Bayangan gelap menyelimuti dirinya, mengalir tanpa batas, mengisi setiap sudut jiwa dengan amarah yang membara. Rasa kehilangan yang mendalam berubah menjadi tekad yang tak tergoyahkan. Dendam yang mencekam memaksanya untuk mencari keadilan, untuk membayar setiap tetes darah yang telah tumpah. Darah dibayar dengan darah, nyawa dibayar dengan nyawa. Namun, dalam perjalanan itu, ia mulai bertanya-tanya: Apakah balas dendam benar-benar bisa mengisi kekosongan yang ditinggalkan? Ataukah justru akan menghancurkannya lebih dalam?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon M.Yusuf.A.M.A.S, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tanda dari Bayangan
Malam itu, Ryan berdiri di depan cermin kamarnya. Tatapannya tajam, tetapi di balik sorot matanya, ada keraguan yang sulit ia sembunyikan. Kata-kata pria berjubah hitam terus terngiang di pikirannya: "Hanya kau yang bisa memutuskan jalannya."
Ia mengepalkan tangannya, merasakan bayangan di sekitarnya merespons emosinya yang campur aduk. Selama ini, ia hanya berfokus pada tujuan utamanya: melindungi Elma dan menghentikan Hery. Tapi sekarang, ia mulai bertanya-tanya, apakah ia sudah terlalu jauh kehilangan dirinya sendiri untuk mencapai tujuan itu?
Keesokan harinya, Ryan kembali ke sekolah dengan langkah yang lebih berat. Elma, seperti biasa, menunggunya di gerbang dengan senyum yang cerah. Namun, Ryan dapat melihat bahwa di balik senyum itu, ada kekhawatiran yang mendalam.
"Pagi, Ryan," sapa Elma dengan nada ceria, meskipun matanya mencoba membaca suasana hati Ryan.
"Pagi," balas Ryan singkat.
Mereka berjalan menuju kelas bersama, tetapi suasana di antara mereka terasa berbeda. Elma akhirnya memecah keheningan. "Ryan, aku tahu kau sedang menghadapi sesuatu yang besar. Aku tidak tahu apa itu, tapi aku bisa merasakannya. Kau berubah, dan aku tidak ingin kehilangan sahabatku yang dulu."
Ryan menghentikan langkahnya, menatap Elma dengan sorot mata yang penuh dengan rasa bersalah. "Elma, aku... aku tidak tahu apakah aku masih bisa kembali menjadi diriku yang dulu."
"Kau bisa," jawab Elma tegas. "Aku percaya kau bisa. Tapi kau harus percaya pada dirimu sendiri. Apa pun yang kau hadapi, kau tidak sendirian, Ryan."
Kata-kata Elma menggema dalam hati Ryan. Ia ingin percaya, tetapi bayangan kehampaan yang semakin menguasainya membuatnya ragu. Ia hanya bisa mengangguk pelan sebelum melanjutkan langkah menuju kelas.
Sore itu, Ryan kembali ke taman tempat ia sering berlatih. Bayangan di sekitarnya bergerak gelisah, seolah mencerminkan konflik batin yang ia rasakan. Ia menggerakkan tangannya, membentuk pedang dari kegelapan, lalu menghancurkannya menjadi serpihan kecil. Proses itu diulang berkali-kali, tetapi tidak memberikan kepuasan apa pun.
"Apa yang kau cari, Ryan?" suara pria berjubah hitam terdengar dari balik bayangan. Sosok itu muncul perlahan, matanya memancarkan ketenangan yang mengintimidasi.
Ryan menoleh, menatap pria itu dengan penuh frustrasi. "Aku ingin tahu apakah ada cara untuk menghentikan ini. Aku ingin melindungi Elma tanpa kehilangan diriku sendiri."
Pria berjubah hitam mengangguk pelan. "Pertanyaan yang bagus. Tapi jawabannya tidak sederhana. Kau ingin kekuatan, tetapi kau juga ingin mempertahankan siapa dirimu. Itu membutuhkan keseimbangan yang hanya bisa dicapai jika kau benar-benar memahami batasanmu sendiri."
Ryan mengepalkan tangannya. "Apa yang harus aku lakukan? Bagaimana aku bisa menjadi cukup kuat untuk melindungi mereka tanpa kehilangan semua yang penting bagiku?"
"Kau harus membuat keputusan," jawab pria itu dengan suara tenang. "Kekuatan ini adalah alat, bukan solusi. Kau harus belajar mengendalikannya, bukan membiarkannya mengendalikanmu. Jika kau terus membiarkan kekuatan ini memakan emosimu, kau akan menjadi seseorang yang bahkan Elma tidak akan kenali."
Ryan terdiam, merenungkan kata-kata itu. Namun, sesuatu yang lain muncul di pikirannya. Ia menatap pria itu dengan penuh rasa penasaran. "Siapa kau sebenarnya? Mengapa kau memberikan kekuatan ini kepadaku? Apa tujuanmu?"
Pria berjubah hitam tersenyum tipis, tetapi tidak memberikan jawaban. Ia mengulurkan tangannya, dan bayangan di sekitar mereka berkumpul di atas telapak tangan Ryan. Ketika bayangan itu memudar, sebuah tanda berbentuk tengkorak kecil terbentuk di punggung tangan Ryan.
"Tanda ini adalah pengingat, Ryan," kata pria itu sambil menatap Ryan dengan sorot mata yang sulit diartikan. "Pengingat bahwa kekuatan ini adalah bagian dari dirimu sekarang. Jawaban atas pertanyaanmu akan datang, tapi tidak sekarang. Ketika waktunya tiba, kau akan tahu."
Ryan menatap tanda di tangannya, bingung tetapi juga merasa bahwa pria itu tidak sepenuhnya menjadi ancaman. Sebelum ia sempat bertanya lebih jauh, pria berjubah hitam itu menghilang ke dalam bayangan, meninggalkan Ryan sendirian di taman.
Keesokan harinya, Ryan memutuskan untuk berbicara dengan Elma. Saat mereka duduk di bangku taman sekolah, ia akhirnya membuka dirinya. "Elma, aku perlu memberitahumu sesuatu. Apa yang aku hadapi ini... lebih besar daripada yang bisa aku tangani sendiri."
Elma menatapnya dengan serius, tetapi ada ketenangan dalam suaranya. "Apa pun itu, Ryan, aku ada di sini untukmu. Kau tidak perlu melawan ini sendirian."
"Kekuatan ini..." Ryan menghela napas, mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Aku mendapatkan kekuatan yang bisa melindungi kita dari Hery. Tapi setiap kali aku menggunakannya, aku kehilangan bagian dari diriku sendiri. Aku takut suatu hari nanti, aku tidak akan menjadi diriku lagi."
Elma meraih tangan Ryan, menggenggamnya erat. "Ryan, kau lebih dari sekadar kekuatan itu. Kau adalah sahabatku, dan aku tahu kau cukup kuat untuk melawan apa pun yang mencoba mengubahmu. Kita akan melalui ini bersama."
Untuk pertama kalinya dalam beberapa hari, Ryan merasa ada harapan. Ia tahu jalannya masih panjang, tetapi dengan Elma di sisinya, ia merasa tidak sendirian lagi.
Di malam yang sunyi, Ryan berdiri di bawah langit berbintang. Ia mengulurkan tangannya, merasakan bayangan di sekitarnya bergerak dengan lembut. Tanda tengkorak di tangannya bersinar samar dalam kegelapan, seolah mengingatkannya pada tekad barunya.
"Aku akan menjadi lebih kuat," bisiknya. "Aku akan melindungi mereka tanpa kehilangan diriku sendiri."
Bayangan itu tampak tenang, seolah merespons tekad barunya. Dalam hatinya, Ryan tahu bahwa ini adalah awal dari perjalanan panjang untuk menemukan keseimbangan antara kekuatan dan kemanusiaannya.