Ini tentang gadis ambigu yang berhasil merayakan kehilangannya dengan sendu. Ditemani pilu yang tak pernah usai menyapanya dalam satu waktu.
Jadi, biarkan ia merayakannya cukup lama dan menikmatinya. Walau kebanyakan yang ia terima adalah duka, bukan bahagia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Raft, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Semakin dekat - 20
Merayakan kehilangan 20
Seseorang akan merasa nyaman jika memiliki kesamaan.
***
Rai memang pusing melihat tingkah Dikta dan Ananta. Tapi di satu sisi, mereka juga bisa menjadi penghibur dan membuat ia melupa tentang ketakutannya.
Pagi ini Dikta bilang ingin mengantar Rai ke sekolah. Tentu saja Rai senang mendengarnya. Kapan lagi 'kan bisa diantar oleh Dikta, si duta jahil keluarga.
"Nah, kita naik ini!" Begitu senang Dikta mengatakannya.
Tapi tidak dengan Rai. Ia malah langsung menggeleng untuk menolak, dan mengeluarkan ekspresi kesal.
Pasalnya yang akan Dikta pakai adalah troli belanja, yang entah didapat dari mana.
"Mending jalan aja!" Ucapnya sembari meninggalkan Dikta yang memanyunkan bibirnya.
Ananta yang melihat itu langsung menghadang Rai dan memaksanya untuk duduk di troli yang sudah Dikta pinjam dari tetangga. Lagi pun, ini idenya juga. Jadi sudah menjadi kewajiban untuknya membantu Dikta.
Rai memberontak, bahkan sekarang ia berusaha untuk turun dari troli, tapi urung karena kedua sepupunya itu sudah mendorong trolinya dengan kecepatan tinggi.
Ayoklah, Rai malu jika caranya ke sekolah seperti ini.
Apalagi ketika di jalan raya. Ah sudahlah, pasti banyak yang menyangkanya gila.
"Nanta, sekolah Rai ini jalannya kemana?"
Mampus! Mereka tidak tau. Dan Rai tak akan memberitahu.
Hati Rai mulai tidak tenang ketika Ananta melihat ke arah tangan kirinya, yang dimana ada nama sekolahnya disana.
Kegundahannya semakin terasa ketika Ananta mengeluarkan handphonenya, sembari mengeja nama SMK Nusantara, nama Sekolahnya.
"Aku udah tau! Let's go!"
Ah, sudahlah! Rai harus menahan malu ketika sampai di sekolah nantinya.
***
'Kan! Ia pasti jadi pusat perhatian karena kegaduhan yang Dikta dan Ananta ciptakan. Bayangkan saja, Ananta dan Dikta mendorongnya dari belakang seakan-akan Rai adalah belanjaan.
Mana pake teriak 'tarik, Mang!' segala lagi.
"Udah sampe sini aja, ah!" Teriak Rai menahan kesal sekaligus malu bersamaan.
"Sampe kelas aja, Rai!" Balas Dikta tanpa dosa.
Mereka tidak punya rasa malu apa?
"Enggak! Udah, sampe sini aja! Kalau gak mau nurut, aku aduin ke Tante Dilla, nih! Kalau kalian nakal sama aku."
Rai bersiap mengambil handphonenya dari saku rok. Dan Dikta dan Ananta masih tidak peduli. Tapi ketika Rai memilih untuk melakukan panggilan video, kedua saudara itu langsung berhenti.
"Aduan! Ya udah sok atuh turun!" Kok malah Ananta yang marah? 'Kan seharusnya Rai.
"Lain kali kalo mau nganter jangan pake troli. Pake kardus sekalian!" Ucap Rai bermaksud untuk pamitan. Karena setelahnya ia melangkah meninggalkan.
"Semangat simulasinya ya, Rai!" Teriak Dikta membuat beberapa pasang mata menatap ke arahnya. Dan Rai hanya mengangkat jempolnya tinggi tanpa melihat ke arah Dikta.
Setelah melangkah cukup jauh, akhirnya Rai bisa kembali menemukan percaya dirinya, setelah rasa malu menguasainya.
Gadis berkacamata itu membetulkan rambutnya yang berantakan sembari berjalan, juga membetulkan kacamatanya yang melorot karena keringat yang membuatnya menjadi licin.
Sedang santai-santainya berjalan, Rai dikagetkan dengan seseorang yang tiba-tiba menepuk pundaknya pelan dari belakang.
Tentu saja ia langsung menolehkan pandangan.
Alisnya terangkat sebelah ketika orang yang menepuk pundaknya adalah Rindu. "Apa?"
"Ada yang mau gue tanyain." Ucapnya membuat Rai menghadapkan seluruh tubuhnya ke arah gadis bersurai hitam panjang itu.
"Lo suka sama Rey? Atau, lo suka sama Angkasa?"
Rai menghela napas panjang. "Wajib di jawab? Aku rasa pertanyaan kamu ini gak penting."
"Wajib!" Balasnya cepat.
Rai berdehem panjang, dan memperagakan gerakan orang yang sedang berpikir keras. Yaitu tangan kanannya yang mencubit dagu di atas tangan kirinya yang diletakkan di depan dada.
"Mungkin Rey? Atau mungkin Angkasa? Aku gak tau. Tapi yang pasti, kita bertiga itu temen deket."
"Gimana caranya supaya bisa deket sama Angkasa? Kayak lo misalnya. Gue pengen deket sama dia."
Bukankah kemarin Rindu mengagumi Rey? Tapi kenapa sekarang malah Angkasa? Apa Rindu sudah berlabuh ke lain hati karena merasa tidak dikenali oleh Rey?
"Gak tau, orang Angkasa yang deketin aku duluan buat jadi temen."
Ada hembusan napas panjang yang Rindu keluarkan. Ia bertanya seperti itu karena sedang berusaha agar hubungannya dengan Angkasa, selalu kakak tirinya bisa berangsung membaik. Tidak seperti sekarang. Rumahnya jadi tidak nyaman karena Angkasa menganggapnya juga Sang Ibu sebagai orang asing.
"Apa dia orangnya cuek?"
"Enggak. Malah dia ekstrovert banget."
Sepertinya hanya di rumah saja Angkasa menjadi lelaki dingin dan tidak perhatian.
"Gue kira lo yang deketin dia duluan. Soalnya gue pengen minta caranya, biar hubungan gue sama dia bisa kayak lo. Deket."
Rai menyipitkan matanya, mencoba menebak kenapa Rindu menginginkan dekat dengan Angkasa. "Kamu suka sama Angkasa? Bukannya kemarin sukanya sama Rey, ya?"
Rindu terkekeh meremehkan, sembari menyilangkan tangannya di depan dada. "Angkasa itu Kakak gue."
Rai melototkan matanya, membuat Rindu puas melihatnya. Tapi merasa tertohok ketika pertanyaan selanjutnya kembali ia terima.
"Tapi kok Adik Kakak bisa gak deket?"
Dengan gerakan cepat, Ratu menyelipkan rambutnya ke belakang telinga. "Bukan urusan lo."
Lalu setelahnya, Rindu langsung berbalik dan pergi meninggalkan. Dan Rai hanya mengangkat bahunya tak acuh.
***
"Yang namanya di panggil, silahkan maju ke depan, ambil kalkulator juga kertas ujian."
Kalimat itu menandakan jika ujian akan dimulai. Membuat jantung mereka berdegup kencang, karena akan berhadapan dengan laporan keuangan yang harus mereka selesaikan dalam waktu tiga jam.
"Aditya Putra Perwira." Teriak pengawas mulai mengabsen.
"Rai, lo tadi ke sekolah jalan kaki lagi? Padahal udah gue samper. Tapi gak ada siapa siapa."
Sepertinya Rey tidak tau kegaduhan yang Ananta dan Dikta lakukan tadi di gerbang sekolah.
"Enggak, aku dianter sama Dikta Nanta."
Rey mengangguk. Lalu ia menyenderkan tubuhnya pada tembok jendela, membuat ia bisa melihat Rai dengan sempurna.
"Lo bakal terus netap di Jakarta, atau pulang ke Bandung kalau udah lulus?" Tanyanya membuat Rai menatap Rey sebentar, sebelum akhirnya ia membersihkan kacamatanya yang mulai tidak nyaman dipakai.
"Kurang tau. Liat nanti aja."
"Lo suka baca gak, Rai?" Rey tiba-tiba memiliki keinginan untuk berjalan-jalan dengan Rai ke toko buku, dan membicarakan tentang sastra secara terbuka.
Rey paling suka membahas sastra. Apalagi dengan Rai, orang yang sama sama suka membaca.
Ditempatnya Rai mengangguk pelan, karena fokusnya sedang ia arahkan ke kacamatanya tersayang.
"Kalau gue beliin lo buku nanti pulang sekolah, mau?"
Rai langsung mengangguk dengan semangat. "Mau!"
"Berarti nanti lo pulang bareng gue, ya?"
Tangan Rai bergerak memperagakan hormat. "Siap donatur!"
Dan Rey hanya terkekeh ringan mendengar respon yang Rai berikan.
"Rai Anggita Pertiwi."
Hingga akhirnya obrolan mereka selesai disini, ketika nama Rai dipanggil dengan lantang, pertanda jika dirinya harus bersiap untuk mengerjakan.
"Semangat!" Ucap Rey ketika Rai sudah kembali dengan kalkulator juga kertas ujian dari depan.
"Juga!"
"Rey Adiwangsa Sajagat."
Sekarang, giliran Rey yang dipanggil ke depan.
***
^^^24-Mei-2025^^^