NovelToon NovelToon
Loka Pralaya: The Begining

Loka Pralaya: The Begining

Status: sedang berlangsung
Genre:Matabatin / Dunia Lain / Perperangan / Pusaka Ajaib
Popularitas:3.7k
Nilai: 5
Nama Author: Margiyono

Prita dihantui mimpi-mimpi samar tentang sosok misterius dan sosok asing bernama Tana' Bulan. Di tengah kesehariannya yang tenang di Loka Pralaya bersama sahabat-sahabatnya, Wulan dan Reida, serta bimbingan bijak dari Nyi Lirah, mimpi-mimpi itu terasa lebih dari sekadar bunga tidur.

Sebuah buku kuno berkulit, Bajareng Naso, menjadi kunci misteri ini. Ditulis oleh Antaboga, legenda di dalamnya menyimpan jejak masa lalu Prita yang hilang—ingatan yang terkubur akibat pengembaraannya melintasi berbagai dunia. Nyi Lirah yakin, memahami legenda Bajareng Naso adalah satu-satunya cara untuk memulihkan kepingan-kepingan memori Prita yang berserakan.

Namun, pencarian kebenaran ini tidaklah mudah.

Akankah Prita berhasil memecahkan misteri mimpinya dan memulihkan ingatannya yang hilang? Siapakah tamu tak diundang itu, dan apa hubungannya dengan rahasia yang dijaga oleh Luh Gandaru?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Margiyono, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Awal Petaka

Aku terus berjalan. Meninggalkan pantai yang terasa asing dan menakutkan itu. Setiap langkah terasa berat, tubuhku lelah luar biasa.

Aku beberapa kali berhenti, mencoba menarik napas yang terasa tercekat di tenggorokan. Keringat dingin terus membasahi keningku ...

Tempat ini sunyi. Terlalu sunyi hingga membuat bulu kudukku berdiri.

Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, berusaha meyakinkan diri bahwa tidak ada bahaya yang mengintai. Tapi rasa takut dan kebingungan ini… tanpa sadar, air mata mulai mengalir di pipiku.

Aku mengusapnya, tapi air mata itu seolah tak mau berhenti...

Setelah berjalan mungkin sekitar satu jam, aku mulai memperhatikan pepohonan di sepanjang jalan. Mereka aneh, bentuknya seperti cemara, tinggi sekitar dua meter atau lebih. Tapi daunnya… seperti daun kelapa, hanya lebih pendek - pohon Meditrana.

Yang paling aneh adalah daun-daun itu. Berwarna kuning cerah dan memancarkan cahaya! Cahaya itu cukup terang untuk menerangi jalan yang kulalui. Mataku terbelalak, terkesima oleh kilauan yang berasal dari pepohonan itu. Aku tersadar dari lamunanku yang panjang.

“Wah… indahnya…” gumamku pelan.

Aku berhenti sejenak, mendekati salah satu pohon yang bersinar itu. Ini sudah kedua kalinya aku mengalami hal aneh di dunia yang baru ini. Aku menyentuh daunnya, dan tanpa sadar memejamkan mata. Mungkin ini caraku untuk menenangkan diri, meskipun semua keanehan ini justru membuatku semakin takut.

Setelah beberapa saat menikmati aroma aneh dari daun Meditrana, aku kembali melanjutkan perjalanan. Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan sisa keberanian dan tenaga. Dengan tekad yang lebih mantap, aku kembali melangkah.

Setelah berjalan cukup lama, dari kejauhan aku melihat sesuatu berdiri kokoh. Beberapa cahaya lentera terlihat dari arah sana. Meskipun masih kecil karena jaraknya jauh, mataku mulai berbinar penuh harap. Semoga saja itu pertanda baik. Semoga saja ada seseorang di sana yang bisa membantuku. Aku mempercepat langkahku menuju cahaya itu.

Semakin dekat, semakin jelas bahwa itu adalah sebuah bangunan yang dikelilingi tembok tinggi seperti pagar. Di tengah pagar itu, ada pintu besar yang menghadap ke arah jalanku. Tidak ada siapa-siapa di sana. Pintu gerbang masuk atau keluar yang tampak lengang dan redup di bawah sinar lentera yang tergantung di atasnya. Aku semakin mempercepat langkahku, berharap segera sampai ke tempat itu…

Tiba-tiba, langkahku terhenti. Di tengah gerbang itu, aku melihat tiga orang yang berada di sebuah pondok kecil. Mereka menatapku dengan tatapan curiga. Aku membeku. Rasanya ingin berlari menjauh, tapi kemana? Aku tidak tahu tempat ini. Rasa takut dan frustrasi kembali menghantam dadaku. Nafasku tersengal, dadaku naik turun. Aku menatap balik ketiga orang itu dengan mata kosong.

“Siapa dia?” gumam salah satu gadis.

“Kelihatannya bukan penduduk sini, Carla,” jawab seorang pemuda. Matanya menyipit, meneliti seluruh tubuhku.

“Iya… betul, Carla,” timpal gadis yang satunya lagi. “Gaun yang dipakainya bukan ciri penduduk sini.”

Mereka bertiga masih waspada, tidak bergerak dari tempat mereka duduk di sebuah pondok kecil di dalam benteng itu. Di samping pondok, terparkir sebuah sampan aneh dengan ornamen yang unik. Sepertinya itu kendaraan mereka. Di bagian bawahnya ada kaki-kaki seperti pada helikopter.

Pemuda itu, yang dipanggil Arka, menyuruh gadis bernama Vyn untuk mendekatiku. Tapi Vyn tampak keberatan. Dia takut aku adalah musuh yang menyusup. Arka membentaknya, menyuruhnya untuk tidak menjadi penakut. Vyn masih cemberut, tidak mau bergerak.

Gadis yang bernama Carla itu terus menatapku dengan intens. “Apa perlu kita panggil Bei Tama dulu?” katanya. Arka tampak ragu. Dia bilang belum perlu.

Akhirnya, Arka mengajak kedua temannya untuk menghampiriku bersama-sama. Melihat mereka berjalan mendekat, aku tanpa sadar mundur selangkah. Keraguan dan ketakutan semakin mencengkeramku. Tatapan mereka… penuh curiga.

Pemuda bernama Arka itu berjalan paling depan. Langkahnya hati-hati, seolah tak ingin menakutiku.

“Kau baik-baik saja?” tanyanya pelan dan lembut. Dia maju satu langkah, tapi ketika aku refleks mundur, dia berhenti.

Aku semakin ketakutan. Aku menatapnya seperti hewan liar yang terperangkap.

“Jangan takut. Kami tidak akan menyakitimu,” kata Arka lagi.

Gadis bernama Carla, yang berdiri di belakang Arka, menatapku dengan tatapan menyelidik. Matanya menyipit, mencoba membaca gerak-gerikku.

“Siapa kau? Dan bagaimana kau bisa sampai di sini?” tanyanya langsung.

Aku terdiam sejenak, ragu untuk menjawab. Bibirku bergerak pelan, suaraku nyaris tak terdengar.

“Aku… aku tidak tahu,” kataku akhirnya. Suaraku serak dan bergetar.

Melihat ketakutanku, Arka memberi isyarat kepada Carla untuk berhenti bertanya. Dengan lembut, dia kembali bertanya padaku.

“Bagaimana kamu bisa sampai ke tempat ini? Kamu mau ke mana?” tanya Arka.

“A… aku tidak tahu,” jawabku lagi, kucoba untuk menahan tangisku.

Gadis bernama Vyn, yang sedari tadi memperhatikanku, tampak mulai merasa iba. Dia mendekatiku.

“Ayo, kita masuk dulu ke pondok, udara di sini dingin,” katanya.

Meskipun keraguan dan ketakutan masih menyelimuti pikiranku, melihat keramahan mereka, aku terpaksa menganggukkan kepala. Mereka bertiga menuntunku memasuki pondok. Aku hanya menurut, tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Di dalam pondok, udara terasa sedikit hangat. Aku merasa sedikit lega. Dengan tatapan kosong, aku memperhatikan lentera-lentera yang tergantung di langit-langit pondok.

Mataku tertegun. Cahaya lentera itu tidak berasal dari minyak atau apapun yang biasa kukenal. Melainkan dari daun pohon Meditrana yang disusun membentuk bulatan lentera yang unik dan indah.

Aku tidak menyadari bahwa Carla masih menatapku dengan curiga. Matanya menyipit, memandangku dengan perasaan tidak suka. Dia menjaga jarak, memperhatikan luka-luka di kakiku yang tidak beralas.

Sikap Arka berbeda. Dia tampak kasihan melihat kondisiku. Aku bisa melihatnya ingin membantu, tapi tatapan Carla seolah menahannya.

Vyn memecah ketegangan dengan pertanyaan ringan. “Nama kamu siapa?” tanyanya, berusaha bersikap ramah.

Lagi-lagi aku menggeleng pelan. “Aku tidak tahu,” hanya kata itu yang bisa kuucapkan. Aku benar-benar kehilangan ingatanku. Tatapan mataku kosong.

Suasana kembali hening. Mereka bertiga saling bertukar pandang, seolah mengerti bahwa aku memang tidak tahu apa-apa, bahkan tidak ingat siapa diriku.

“Kamu pasti haus,” kata Arka dengan nada simpati.

Aku mengangguk pelan. “Iya…” suaraku serak dan pelan.

Melihat kecanggunganku, Arka meminta Vyn mengambilkan minuman dari sampan yang terparkir di samping pondok. Dia menyebutnya Lesung Orembai. Aku kembali terkesima melihat kendaraan itu. Sampan unik dengan kaki-kaki dan dua pintu di sisinya.

Tak lama kemudian, Vyn kembali membawa wadah minuman dari kulit dan memberikannya padaku.

“Terima kasih,” kataku pelan saat Vyn menyodorkan minuman itu. Aku membuka tutup wadah dan meminumnya dengan rakus. Aku sangat haus. Setelah beberapa teguk, aku mengembalikannya pada Vyn.

Aku masih merasa bingung. Pandanganku sayu dan lelah. Sesekali kurapikan rambut panjangku yang berantakan. Ada pertanyaan yang ingin kusampaikan, tapi aku ragu-ragu.

Arka, dengan suara ramah, menjelaskan bahwa mereka bertiga adalah penjaga untuk Negeri Londata, sebutan untuk negeri bagi Klan Lontara. Dia menjelaskan sedikit tentang negeri ini, ukurannya yang kecil, batas-batasnya dengan negeri lain, dan nama-nama klan yang tinggal di sana. Aku hanya mendengarkan, berusaha mencerna setiap kata yang diucapkannya.

Tiba-tiba, Carla memanggil Arka dan memberi isyarat untuk mendekat. Vyn juga ikut merapat. Mereka bertiga tampak ingin berbicara serius.

“Aku pikir,” kata Carla dengan nada serius, “kita harus memberitahukan kedatangan gadis itu kepada Bei Tama.” Bei Tama? Siapa dia?

Arka tampak ragu. Vyn hanya tersenyum melihat kedua temannya, sesekali melirik ke arahku.

“Kita tidak bisa terus membiarkannya di pondok ini,” kata Carla, melirik ke arahku. Arka dan Vyn juga menoleh padaku dengan tatapan yang sulit kubaca.

Saat mereka bertiga berembuk tentangku, tanpa mereka sadari, gumpalan awan hitam perlahan terbentuk di atas benteng jaga itu. Awan itu semakin lama semakin tebal, berputar pelan seiring dengan rasa takut dan cemas yang kurasakan.

“Iya, aku setuju,” jawab Vyn tiba-tiba. Arka mengerutkan dahinya.

“Kalau begitu,” Arka berhenti sejenak, “tunggu apalagi?” katanya sambil tersenyum. Vyn melotot padanya, lalu membalikkan badan dengan sikap lucu.

Carla memotong pembicaraan. “Kamu di sini saja, Vyn,” katanya, “biar kami berdua saja yang melaporkan hal ini kepada Bei Tama.” Vyn tersenyum senang, sementara Arka tampak sedikit kesal.

“Iya…” jawab Vyn, “sebaiknya aku menunggu di sini, menjaga gadis ini. Kasihan kan kalau ditinggal sendiri.”

Aku merasa tidak nyaman menjadi bahan pembicaraan. Rasa takutku kembali muncul. Aku beringsut menjauh dari mereka bertiga. Aku merasa terancam, curiga dengan apa yang mereka bicarakan. Emosiku menjadi tidak stabil, keringat dingin membasahi dahiku. Tapi aku berusaha tetap tenang. Sementara awan hitam di atas bangunan itu semakin tebal, berputar semakin cepat membentuk pusaran.

Arka kemudian mendekatiku dan mengatakan bahwa mereka telah sepakat untuk melaporkan kedatanganku kepada Bei Tama.

“Bei Tama?” tanyaku.

“Iya,” jawab Arka. “Beliau adalah pimpinan kami, dan kami harap beliau bisa membantumu untuk sementara waktu, sebelum kamu memutuskan hendak pergi kemana. Setidaknya untuk saat ini, hanya itu yang bisa kami lakukan untuk membantumu.”

“Ayo, Carla,” kata Arka, “kita temui Bei Tama.”

Arka dan Carla bersiap pergi. Tapi langkah mereka terhenti. Gumpalan awan hitam telah membentang menutupi seluruh area benteng. Pusarannya semakin kuat, dan samar-samar terdengar bunyi gemuruh guntur di sela-sela awan itu.

Aku merasakan sesuatu yang aneh di dalam diriku. Dadaku naik turun, rasa takut dan curiga semakin memuncak, seiring dengan semakin tebalnya awan hitam di atas benteng itu.

“Arka…,” bisik Carla sambil menunjuk ke atas. “Coba kamu perhatikan!”

Arka mendongak, dan dia terkejut.

Di atas mereka, tepat di atas pondok jaga, awan hitam tampak semakin pekat dan seolah hampir menyentuh pondok itu. Mereka bertiga segera keluar, meninggalkanku sendirian di sini.

Dan benar saja, awan hitam itu semakin tebal dan pekat. Angin bertiup kencang, membuat lentera di dalam pondok berguncang.

“Sepertinya akan ada badai,” kata Vyn. Mereka bertiga terus memperhatikan keadaan itu dengan waspada.

Awan hitam itu terus membesar, menggulung dan berputar menderu di atas mereka. Tak lama kemudian, angin bertiup kencang ke arah pondok, mengguncangkan lentera-lentera. Lalu, dari balik awan hitam itu, muncul kilatan petir dan suara gemuruh yang memekakkan telinga.

“JELEGERRRR!…”

Mereka panik dan berhamburan keluar pondok. Dentuman geledek semakin besar dan bertambah banyak, kilatan petir menyambar-nyambar. Tidak hanya di atas pondok, tapi mulai mengarah ke mereka, menyebabkan beberapa bagian atap pondok terbakar dan rusak.

“Awas, Vyn!” teriak Arka memperingatkan Vyn yang berdiri di sudut pondok yang tersambar petir.

Carla juga panik, melompat menghindari sambaran petir yang hampir mengenainya. Situasi menjadi kacau.

Aku semakin ketakutan, tidak tahu harus berbuat apa.

Dengan gerakan cepat, ketiga orang itu menarik sabuk di pinggang mereka. Ternyata itu adalah cambuk. Mereka mengayunkan cambuk itu untuk menangkis sambaran petir yang semakin ganas.

“CETARRRR!…”

Suara lecutan cambuk itu sama kerasnya dengan suara petir. Sepertinya itu senjata andalan mereka.

Gerakan mereka menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang terlatih. Tapi sambaran petir dari awan hitam itu bukannya mereda, justru semakin masif dan mematikan. Carla terjungkal terkena salah satu sambaran.

“GEDEBUKKK!…” Dia terpentar dan jatuh.

“Arka! Tolong aku!” teriak Carla saat petir mengenai pundaknya. Dia tersungkur jatuh, cambuknya terlepas, dan sebagian bajunya robek terbakar. Dia mengerang kesakitan.

“Aaaagh!…”

Mendengar jeritan Carla, Arka segera berlari menolongnya. Tapi tindakannya itu justru membuatnya terancam. Belum sempat dia bergerak, sambaran dahsyat melemparkannya jauh ke belakang.

“GEDUBRAAAKKK!…”

Dia terjerembab dan jatuh terpental.

“Aaagh!…” Kakinya terkena sambaran petir.

Kondisi Vyn juga tidak kalah menyedihkan. Tubuhnya terpelanting lebih jauh.

“Aaaaauuugghh!…” Dia terguling-guling, tubuhnya terasa remuk.

Aku semakin ketakutan dan berteriak minta tolong.

“Tolong aku…!” Aku menangis, menutupi wajahku dengan kedua tangan. Aku terduduk di sisi pondok, memeluk erat lututku.

Tapi anehnya… meskipun petir menyambar-nyambar liar ke segala arah, tidak satupun mengarah padaku. Seolah-olah sambaran itu sengaja menghindariku. Tapi aku tidak menyadarinya karena ketakutan yang melumpuhkan.

Tepat saat kilatan dan sambaran petir semakin menggila, menyebabkan sebagian bangunan pondok hancur, sekelebat bayangan melesat cepat ke arah pondok. Gerakannya sigap dan tangkas menangkis semua serangan petir. Dengan cepat, bayangan itu menyambar tubuh ketiga penjaga yang tergeletak tak berdaya dan membawanya menjauhi area pondok.

Kemudian, bayangan itu berdiri tegak, merapatkan kedua tangannya di depan dada, merapalkan mantra. Seketika, muncul perisai cahaya berwarna kuning kemerahan yang membentuk kubah, melindungi area itu dari ganasnya sambaran petir. Sesaat situasi tampak terkendali. Ketiga penjaga itu berusaha bangun.

“Bei Tama!” panggil Arka kepada sosok lelaki tinggi besar yang baru saja menyelamatkan mereka.

“Kau datang tepat waktu,” sambungnya. Carla dan Vyn mencoba mendekat pada Arka dan lelaki itu.

“Gadis itu…,” Carla mencoba mencari dengan matanya. “Di mana dia?” teriaknya.

Gemuruh guntur dari awan hitam terdengar semakin kencang. Tapi berkat perisai kubah Bei Tama, sambaran petir terpantul kembali ke angkasa.

Di bawah perlindungan kubah, Bei Tama membantu Carla dan Vyn berdiri. Mereka terengah-engah dan goyah. Arka berdiri merapat di dekat lelaki itu.

“Tenanglah, kalian aman sekarang,” kata Bei Tama. “Apa yang terjadi?”

Carla kembali bertanya, “Gadis itu, di mana gadis itu?”

“Gadis?” tanya Bei Tama heran. “Gadis yang mana?” Dia tampak bingung.

“Dia di sana!” teriak Vyn sambil menunjuk ke arah sudut pondok.

Dari kejauhan, aku meringkuk ketakutan, memeluk erat lututku, menyembunyikan wajahku.

Bei Tama menyuruh ketiga penjaga itu berjalan ke arahku, sementara dia sendiri mempertahankan perisai kubahnya. Dia menambah kekuatan perisai itu hingga melindungi seluruh area, sehingga mereka aman saat mendekatiku.

“Kau tak apa-apa?” tanya Vyn padaku.

Aku mengangkat kepalaku dan menatap mereka dengan tatapan penuh ketakutan. Aku menggelengkan kepala sebagai jawaban.

“Ayo, kita pergi dari sini, di sini tidak aman,” kata Arka. Dari jauh, Bei Tama masih mempertahankan perisainya.

“Cepat naik ke Lesung Orembai!” teriak Bei Tama dari kejauhan. “Bawa gadis itu pergi dari sini!”

“Tapi…” Arka membalas dengan nada ragu.

“Bagaimana denganmu?! Sebaiknya engkau ikut kami, Bei Tama! Di sini tidak aman,” lanjutnya.

“Tenang saja!” jawab Bei Tama mantap.

“Aku bisa mengatasi keadaan ini. Kalian pergilah dulu, bawa gadis itu menjauh dari sini.”

Akhirnya, Arka dan teman-temannya membawaku menaiki Lesung Orembai. Setelah kami naik, Carla yang duduk di bangku depan menempelkan tangannya ke sebuah panel di dashboard. Seketika, Lesung itu terangkat ke udara dan melesat pergi, meninggalkan pondok jaga dan Bei Tama yang sedang berjuang melawan badai.

“Hati-hati, Bei Tama!” teriak Arka sebelum kami benar-benar meninggalkan tempat itu. Tapi sepertinya teriakannya tidak terdengar. Kendaraan yang kami naiki  terus melesat meninggalkan pondok itu.

1
Hye Kyoe
Halo aku mampir nih....🤩
Margiyono: thaks..kak..
/Drool//Pray/
total 1 replies
liynne~
semangat, and done ya/Chuckle/
Dewi Ular🐍💆🏻‍♀️
Prita? Nama yang indah/Drool/
Margiyono: he.he.. trmksh kak.. padahal aslinya itu polypropilen.. loka pralaya itu asli ada di dunia nyata.. cuma seting karakter dan tokohnya saja.. alurnya sama dg yg di dunia nyata
total 1 replies
Andressa Maximillian
plis
Andressa Maximillian
menurutku ceritanya bagus, dunia yang dibangun penuh misteri dan kejutan
Margiyono: terimakasih
total 1 replies
Andressa Maximillian
wah.. seru nih. ditunggu kelanjutannya
Margiyono
siap, terimaksih...
Margiyono
oke
Andressa Maximillian
lanjut
Andressa Maximillian: semangat
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!