Murni, seorang biarawati yang sedang cuti karena ingin menyembuhkan jiwa setelah terganggu mimpi-mimpi buruk yang terus berdatangan, menerima pesan aneh di ponselnya -suara paniknya sendiri yang membuatnya penasaran. Ia mengikuti petunjuk yang membawanya ke sebuah warung makan tua yang hanya buka saat malam.
Di warung itu ia bertemu dengan Mahanta, seorang juru masak pendiam yang misterius. Namun warung itu bukan warung biasa. Pelanggannya adalah jiwa-jiwa yang belum bisa pergi, dan menu makanannya bisa menenangkan roh atau mengirimnya ke dalam kegelapan. Murni perlahan terseret dalam dunia antara hidup dan mati. Ia mulai melihat masa lalu yang bukan miliknya. Meskipun Mahanta tampaknya menyimpan rahasia gelap tentang siapa dirinya dan siapa Murni sesungguhnya, pria itu bungkam. Sampai cinta yang semestinya dilarang oleh langit dan neraka merayap hadir dan mengungkapkan segalanya.
L'oubli (B. Perancis): keadaan tidak menyadari atau tidak sadar akan apa yang sedang terjadi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dela Tan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Season 1 ; Bab 23 - Yang Tidak Ingin Kembali
Gadis itu celingak-celinguk, tampak bingung. Lalu dia melihat Murni.
“Ini… tempat apa? Ini di mana?” Suaranya nyaris tidak terdengar, tampak menahan sakit.
“Ayo masuk,” Murni mempersilakan, seolah ia adalah pemilik tempat ini. Padahal pemilik sebenarnya entah ada di mana.
Gadis itu menatap Murni, seolah berusaha mengenalinya. “Kakak siapa? Kenapa aku datang ke sini? Kenapa kakak juga ada di sini?”
Murni terdiam, tidak tahu harus menjawab apa.
“Kakak… apakah hantu atau manusia?” Gadis itu bertanya lagi.
Roh gadis dengan penampilan berantakan, wajah seputih tembok rumah sakit, dengan mata semerah kembang sepatu dan jejak cekikan di lehernya, bertanya pada Murni, yang jelas-jelas manusia, apakah ia hantu atau manusia.
Itu hampir lucu. Tetapi Murni tidak tertawa.
Karena ia mencium aroma pahit yang sangat kental menguar dari dari gadis itu. Begitu pahit sampai terasa perih di hidung. Dendam dan kebencian yang membungkusnya pasti tak tertahankan.
“Ini… tempat persinggahan sementara.” Hanya itu yang bisa dijawab Murni. “Kamu bisa datang ke sini karena kamu sedang ada di persimpangan.”
Setidaknya itulah yang ia ketahui, sesuai penjelasan Mahanta.
“Persimpangan?” Gadis itu tampak tidak mengerti, tetapi tidak menolak masuk, berjalan tertatih-tatih dengan wajah bingung.
Lalu tangannya terangkat ke lehernya, dan bergumam. “Apakah aku sudah mati?”
Kemudian dia menoleh pada Murni. “Kita… apakah kita sudah mati?”
Murni menggeleng, tetapi tidak mengatakan apa-apa.
“Belum? Tidak?” Gadis itu mulai gelisah, sebelum kemudian menyadari sesuatu. “Aku belum mati? Mengapa aku tidak mati! MENGAPA AKU TIDAK MATI!”
Gadis itu berteriak, sehingga jejak cekikan di lehernya tampak jelas. Tangannya dengan gusar meraba-raba lehernya, menjambak rambutnya sendiri, lalu meremas perutnya, “MENGAPA AKU TIDAK MATI! AKU TIDAK INGIN HIDUP! MENGAPA AKU TIDAK MATI?!”
Air mata mulai membanjir dari matanya yang merah. Bau pahit semakin pekat. Murni sampai harus menahan napas.
“Tenang, Dik. Kamu masih diberi kesempatan untuk kembali. Kamu masih muda, masa depanmu…”
“KEMBALI? MASA DEPAN?” Gadis itu menyentakkan kepala, lalu menunjuk Murni. “Kakak tidak tahu apa-apa! Untuk apa kembali? Aku tidak mau kembali!”
Murni menduga jejak cekikan itu bisa karena dua hal, pertama ada yang berusaha membunuh gadis ini. Kemungkinan kedua, gadis ini berusaha mengakhiri hidup dengan menggantung diri. Karena dia mengatakan tidak ingin kembali, Murni lebih yakin yang terjadi adalah yang terakhir. Barangkali dengan menyebut orang tua, gadis ini teringat akan kasih sayang orang tuanya, sehingga bisa diselamatkan.
“Orang tua kamu pasti sedih.”
“Hmh! Orang tua!” Gadis itu mendengkus sinis.
Murni tidak bisa meraba-raba apa yang terjadi. Mahanta tidak ada, sehingga ia tidak bisa ‘melihat’ di dalam sup.
Murni juga tidak bisa menyajikan apa-apa. Lagi pula, menurut Mahanta jika ia menyajikan makanan, maka orang itu pasti kembali. Tapi gadis ini tidak ingin kembali.
Jadi Murni duduk di sebelahnya, berusaha mengerti kerisauan gadis itu. “Maaf, Kakak memang tidak tahu apa-apa. Tenang dulu, kamu duduk dulu ya.”
Suara Murni yang lembut berhasil meredakan kegelisahan gadis itu. Dia menurut, menghampiri satu kursi dan duduk.
“Siapa namamu?”
“Ceria.” Lalu gadis itu tertawa mengejek. “Tapi hidupku berbanding terbalik dengan namaku.”
“Namaku Murni. Apakah Kakak boleh memanggilmu Eri saja?” Murni memilih huruf di tengah, sebab Ceria, Ceri maupun Ria, semuanya terdengar terlalu ironis.
“Terserah.” Ceria tidak peduli.
“Baiklah, Eri. Kalau kamu ingin berbagi beban, Kakak siap mendengar. Hanya telinga yang bisa Kakak sediakan. Tapi kalau itu terlalu menyakitkan, Kakak akan menemani kamu duduk saja di sini. Bagaimana?”
Ceria tidak menjawab. Murni tidak ingin mendesak. Jika Ceria ingin menumpahkan semuanya, biarlah itu dia putuskan sendiri.
“Aku tahu aku akan masuk neraka.” Setelah berada dalam kebisuan beberapa saat, akhirnya Ceria mulai membuka mulut.
“Tapi dunia bagiku sudah lebih dari neraka.” Dia mulai terisak-isak. “Kakak mengatakan orang tua. Ayah sudah pergi sejak aku masih kecil, aku bahkan sudah tidak ingat wajahnya. Mungkin dia masih hidup, mungkin dia sudah meninggal, aku tidak tahu.”
Murni tidak menyela, tidak berkomentar. Seperti janjinya, ia hanya mendengarkan.
“Ibu. Hh… aku tidak sudi menyebutnya ibu. Wanita yang mengaku sudah melahirkan aku… dia yang membawa laknat terkutuk itu ke rumah, dan sejak itu duniaku sudah jadi neraka. Aku tidak menyesal telah membunuhnya!”
'Membunuhnya? Jadi selain bunuh diri, Ceria juga membunuh seseorang?' Murni terkejut, tapi tidak menyela.
“Kak…” Tiba-tiba Ceria menoleh, wajahnya dipenuhi air mata. Hati Murni seolah diremas melihat kesakitan yang penuh di matanya, ingin memeluknya, tetapi ia tahu itu tak bisa dilakukan. Ceria hanya roh yang tidak memiliki wujud fisik.
“Mengapa perempuan harus punya payudara, dan mengapa laki-laki terobsesi dengan itu?”
Murni terperangah, tidak tahu harus menjawab apa.
Ceria tertawa, hampir histeris. Meremas kedua dadanya dengan kebencian yang tercetak jelas di wajahnya.
---
Diberi fisik yang molek, payudara besar, perut rata, bokong kencang, dan pinggang kecil, bagi wanita itu adalah anugerah yang sangat disyukuri. Termasuk Ceria.
Tidak banyak wanita yang beruntung memiliki tubuh bentuk gitar Spanyol seperti itu. Tetapi sejak mendapat menstruasi pertama, tubuh Ceria berkembang menjadi sangat berlekuk, padahal dia tidak pernah berolahraga untuk membentuk tubuh.
Waktu kecil dia cenderung tomboy. Dia hanya suka bermain tembak-tembakan dengan anak-anak tetangganya di kompleks, yang kebetulan semua laki-laki. Dia bahkan tidak memiliki boneka atau alat-alat masak mini seperti anak perempuan lain.
Namun, setelah menjadi ‘wanita’, hormon estrogennya semakin mendominasi, dan naluri kewanitaan kian menyingkirkan sikap tomboynya, terutama setelah memasuki SMA. Ceria menyadari kelebihannya, dan merasa bangga.
Sebagaimana manusia lain, tentu saja ada keinginan untuk memamerkan sesuatu yang dibanggakan. Karena itu, di luar jam sekolah Ceria suka mengenakan pakaian yang memeluk tubuhnya. Tidak terbuka, tetapi cukup memamerkan lekuk-lekuknya yang sempurna.
Ketika menangkap mata-mata yang menatapnya kagum saat dia lewat, tak ayal Ceria merasa melambung.
Ceria hanya hidup dengan ibunya. Status pernikahan orang tuanya tidak jelas, entah mereka sudah bercerai atau masih menikah. Ibunya hanya mengatakan bahwa ayahnya telah pergi entah ke mana bertahun-tahun yang lalu.
Sebagai ‘lajang’, ibu Ceria cukup laku, sering gonta-ganti pacar. Ada orang lokal, juga ada orang asing. Terkadang pacarnya ada yang menginap di rumah.
Awalnya Ceria merasa jengah, terutama setelah dia mengerti suara-suara aneh yang terkadang didengarnya di tengah malam. Waktu masih kecil dia tidak mengerti, tetapi setelah menginjak remaja, setolol apa pun dia, tentu saja dia tahu itu suara apa.
Tetapi lama kelamaan itu menjadi hal yang basi. Ceria tidak lagi terlalu peduli. Tidak merasa harus marah-marah, tidak merasa perlu mengenal pacar ibunya. Toh beberapa bulan lagi lelaki yang satu akan digantikan lelaki yang lain.
Dia asyik dengan dunianya sendiri. Dunia remaja yang mulai keranjingan film-film romantis. Membayangkan memiliki pacar seganteng bintang-bintang drama Korea.
Dunia merah mudanya berubah, ketika ibunya membawa pacar terbarunya ke rumah.
Namanya Salman. Dari namanya sudah jelas dia ada campuran Timur Tengah, atau India, atau Turki. Tubuhnya tinggi besar, dan luar biasa ganteng.
Namun, ada sesuatu yang salah.
Tatapan matanya.
Itu… terlalu lancang. Terlalu kurang ajar.
Itu tidak membuat Ceria bangga. Sebaliknya, membuatnya merinding.
Setiap kali melihatnya, laki-laki itu seolah ingin mengunyahnya.
kesedihan ,bebannya pindah ke murni ?
🤔
apakah jiwa nya blm kembali ke asal
masih gentayangan
tapi kebanyakan semakin di larang semakin penasaran