Maelon Herlambang - Pria, 16 Tahun.
Dibesarkan di lapisan pertama, panti asuhan Gema Harapan, kota Teralis. Di sekeliling kota ditutupi banyak tembok besar untuk mencegah monster. Maelon dikhianati oleh teman yang dia lindungi, Alaya. Sekarang dia dibuang dari kota itu dan menjadi umpan monster, Apakah Maelon bisa bertahan hidup didunia yang brutal dan tidak mengenal ampun ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GrayDarkness, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8: Kenangan Pemilik Sebelumnya
Awalnya hanya samar—seperti bunyi desir angin yang terjebak di celah-celah tulang. Maelon tak memedulikannya. Ia mengira itu hanya gema lelah dari pertempuran, atau barangkali angin dingin dari timur yang membawa suara-suara liar dari pegunungan tak bernama. Namun ketika suara itu mulai menyerupai kalimat, ia tahu ini bukan hal yang bisa diabaikan.
"Buka matamu, Maelon…
Mereka semua ingin kau binasa.
Mereka semua akan meninggalkanmu."
Nadanya rendah, tetapi mendalam, seperti gumaman di belakang tengkuk. Bukan satu suara. Banyak. Terdengar bertumpuk, berlapis, tumpang tindih seperti paduan suara yang diatur oleh entitas yang tak mengerti belas kasih.
Maelon menutup telinga. Tak ada perubahan.
Ia mencoba bernapas pelan, menenangkan diri. Tapi justru saat itulah bisikan itu bertambah nyata—berdenyut dari dalam dadanya sendiri, dari pori-pori tangannya, dari rongga mata, seakan suara itu bukan datang dari luar… tapi dari dalam dirinya.
Dan lebih parahnya lagi… suaranya terdengar seperti dirinya sendiri.
"Berapa lama kau bisa bertahan?
Kau bukan siapa-siapa.
Kau hanya menunda kegilaan."
Maelon berlutut. Jantungnya berdetak tak karuan, keringat dingin menetes meskipun udara di luar tembok membeku. Ia ingat wajah anak-anak panti. Ingat senyum lemah Nalaya sebelum semua berubah. Ingat dirinya sendiri, berdiri di bawah altar batu, memohon kepada dewa yang tak pernah menjawab.
“Aku… bukan mereka…” bisiknya sendiri, suara tercekat dan penuh luka.
“Aku tak akan menyerah pada kegilaan ini…”
Namun bayangan para lunatics muncul di pikirannya—mata mereka yang kosong, gerakan mereka yang menyentak dan tak terkendali, tubuh yang telah kehilangan batas antara manusia dan sesuatu yang lain. Mereka pun mungkin pernah berjanji yang sama. Mereka pun pernah mencoba bertahan.
Maelon menggenggam tombaknya lebih erat, meski tangannya mulai bergetar hebat. Di balik matanya, dunia mulai membelok. Warna-warna menjadi terlalu terang atau terlalu kusam. Suara burung menjadi jeritan. Jarak antara objek terasa salah. Dan waktu terasa… aneh.
Tapi ia tetap berdiri.
Meskipun berat. Meskipun suara itu kini menyusup ke mimpinya, ke kenangannya, bahkan ke pikirannya saat kosong.
Ia tahu… ini adalah bagian dari harga kekuatan itu. Dan ia memilih tetap waras, bahkan jika satu-satunya cara melakukannya adalah dengan menggenggam penderitaan erat-erat, seperti seseorang menggenggam pisau dari sisi tajamnya.
Dunia menghilang seperti kelopak yang ditarik paksa dari bunganya—perlahan, sunyi, menyakitkan. Maelon tidak tertidur, tidak pingsan. Kesadarannya ditarik ke dalam, ke suatu ruang yang bukan ruang, suatu waktu yang bukan milik sekarang. Di hadapannya, terbentang kenangan yang jelas bukan miliknya. Sebuah medan perang terbuka, tanahnya hangus, langitnya retak merah darah. Udara di situ tidak hanya membawa bau mesiu dan kematian, tetapi juga aroma kehendak yang begitu pekat, begitu tua, seakan dunia itu sendiri sedang menahan napas menyaksikan kehancuran. Di tengah ladang mati itu, berdiri seorang pria tua.
Sosoknya ringkih namun mengerikan, tubuhnya diselubungi cahaya kebiruan yang berdetak seperti jantung langit. Dan Maelon tahu—tanpa perlu bertanya, tanpa perlu berpikir—bahwa kekuatan itu sama dengan yang kini menyelimuti dirinya.
Aetheron.
Pria itu adalah badai dalam bentuk manusia. Ia bertarung melawan mereka yang tidak kalah mengerikan: para penguasa Doctrina lainnya, entitas yang mengendalikan waktu, bayangan, api, ilusi, darah, dan bumi. Satu demi satu mereka muncul, kekuatan mereka membelah angkasa dan meretakkan tanah.
Namun sang pria tidak mundur. Ia melawan mereka, tidak dengan kemarahan, tapi dengan kehendak yang mutlak. Ia menyerap kekuatan mereka ketika mereka tumbang, mengunyah inti esensi musuh-musuhnya dan menelannya ke dalam tubuhnya sendiri. Dari satu Lapsus ke Lapsus berikutnya ia naik, membakar tahapan demi tahapan, hingga mencapai yang kesembilan—Calvereth.
Saat itu tubuhnya mulai retak. Bukan hanya tubuhnya, tapi juga pikirannya. Ia mencoba melampaui batas terakhir, mencoba mencapai Vaelthor, titik transendensi yang hanya dicapai oleh legenda yang tak pernah tercatat. Tapi dunia menolak. Langit membisu. Dan tubuh fana tidak sanggup lagi menampung ilahi.
Tubuh itu terbelah. Dari kehancuran lahir bentuk baru—tiga kepala menyembul dari satu leher, masing-masing menampung satu emosi purba: kemarahan, duka, kehampaan.
Tangannya bertambah, tubuhnya memanjang, dan kehendaknya terpecah namun tidak hancur. Ia tidak mati. Ia jatuh. Dan dari kejatuhan itu, lahirlah sesuatu yang bukan lagi manusia, bukan juga dewa. Sebuah kutukan yang berpikir. Sebuah kehendak yang hidup dalam bentuk kegagalan. Dan sebelum kenangan itu lenyap, Maelon menyadari sesuatu yang membekas jauh di dalam dirinya—kenangan ini bukan sekadar gambaran, bukan sekadar penglihatan.
Ini adalah fragmen dari entitas yang mengutuknya, yang meninggalkan tanda di tubuhnya. Dan tanda itu… lebih dari sekadar luka. Itu adalah warisan.
Maelon terbangun dalam tubuhnya sendiri. Nafasnya berat. Kulitnya basah oleh keringat dingin. Tapi ia tahu—ia tidak lagi sama.
Aetheron bukan sekadar kekuatan, bukan juga anugerah. Ia adalah beban, sejarah, dan kutukan dari kehendak yang gagal mencapai keilahian. Dan kini, entah karena kesengajaan atau karena takdir yang lebih tua dari logika, kekuatan itu hidup di dalam tubuh seorang anak yatim yang dibuang, yang bahkan tak diizinkan kembali ke kotanya sendiri.
Maelon terduduk lama di antara rerumputan kering yang digoyang angin tak ramah. Tubuhnya belum benar-benar pulih, dan dunia di sekelilingnya terasa terlalu sunyi—bukan sunyi yang menenangkan, tapi sunyi yang mengupas pikiran, menelanjangi isi hati yang tidak ingin dihadapi. Ia tidak menangis. Bahkan tidak gemetar.
Tapi dadanya sesak, seperti ada batu yang ditanam di dalam rongga dada, berat dan dingin, menolak untuk larut bersama napas. Kenangan itu—bukan miliknya, tapi begitu menyatu—telah menancapkan sesuatu yang lebih dalam daripada luka fisik. Ia melihat kegagalan. Ia merasakan kehancuran. Ia meresapi rasa kehilangan akal. Dan ia tahu, cepat atau lambat, semua itu akan menjadi miliknya juga.
Aetheron bukan sekadar kekuatan yang terlahir dari kehendak. Ia adalah pecahan kehendak yang terlalu kuat untuk dipadamkan, tapi terlalu rusak untuk dipulihkan. Dan kini, kehendak itu hidup dalam dirinya—dalam darahnya, napasnya, pikirannya.
Maelon merasakan bahwa bisikan-bisikan itu belum sepenuhnya hilang. Suara-suara samar itu masih berdesis di celah kesadarannya, seakan menunggu kesempatan untuk mengambil alih, untuk mengubahnya dari dalam. Setiap kali ia mencoba memikirkan masa depan, wajah para anak panti muncul dalam benaknya. Nalaya. Senyum polosnya. Pengkhianatannya. Dan semua itu bercampur dalam satu kekacauan batin yang tak dapat diurai.
Maelon membenci tanda ini. Tapi ia juga tidak bisa melepaskannya. Ia merasa terkutuk, namun pada saat yang sama, merasa… dibutuhkan. Seakan kekuatan itu sendiri tidak memilihnya karena kebetulan. Seakan kekuatan itu sedang mencari tubuh baru, pikiran baru, yang mungkin bisa melakukan hal yang gagal dilakukan oleh pendahulunya: menembus batas.
Namun, dengan harapan itu datang satu kenyataan yang lebih mengerikan. Jika ia gagal—jika ia terlalu lama terdiam, atau terlalu lemah untuk bertahan—maka ia pun akan menjadi seperti mereka. Seperti para Lunatics yang kehilangan bentuk, atau lebih buruk lagi… seperti makhluk berkepala tiga itu. Terlalu kuat untuk mati. Terlalu rusak untuk hidup.
Dalam keheningan itu, Maelon akhirnya bergumam, suaranya nyaris tenggelam oleh desir angin, "Aku tak ingin menjadi tirani… dan aku tak ingin menjadi korban." Kalimat itu bukan doa. Itu sumpah. Dan meskipun tidak ada yang mendengarnya—tidak Tuhan, tidak langit, tidak manusia—kata-kata itu menggema dalam dirinya, mengakar, dan menjadi alasan pertama baginya untuk tetap melangkah.
Bukan demi kekuatan. Bukan demi balas dendam. Tapi demi sesuatu yang belum sepenuhnya bisa ia pahami—mungkin sekadar agar ia tidak lenyap menjadi kenangan yang bukan miliknya.
Hingga akhirnya, Maelon tertidur karena kelelahan secara fisik dan mentalnya.