Azam tak pernah menyangka, pernikahan yang ia jalani demi amanah ayahnya akan membawanya pada luka paling dalam. Nayla Azahra—wanita cantik dengan masa lalu kelam—berusaha menjadi istri yang baik, meski hatinya diliputi ketakutan dan penyesalan. Azam mencoba menerima segalanya, hingga satu kebenaran terungkap: Nayla bukan lagi wanita suci.
Rasa hormat dan cinta yang sempat tumbuh berubah menjadi dingin dan hampa. Sementara Nayla, yang tak sanggup menahan tatapan jijik suaminya, memilih pergi. Bukan untuk lari dari kenyataan, melainkan untuk menjemput hidayah di pondok pesantren.
Ini adalah kisah tentang luka, dan pencarian makna taubat. Tentang wanita yang tak lagi ingin dikenal dari masa lalunya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ZIZIPEDI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kesepian yang Menyelinap
Rumah yang biasanya terasa hangat dengan kehadiran Azam, kini sering sunyi. Malam-malam Nayla hanya ditemani suara detak jam dinding dan angin yang mengetuk jendela.
Azam kini lebih sering di rumah Humairah. Kehamilan trimester pertama istrinya yang muda menuntut perhatian ekstra. Dan Azam tak pernah tega membiarkan Humairah sendirian.
Sementara Nayla, walau tak pernah mengeluh, diam-diam mulai merasa hampa bukan karena iri karena kehamilan Humairah bukan pula iri karena Azam lebih perhatian pada istri mudanya. Nayla haya kesepian.Telepon Azam yang hanya berisi kabar singkat, atau pesan suara yang jarang, semakin menegaskan jarak batin yang tak kasat mata.
"Mas Azam milik kami berdua," batin Nayla,"tapi kehamilan itu membuat aku merasa seperti orang ketiga dalam pernikahanku..."
Sebagai pelarian rasa kesepiannya, Nayla menerima undangan untuk menjadi pembicara seminar di luar kota. Tema acara itu tentang “Kekuatan Hati dalam Menjalani Takdir.” Ironisnya, itu adalah topik yang sedang ia perjuangkan dalam diam dihidupnya.
Nayla berangkat ke Bandung selama tiga hari, setelah mendapat izin dari sang suami. Ia disambut dengan hangat oleh panitia, disediakan hotel nyaman, dan audiens yang antusias. Tapi setelah semua gemerlap itu selesai, malam datang dengan senyap. Di kamar hotel, Nayla duduk bersandar di dinding, menatap kosong ke jendela.
Ponselnya tak berbunyi.
Azam mungkin sedang sibuk menemani Humairah, atau mungkin sudah lelap kelelahan.
Nayla tak ingin mengganggunya.
Nayla membuka galeri foto, melihat potret-potret kebersamaan mereka bertiga, potret dirinya memeluk Humairah, atau Azam tersenyum di antara mereka. Tapi sekarang, hanya dirinya… dan sunyi.
Ia tak bisa menahan air mata. Ia menangis. Bukan karena cemburu. Tapi karena kesepian itu terlalu nyata. Ia merasa tak lagi punya tempat untuk bersandar saat semua orang berpikir dirinya sudah sangat kuat.
“Ya Allah… ini salahku. Aku yang memilih jalan ini. Tapi mengapa sepi ini begitu menyesakkan?”
Doa Malam di Kamar Hotel
Malam itu, Nayla bangkit, mengambil air wudu, dan bersujud lama di sajadah yang dingin.
“Ya Rabb, bahagiakan lah mereka, jangan karena aku Engkau ambil nikmat mereka. Tapi kuatkan aku, Rabb. Jika aku bukan tempat kembali bagi suamiku, maka jadikan aku tempat terbaik untuk kembali pada-Mu.”
Air matanya jatuh di atas sajadah. Tak bersuara, tapi cukup untuk mengguncang hatinya sendiri.
Hari itu, matahari belum tinggi saat Nayla kembali dari Bandung. Ia tak langsung pulang ke rumah, melainkan membawa beberapa oleh-oleh khas kota kembang untuk dibagikan—termasuk untuk Humairah dan Azam. Dengan hati yang berusaha ikhlas, ia datang berkunjung, niatnya hanya ingin berbagi dan mengobati sedikit rindu pada sang suami dan Humairah yang tertahan selama perjalanan.
Rumah Humairah tampak tenang. Ia sempat ragu untuk mengetuk, namun akhirnya melangkah masuk karena pintu pagar sedikit terbuka.
Namun langkah Nayla terhenti di depan pintu ruang tamu yang tak tertutup rapat.
Dari celah pintu, terdengar suara ibu mertuanya yang sedang berbicara dengan Azam.
“Zam, kamu jangan ke mana-mana dulu ya, temani Humairah kalok malam. Anak dalam kandungannya itu butuh ayahnya.Kalok ada apa-apa dengan kandungannya nanti kamu nyesel,”
Azam menjawab lembut, “Iya, Umi. InsyaAllah Azam akan di sini malam ini.”
Nayla masih menahan napas, namun kemudian…
“Nayla kan nggak perlu ditemani, dia nggak hamil, Zam. Yang harus kamu perhatikan sekarang itu Humairah. Istrimu yang sedang berjuang mengandung anakmu.”
Suara itu terdengar begitu ringan, tanpa niat menyakiti—tapi bagai sembilu di telinga Nayla.
Dan yang lebih menyakitkan bukanlah kata-kata sang ibu mertua… melainkan ketika Azam tidak membantah.
“Iya, Umi. Azam ngerti.”
Sejenak, dunia Nayla terasa runtuh dalam diam. Tangannya yang membawa kantong oleh-oleh sedikit gemetar. Nafasnya tercekat.
Langkah Mundur yang Berat
Tanpa ingin menimbulkan kegaduhan atau rasa bersalah siapa pun, Nayla perlahan melangkah mundur. Ia berbalik arah, meninggalkan halaman rumah itu, menenteng oleh-oleh yang kini terasa jauh lebih berat dari semestinya.
“Mungkin benar… aku bukan prioritas lagi,” batinnya getir. “Bahkan untuk sekadar ditemani.”
Di dalam dadanya ada rasa sesak yang sulit dijelaskan—antara kecewa, terluka, dan pasrah.
Langkah Nayla semakin cepat saat air matanya tak mampu lagi ditahan. Tapi ia menegakkan bahu, karena ia tahu: ini adalah bagian dari jalan yang ia pilih sendiri.
Malam mulai merambat, langit memeluk bumi dengan sunyi. Di kamarnya yang remang, Nayla duduk di depan meja kecil. Tangannya memegang pena, dan di hadapannya terbuka selembar kertas kosong yang perlahan mulai diisi.
Air matanya sudah mengering, tapi hatinya belum berhenti merintih. Ia menulis pelan, seolah tak ingin mengusik keheningan malam.
Untuk diriku yang sedang belajar ikhlas,
Malam ini, aku ingin kau tahu bahwa aku melihatmu hari ini.
Aku melihat bagaimana kau tersenyum ketika mengantarkan oleh-oleh, padahal hatimu gemetar.
Aku menyaksikan bagaimana langkah kakimu mundur pelan saat mendengar kebenaran yang menyayat.
Dan aku tahu, seberapa besar luka yang kau tahan demi tetap terlihat kuat.
Tapi izinkan aku berkata:
Kau tidak lemah karena menangis.
Kau hanya manusia… yang sedang belajar menerima takdir dengan cara yang paling berani.
Kau mungkin bukan wanita yang bisa memberi keturunan,
Tapi jangan pernah merasa tidak cukup.
Cinta tak hanya tentang darah dan daging, tapi tentang ketulusan yang tak bisa diukur.
Jika suatu hari kau merasa dilupakan,
Ingatlah bahwa Tuhan tak pernah alpa melihat air matamu.
Dan setiap rintih dalam sunyi itu akan pulang dalam bentuk cinta-Nya yang lebih besar.
Bertahanlah, Nayla.
Karena cinta sejati… selalu memilih untuk memberi, bukan memiliki.
– Aku yang mencintaimu dalam luka.
Nayla menyeka air matanya yang kembali jatuh. Ia lipat surat itu dan menyimpannya dalam laci, di antara tumpukan jurnal dan buku-buku tasawuf kesayangannya. Tak ada yang perlu tahu, cukup dirinya dan Tuhan.
Malam itu, Nayla berbaring menghadap kiblat, memeluk sajadah yang belum sempat ia lipat sejak salat isya tadi.
“Ya Rabb... cukup Engkau tahu bahwa aku ikhlas. Tapi jika aku jatuh… mohon, jangan biarkan aku jatuh sendirian.”
Pagi itu udara terasa sejuk, langit masih abu-abu. Di rumahnya yang sunyi, Nayla menatap jam dinding untuk kesekian kalinya. Sudah hampir pukul tujuh. Hatinya yang semalam diselimuti luka, kini mencoba berdamai lewat harapan: mungkin hari ini Azam akan datang… walau hanya sebentar.
Namun waktu terus bergulir, suara sepeda motor tetangga berlalu lalang, dan gerbang depan tetap sunyi. Nayla menarik napas dalam-dalam, menekan rasa kecewa yang mulai tumbuh di dadanya. Ia akhirnya memutuskan bangkit menuju dapur.
Dengan tangannya yang terampil, ia menyiapkan sarapan. Nasi hangat, sayur bening kesukaan Azam, dan satu menu sederhana favorit Humairah: telur dadar keju. Meski hati kecilnya terasa hampa, Nayla tetap mengaduk adonan penuh kasih. Ia tahu Humairah sedang sulit turun ke dapur karena kehamilannya. Dan bagaimanapun, ia ingin tetap menjadi istri yang menjaga, walau dari jauh.
Sebelum meninggalkan rumah menuju kampus, Nayla mengirim pesan singkat.
“Mas, sarapan sudah disiapkan. Di atas meja. Termasuk telur keju untuk Humairah. Semoga cukup mengisi tenaga. Aku ke kampus dulu.”
Belum lima menit pesan itu terkirim, ponselnya bergetar. Nama Azam tertera di layar. Nayla berhenti di depan pintu, lalu mengangkatnya.
“Assalamu’alaikum, Mas…”
“Wa’alaikumussalam… Nayla, maaf… maaf ya…” suara Azam terdengar berat dan menyesal. “Aku belum sempat ke sana. Humairah muntah-muntah dari tadi malam. Dia lemas sekali, jadi aku nggak bisa ninggalin dulu.”
Nayla terdiam sejenak, menelan pahitnya harapan yang runtuh. Tapi suaranya tetap lembut.
“Ya sudah, Mas. Nggak apa-apa… aku paham.”
“Terima kasih, sudah nyiapin sarapan juga buat Humairah,” ucap Azam, lirih.
“Iya… dia pasti butuh asupan. Aku cuma bisa bantu dari jauh,” sahut Nayla, menahan gumpalan pilu yang ingin meledak.
Sebelum menutup telepon, Azam berkata lirih, “Nay… aku kangen…”
Nayla tersenyum, walau matanya mulai basah. “Aku juga, Mas. Tapi nggak apa-apa… sekarang, utamain yang lebih butuh. Aku baik-baik aja.”
Setelah menutup telepon, Nayla berdiri di ambang pintu sejenak. Lalu melangkah pergi dengan hati yang kembali sepi. Bukan karena ditinggal, tapi karena terlalu banyak menahan rindu sendiri.
aku juga 15th blm mendapatkan keturunan