mendongakan kepala untuk menatap lekat mata sipit Ibu. Aku bersyukur memiliki Ibu sebagai ibuku. Sejenak aku bisa melupakan tentang perkataan Umi Zulfa.
"Alisha yang banyak salah satu tahun tidak pulang ke rumah!" ucapku.
Penyeselan memang selalu datang terakhir. Aku terlalu egois memikirkan diri sendiri. Tidak terpikirkan jika saat ini ibu kesepian. Ketika adik-adikku menikah pasti mereka tidak punya banyak waktu untuk ibu.
"Dengan kamu kembali lagi ibu sudah senang, Nak!"
Malam semakin larut, ibu juga sudah pergi setengah jam yang lalu. Aku kembali membuka novel Rembulan Tanpa Malam, novel ini bagai candu membuat aku ingin menuntaskan segera. Baru akan membuka lembaran baru. Terdengar notif dari ponselku. Aku membuka ponsel ada pesan masuk dari nomor baru.
[Assalamualaikum, maaf mengganggu malammu, Alisha!]
Aku mengklik foto profilnya ternyata Kak Adam. Dia memakai foto bersama anak perempuan umur dua tahunan. Mungkin anaknya.
[Waalaikumsalam, nggak Kak ada apa?]
Balasku, setelah aku save nomornya. Entah dari mana Kak Adam mendapatkan nomorku.
[Besok bisa kita bertemu, penting!]
Pesan dari Kak Adam sukses membuatku bertanya-tanya, ada hal penting apa? Aku masih menanti jawaban dari pesan terakhir yang aku kirim. Limabelas menit berlalu masih belum ada jawaban. Mungkin, Kak Adam sudah tertidur.
Aku menatap lekat foto profil Kak Adam di aplikasi WA, senyum menawan anaknya membuat aku mengembangkan bibirku membentuk bulan sabit. Dia mirip sekali dengan Kak Adam, benar-benar duplikat.
[Sudah malam Alisha, sampai bertemu besok! Sila lagi rewel. Maaf lama balasnya.]
Mataku terpaku membaca pesan balasan dari Kak Adam. Jadi Sila nama anaknya. Nama yang cantik secantik mamanya.
[Iya kak]
Aku balas singkat pesan Kak Adam. Mataku juga sudah berat tidak bisa di ajak lebih lama terbuka. Dalam sekejap aku sudah terlelap.
"Alisha..." suara lembut yang tak asing terdengar memanggil namaku.
"Mas.. Baru datang? Aku menunggu lama!" aku menggembangkan senyum lebar-lebar.
"Maaf telat Alisha, aku mau bicara satu hal penting."
Aku menatap lekat wajah lelaki yang menjadi lawan bicaraku. Tidak biasanya dia terlihat gugup juga, ah penampilannya sedikit kacau.
"Katakan saja, Kak. Kenapa gugup begitu!" ucapku to the point. Ada yang aneh dengannya hari ini.
"Apa kamu akan pulang ke Cirebon?" ingin aku tertawa mendengar pertanyaan lelaki itu. Jelas aku akan pulang ke Cirebon, bahkan aku sudah siap dengan koperku.
"Iya.. Koperku juga sudah siap! Ada apa Mas?" tanyaku lagi.
Lelaki itu mengusap kasar wajahnya. Wajah tegang terlukis jelas di wajahnya. Ini saat-saat terakhir aku di sini. Bulan depan sudah wisuda.
"Gugup banget, Mas! Mau ngomong apa? Keburu Kang Herman datang!"
"A-apa kamu mau menunggu kedatanganku di Cirebon?" tanyanya hati-hati. Tawaku meledak seketika, cuma bilang aku apa mau menunggu kedatangannya di Cirebon dia begitu grogi, apalagi bertemu Ayah?
"Aku tunggu,Mas! Belajar dulu jangan grogi, ya!" ucapku padanya.
"Alhamdulillah," timpalnya begitu keras.
"Aku belum menjawab iya, Mas Azam Al-Ghani!"
"Tidak..."
Aku terbangun dengan keringat bercucuran di sekujur tubuh. Napasku memburu, aku mengucap istigfar lalu meminum air putih di atas meja. Langsung tandas habis dalam hitungan detik.
Allah, tidak pernah aku bermimpi tentang Azam. Pertanda apa ini, Robb? Aku mengusap wajah yang penuh dengan peluh, jam menunjukan pukul 02:00 dini hari. Kepala sedikit pusing karena bangun terjaga oleh mimpi.
Hari itu aku tidak memahami dengan jelas maksud omongan Azam. Aku langsung pulang karena Kang Herman sudah menjemput. Azam masih sempat mengirimkan pesan lewat WA, dia ingin memberikan kejutan untukku.
Nasi sudah menjadi bubur, malang tak dapat di cegah untung tak bisa ku raih. Ponsel tiba-tiba drop, aku nggak bisa membalas pesan Azam.
Semua memang aku yang salah, aku lupa mengatakan jika pulang ke rumah kakek. Kejutan yang diberikan Azam berhasil membuat syok nyaris pingsan. Dia ternyata datang ke Darul Arkom, melamarku. Bukan aku melainkan Aisha.
Allah, aku tahu ini yang terbaik darimu aku ikhlas dia untuk Aisha. Namun, egoiskah aku jika tetap ingin memiliki dia.