Sean, seorang Casanova yang mencintai kebebasan. Sean memiliki standar tinggi untuk setiap wanita yang ditidurinya. Namun, ia harus terikat pernikahan untuk sebuah warisan dari orang tuanya. Nanda Ayunda seorang gadis yatim piatu, berkulit hitam manis, dan menutup tubuhnya dengan jilbab, terpaksa menyanggupi tuntutan Sean karena ulah licik dari sang Casanova.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon uutami, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 9
Esok paginya,
Sean tak bisa menahan senyum melihat mata Nanda yang kini seperti panda. Ia yakin betul bahwa gadis itu tak tidur nyenyak semalam. Ia berhasil mengerjai istri kontraknya itu.
"Masak apa pagi ini?" ujar Sean setelah berdehem, menahan senyum.
"Aku nggak masak. Nggak ada bahan makanan."
"Kamu nggak nyetok?"
"Nggak ada uang," balas Nanda santai, meski hatinya masih dongkol karena Sean sudah membuatnya tak bisa tidur akibat kecemasan yang berlebihan.
Sean mendengus. "Kerja udah, dapat gaji dariku juga udah, tambah part-time lagi. Tapi bisa bilang nggak ada uang? Hebat sekali," sindirnya.
Tak ada respons dari Nanda.
"Kemana uang-uangmu lari? Apa kamu menghidupi laki-laki yang sedang dekat denganmu itu?" ucap Sean dengan nada mengejek.
"Aku menghidupimu, Kak Sean. Lupa kalau setiap makan malam kamu ikut makan!?" Nada suara Nanda meninggi.
"Aku bayar! Ingat?"
Nanda mencelos.
"Kalau mau dimasakin sekarang, harus bayar dulu!"
"Ya sudah, ayo belanja! Mumpung weekend."
Nanda terperangah. Ini pertama kalinya Sean mengajaknya keluar bersama.
"Kenapa?"
"Ini menyalahi aturan. Bukankah seharusnya kita tidak saling kenal?" Nanda masih merasa heran.
"Buruan! Kalau aku pergi sendiri, aku nggak tahu harus beli apa. Jadi, jangan ge-er!"
Nanda mengangguk. "Benar juga."
"Udah, cepetan! Makin siang, makin macet!"
—
"Aku tegaskan sekali lagi, di luar kita adalah orang asing."
"Iya, aku tahu!" jawab Nanda malas.
Kini mereka sudah berada di dalam mobil yang melaju ke sebuah pusat perbelanjaan.
Begitu tiba dan mobil terparkir, Nanda keluar lebih dulu, barulah Sean menyusul dengan jarak sekitar dua meter. Nanda mengambil troli, lalu menoleh ke arah Sean. Lelaki itu mendelik memberi peringatan.
"Ini Kak Sean yang membayar, kan?"
"Iya!" gumamnya, menggeram.
Nanda tersenyum, membuat Sean merinding. "Entah kenapa aku jadi merasa isi dompetku akan berkurang banyak."
Nanda masuk ke bagian swalayan, mengambil bahan-bahan kaleng dan bumbu-bumbu yang sudah habis atau menipis. Sean mengikuti dari belakang, ikut memilih apa yang dia inginkan. Sesekali, ia meletakkan barang di troli Nanda tanpa menoleh.
Nanda tertegun melihat mi instan mendarat di troli—hasil lemparan Sean. Merasa sedikit geram, ia mengembalikan mi instan itu ke rak.
"Cari aja nanti, mi-nya sampai ubanan juga nggak ketemu," ujar Nanda menyeringai.
Ia kembali berjalan mengikuti langkah Sean yang memimpin satu meter di depan.
Namun, Nanda kembali terperangah melihat dua botol minuman beralkohol masuk ke dalam trolinya.
"Apaan nih, Kak?" protesnya.
"Jangan bicara denganku."
"Kalau mau miras, pegang sendiri!" Nanda mengambil botol dan mendorongnya ke dada Sean, hingga laki-laki itu terpaksa menahan agar tidak jatuh.
"Aku yang bayar."
"Aku nggak mau ikut kena dosanya gara-gara membawa barang haram ini!" seru Nanda, kesal.
Sean menyeringai, lalu meletakkan kembali botol itu ke troli. Sukses membuat Nanda semakin kesal. Gadis itu kembali mengambil botol dan mendorongnya lagi ke tubuh Sean. Lelaki itu tak mau kalah—meletakkan kembali ke troli. Begitu terus hingga terulang beberapa kali, seperti anak kecil.
"Sean!"
Dua orang yang sedang berseteru itu seketika menoleh ke arah suara.
Salah satu teman kencan Sean tampak sangat keheranan melihatnya ada di swalayan. Wanita itu mengenakan blouse kuning tanpa lengan bermotif polkadot, dipadukan dengan celana jeans dan sneakers. Rambut gelombangnya terurai menyentuh kulit lengannya yang putih. Ia tampak cantik dengan sapuan make-up di wajahnya.
"Maura?"
"Nggak nyangka bisa ketemu kamu di sini," cetus wanita bernama Maura itu, mendekat.
Sean tersenyum tipis. Memang, ia hampir tak pernah menyentuh swalayan, kecuali bersama Mama Gea. Baginya, belanja adalah hal yang merepotkan dan menghabiskan waktu.
"Kamu belanja?" Maura melirik troli di depan Sean yang didorong oleh Nanda.
"Siapa gadis ini?" tanyanya, menelisik wajah dan penampilan Nanda yang sederhana.
"Dia..."
"Apa kamu meninggalkan aku karena dia?" Maura terus memindai Nanda dengan pandangan merendahkan. Lalu menggeleng. "Nggak mungkin! Aku tahu, dia pasti pembantumu, kan?"
Nanda sedikit tertegun. Pembantu? Asal saja! Dia tak tahu kalau kami sudah menikah! Pasti dia mati berdiri kalau tahu. Yah, walau hanya nikah kontrak...
"Aaah, iya. Dia memang pembantuku," jawab Sean santai.
Jawaban itu sedikit melukai hati Nanda. Walau mereka tidak terlibat urusan hati dan asmara, lebih baik bersikap tak saling kenal daripada hanya dikenalkan sebagai pembantu di hadapan orang lain.
"Kamu sendiri di sini?" Sean berjalan sambil merangkul Maura.
Maura terkekeh, tangannya ikut memeluk pinggang Sean dari belakang. "Enggak. Tadi sama teman. Kami terpisah nyari buruan masing-masing." Wanita itu melirik Nanda lagi. "Udah kuduga kalau dia pembantumu. Nggak mungkin kamu menjatuhkan selera dengan bersama gadis berkulit hitam itu."
Sean dan Maura tertawa kecil, berjalan menjauh tanpa memperdulikan Nanda.
—
"Ini mau dipotong bagaimana?"
Nanda diam. Sejak pulang dari swalayan, ia tak banyak bicara. Sean kesal. Selama ini, tak pernah ada wanita yang mendiamkannya.
Ia membanting kangkung ke meja. "Baper!"
Nanda melirik kangkung yang teronggok di atas meja, lalu menatap Sean dengan sengit.
"Kamu marah?" tanya Sean tanpa perasaan. "Harusnya kamu ingat perjanjian kita. Baca ulang, biar nggak baper!"
"Aku ingat, sangat ingat. Jadi, mari kita bertingkah sesuai perjanjian. Tidak saling mencampuri urusan masing-masing. Hanya sebagai tetangga kamar. Kalau kamu lapar dan ingin makan, cukup tunggu di kamar sampai aku selesai masak. Nggak perlu susah-susah membantu!"
Ada yang terbakar di dada Sean. Tanpa sanggahan, ia berlalu dari dapur. AC ruangan tak cukup mendinginkan kepala dan hatinya yang entah kenapa terus membara.
—
Sejak hari itu, Nanda dan Sean seperti perang dingin. Baik di rumah maupun di kantor, tak ada tegur sapa. Saat memasak, Nanda tetap membuat porsi untuk Sean, tapi ia memanggilnya hanya setelah selesai mencuci alat makan. Sean pun baru keluar kamar setelah mendengar suara pintu kamar Nanda menutup.
Sean mengunyah makan malamnya tanpa selera. Meski masakan Nanda cocok di lidahnya, entah kenapa makan sendiri terasa ada yang kurang.
Kesal dengan perasaan yang tak jelas ini, Sean melempar sendok ke piring. Suara dentangan terdengar nyaring.
Tiba-tiba, pintu kamar Nanda terbuka.
"Iya, Bu Zara, Nanda ke sana sekarang!" ucap wanita itu, buru-buru keluar sambil menenteng tas.
"Iya, iya, baik," lanjutnya, sebelum menutup pintu.
"Bu Zara?" Sean bergumam. "Bukankah itu kepala panti? Ada apa?"
kok bisa ada dtempat yg sma yaaa??
apa yg akan terjadi??
lanjut thor 🙏🌹❤👍🤔🤭
sampai bikin malika kaget
🤔👍❤🌹🙏
hayooh nti terlambat loh keburu diambil irham
🤣🤣🙏🌹❤👍
mending kamu terus aja hubungan sama Irham 👍👍👍😁
🤣🙏🌹❤👍
heheee... pasti kaget lou tau 🤭🙏🌹❤👍
dah tau sean udah muak sama kamu udah dblokir pula ehhh PD bgt sok nlpon2
🤭👍🌹❤🙏