Kecewa. Satu kata itulah yang mengubah Rukayah menjadi sosok berbeda. Hidup bersama lelaki yang berstatus suami tapi diperlakukan layaknya keset membuat Rukayah jengah dengan kehidupan rumah tangganya.
Bersabar bukan lagi jalan keluar. Dia tidak bisa terus bersama orang yang tidak menghargai dirinya.
Keputusan untuk berpisah sudah bulat meski suaminya, si Raden Manukan itu nantinya akan mengemis meminta untuk terus bersama.. I'm sorry mas, aku wes kadung rungkad!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dfe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rungkad 12
Tiba di rumah, Ru di sambut senyum mengejek dan sama sekali tak ramah yang Nimas dan ibunya tujukan untuk Ru.
"Dari mana?" Tanya Nimas. Dia adik ipar Ru, harusnya punya sopan santun terhadap kakak iparnya, tapi alih-alih menunjukkan sopan santun, Nimas lebih memilih ikutan sinting dengan membenci Ru tanpa alasan yang jelas.
"Cari duit buat nyambung nyawa. Dari pada main doang ke rumah orang padahal yang punya rumah lagi nggak ada." Sindir Ru langsung menusuk ke relung hati serta jeroan lainnya, Nimas tentu mengekspresikan mukanya lebih sinis dari sebelumnya.
"Ini rumah masku! Aku bebas ke sini kapan aja semauku! Gayanya cari kerja, kerja apaan kamu mbak? Jual--"
"Aku kasih tau. Pasang kupingmu yang bener biar kamu bisa denger apa yang aku omongin ini! Aku Rukayah, rumah yang kamu bilang rumah masmu itu adalah sepenuhnya punyaku! Orang tuaku yang bangun rumah ini untukku. Kalau nggak bisa ngomong baik, seenggaknya diem aja. Jadi kelihatan begonya kan! Jaga lisanmu sebelum Allah nurunin azab dan bikin kamu bisu! Mau jadi bisu??"
Tak terima anak manisnya terkena bentakan oleh Ru, ibunya Nimas juga Raden langsung berdiri dari tempatnya duduk.
"Mulutmu itu minta digiles sama buldoser apa hah? Yang sopan! Meski Nimas ini adik iparmu kamu kudu punya adab kalau ngomong sama dia!"
Ru tersenyum, bukan senyum kebahagiaan tentunya. Ru merasa dirinya di kelilingi orang-orang menyebalkan di manapun dia berada. Ah sudahlah.. Dia melenggang masuk ke dalam rumah, namun baru mencapai ruang utama matanya dipaksa melihat hal yang memuakkan. Raden tidur dengan santainya di sore hari saat dirinya pulang kerja dengan badan capek secapek capeknya, masih harus menghadapi tingkah over tantrum dari mertua dan adik iparnya.
"Semoga amal ibadahnya diterima Allah Subhanahu wa ta'ala." Ucap Ru asal ketika melihat suaminya meregangkan otot mengubah posisi tidurnya di bangku panjang.
"Heh! Suamimu itu cuma tidur bukan meninggal! Kayak gitu ya kelakuanmu!" Bentak ibunya Raden murka, bagaimana tidak murka jika anaknya didoakan isnil mamfuz ketika suara dengkurannya masih terdengar.
"Udahlah buk mertua.. Ada perlu apa ke sini? Aku capek. Mau buru-buru mandi, masak mi, makan, nyuci baju, alah.. Masih aja ngebabu juga endingnya. Padahal badan udah capek bener. Kok kasihan banget kedengarannya ya buk mertua, buk mertua kasihan nggak sama aku?"
Ingat tujuannya bertamu, ibu dari dua anak yang songong itu berdemem pelan. Aduh mau ngedrama kayaknya nyai satu ini.
"Gini, kamu duduk dulu lah.. Masa bicara sama orang tua kok berdiri gitu. Udah nggak usah bikinin teh, tadi Nimas udah buatin kok."
'Nggak niat bikinin juga asal bu mertua tau'
"Baik, ada apa buk mertua?"
Nimas menggoyangkan tubuh kakak lelakinya agar bangun. Supaya apa? Supaya mereka bisa mengintimidasi Ru jika Ru menolak keinginan mereka. Sungguh mulia sekali niat adik ipar durjana satu itu, ya kan?
"Aku mau pinjem sertifikat rumah ini Ru. Mau tak pake buat ambil pinjaman di bank." Kata ibu mertua Ru penuh keyakinan, yakin jika Ru tak akan menolak keinginannya.
"Owh, sertifikat to. Iya iya, mau ambil pinjaman di bank buat apa kalau boleh tau?" Ru menopang dagunya dengan tangan. Menatap mertua dan iparnya silih berganti.
"Buat modal usaha si Nimas. Boleh kan? Kamu lihat itu adikmu, lulus kuliah tapi nyampe sekarang belum dapet kerjaan yang pas buat dia. Udah lamar kerja sana-sini tapi selalu ditolak. Kamu pasti juga tau, cari kerja susah. Makanya aku mau pinjem sertifikat itu buat bikinin usaha adikmu." Ibunya Raden menjelaskan dengan suara dibuat sehalus mungkin. Nggak inget kalau beberapa detik yang lalu, orang yang sama itu udah bentak-bentak Ru dan menghasut anaknya sendiri supaya timbul kecurigaan dan kebencian permanen pada menantunya.
'Adikku? Punya adik kurang ajar gitu dari bayi aku sedot ubun-ubun nya!'
"Nah iya, kasih pinjem itu sertifikatnya ke ibu. Aku juga mau bikin usaha. Dari pada kamu kelayapan nggak jelas, mending kita usaha dagang aja." Raden yang baru tidur seperti mendapat ide cemerlang untuk ikut andil menguras satu-satunya harta berharga istrinya.
Ru tenang, dia manggut-manggut seperti sedang menimbang dan berpikir.
"Udah nggak usah kebanyakan mikir, kasih aja sertifikat rumah ini. Di mana? Biar aku ambilin aja kalo kamu ogah gerak." Raden sudah berdiri dari duduknya.
"Bentar aku tak mandi dulu. Kirain tadi ada apa.."
Ru seperti sengaja membuat ketiga temen main Dajjal itu geram. Meski kesal, Raden, Nimas juga ibu mereka tak bisa berbuat apa-apa. Mereka butuh sertifikat rumah Ru.
"Kayak sengaja banget nggak sih mas, itu istrimu ngulur waktu?! Aku capek lah seharian di sini. Nungguin dia pulang ngelayap nggak tau dari mana, giliran dateng malah gini dia. Kayak nggak ngehargain aku sama ibu yang datang jauh-jauh ke sini."
Raden diam. Tapi sesaat kemudian dia berjalan ke belakang mengikuti istrinya.
"Udah biarin aja. Aku yakin masmu bisa bujuk istrinya." Ibunya Raden menikmati teh manis buatannya sendiri. Dia sudah membayangkan akan mendapatkan banyak uang dari sertifikat rumah Ru yang akan dia gunakan sebagai jaminan mengambil pinjaman di bank.
"Ru, kamu taruh di mana sertifikat rumah ini? Itu lho ibu udah nungguin dari tadi." Ucap Raden di depan kamar mandi.
Ru diam menikmati acara mandinya.
"Ru! Kamu denger kan aku ngomong apa?!" Kali ini suara Raden terdengar lebih keras.
"Bisa diem nggak. Aku nggak bisa fokus be_rak karena suaramu bikin emas batangan ku ogah keluar dari pabriknya! Lagian kalian yang butuh kok aku dibentak-bentak mulu, mbok ya ngebaik-baikin aku dikit gitu lho. Nggak mudeng banget sih!" Ru tak ingin kalah garang.
"Iya udah. Aku sama ibu tunggu di ruang tamu aja kalo gitu. Buruan, nggak usah bikin orang tua kesel karena terlalu lama nungguin kamu setor!"
15 menit menunggu, Ru menemui mertuanya yang ada di ruang tamu. Pandangan mata tak suka ditunjukkan Nimas padanya. Raden hanya melihat tanpa ekspresi. Tak heran, sudah biasa seperti itu. Mata keduanya bertemu, Ru memilih memalingkan muka.
"Jadi gini ya buk mertua, aku nggak bisa ngasih pinjem sertifikat rumah ini. Udah gitu aja, alasannya apa? Kalian introspeksi diri aja lah, sifat kalian ke aku aja kayak gini kok.. Giliran butuh duit nodong sertifikat rumah ku buat dijadiin jaminan di bank."
"Kenapa mendelik, melotot, mentolo gitu matanya? Mau keluar itu lho bola mata kalian. Mau bikin usaha (Ru tersenyum mengejek), nggak usah bingung mau bikin usaha.. Kalo mau ayo kerja bareng aku. Ngupas singkong di tempat juragan. Mayan sebulan dapet 700 ribu."
"RU!!" Suara Raden kencang membuat orang-orang di sana melihat ke arahnya.
"APA DEN RADEN APA??? KAMU KIRA CUMA KAMU YANG BISA TERIAK HAH?? AKU JUGA BISAAAAAA,!!!"
Mereka adu mekanik.
"Dasar perempuan gila! Nyesel aku nikah sama kamu, udah nggak bisa ngasih keturunan, nggak bisa bantu orang tua, pelit, mata duitan, tiap hari nodong duit aja bisanya!!" Raden mengungkapkan unek-uneknya lewat amarah yang membara.
"Bagus! Bagus kalo nyesel nikah sama aku karena dari pada kamu,, aku yang paling pegel sama pernikahan ini, jadi.. mending keluar aja dari sini! Minggat aja minggat! Ini rumahku, aku punya hak penuh sama semua ini, dan jangan lupa Den.. Motor itu juga punyaku. Kalo mau minggat dari sini, jalan kaki aja!" Ru bukan malaikat yang kudu terus bersabar dan memaklumi semua perlakuan Raden dan para anteknya!
"Kamu benar-benar berubah Ru! Jaga batasan mu jika bicara dengan suami! Jangan meninggikan suara, apalagi membentak. Dosa kamu!" Dia diserang sesepuh Raden, bala bantuan datang begitu saja untuk seorang yang dzalim.
Ru tertawa. Tawa mengejek tentunya.
"Aku nggak boleh meninggikan suara sama dia, tapi dia bebas bentak-bentak aku? Dia bebas ngatain aku yang nggak-nggak? Dia boleh nggak ngasih nafkah ke aku? Cuma ngasih kelon aja nggak bikin kenyang buk mertua, tanyakan pada anak emas buk mertua ini.. Kapan terakhir dia ngasih aku uang? Dia sendiri pasti udah lupa saking lamanya!"
Saat akan mengangkat tangan untuk menampar Ru, Ru lebih dulu mencekal tangan Raden dengan pandangan dibuat segarang mungkin.
"Kalau pernikahan kita harus berakhir sekarang, akhiri aja! Tapi jangan main fisik. Almarhum orang tuaku saja nggak pernah mukulin aku!"
pasti ku ketawain juga kok
ucapan kan doa
halu lah kau nimas😏
yg bilang gitu siapa coba😤
kamu aja terlalu buduh, percaya modelan cwo mokondo
selow aja jgn ngegas gitu
eakkkk🥰🤣
terlalu irit lah kamu mas ciko, seharusnya sekali pake buang.. lah buat nyoblos berkali2 ya jebol😑😑