NovelToon NovelToon
Sisi Lain Dari Pagar Sekolah: Pengalaman Dan Penyesalan

Sisi Lain Dari Pagar Sekolah: Pengalaman Dan Penyesalan

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen / Romantis / Teen School/College / Slice of Life
Popularitas:3.4k
Nilai: 5
Nama Author: Atikany

Aku punya cerita nih, soal dunia ku yang banyak orang bilang sih kelam, tapi buat ku malah keren dan penuh dengan keseruan. Aku punya circle, sebuah geng yang isinya anak-anak yahut yang terkenal jahil dan berani. Seru abis pokoknya! Mereka itu sahabat-sahabat yang selalu ada buat ngelakuin hal-hal yang bikin adrenaline kita ngacir.

Kita sering hang out bareng, kadang sampe lupa waktu. Dari yang cuma nongkrong asyik di tempat-tempat yang biasa kita tongkrongin, sampe yang agak miring kayak nyoba barang-barang yang sebenernya sih, yah, kurang direkomendasiin buat anak muda. Tapi, yah, lagi-lagi itu semua bagian dari mencari identitas dan pengalaman di masa remaja.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Atikany, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Part 12

Momen itu terasa seperti ujian besar bagiku. Aku udah siap-siap mental untuk mendekati Gilang, tapi tetap aja, ketika dia memandangiku dengan tatapan yang sulit kutafsirkan, kaki ini rasanya pengen lari balik ke tempat dudukku. Namun, dorongan dari Miranda dan teman-teman lainnya yang seperti memberi semangat 'kamu bisa' membuatku bertahan di sana.

"Kenapa?" tanya Gilang dengan suara khasnya yang terdengar agak berat. Deg-deganku makin menjadi, tapi aku harus tetap lanjut.

"Bisa minta tolong bantuin ngerjain tugas?" tanyaku, suaraku terdengar gugup. Gilang mengamatiku sejenak, membuatku makin tidak nyaman, tapi kemudian dia mengangguk dan berkata, "Sini."

Aku merasa lega dan segera duduk di bangku depan dia. Segera kubuka buku tulis dan pena hitamku, bersiap untuk mencatat penjelasan dari Gilang.

"Jadi gini..."

Gilang baru aja mau mulai bicara, tapi tiba-tiba Yura datang dengan nada yang nggak ramah.

"Minggir!" serunya keras.

Aku yang baru sadar kalau duduk di bangku yang biasa Yura pakai, langsung kaget. Di kelas kami, Yura dikenal sebagai tipe yang nggak suka kompromi dan selalu ingin apa yang dia mau harus terjadi.

"Itu bangkunya Yura. Ngapain lu duduk di sini?" tambah Diana, dengan nada sinis. Diana itu teman sebangku Yura, jadi nggak heran kalau dia ikut-ikutan bertindak tidak menyenangkan.

Salsa, ikut-ikutan mengejek. "Caper lah mau apa lagi," sindirnya dengan nada mengejek. Mereka bertiga memang selalu bersama dan suka bikin orang lain nggak nyaman.

Di posisi seperti itu, sebenarnya aku pengen banget menjawab mereka semua dengan nada tajam, membela diri atau bahkan melawan balik. Tapi, di saat yang sama, aku tahu itu cuma akan membuat keadaan jadi lebih buruk. Jadi, aku memilih untuk diam dan tutup mulut rapet-rapet.

Tanpa banyak bicara lagi, aku langsung berdiri dan minggir, menghindari konfrontasi lebih lanjut. Gilang yang melihat kejadian itu, langsung menyelamatkan situasi dengan cara yang sederhana tapi berarti.

"Duduk sini aja," ucap Gilang, menawarkan tempat duduknya.

Aku lihat dia pindah duduk ke bangku Dias, dan aku akhirnya duduk di bangku yang biasa dia pake.

Gilang ternyata ngajarin aku dengan sabar banget. Muka dia yang awalnya terkesan serem, ternyata nggak seserem itu pas udah kenal dekat.

"Makasih ya," ucap ku setelah dia selesai ngajarin.

"Sama-sama, kalau butuh bantuan bilang aja," balas Gilang santai.

Pas itu juga, Erna yang duduk nggak jauh dari kita, langsung nyeletuk. "Jangan mau-maunya lu di godain sama Alisa," katanya.

Wulan yang ada di sebelahnya langsung ikutan nyinyir, "Iya, lenjeh banget sih jadi cewek."

Sumpah, sindiran mereka kerasa banget, tapi somehow aku malah ketawa dalam hati. Ada sensasi seru gitu jadi pusat perhatian, meski agak negatif.

Ini kayaknya jadi titik balik buat aku untuk lebih pintar mainin kartu. Aku mulai sadar, bermain dengan persepsi orang itu seru dan menantang. Aku cuma bisa lihatin mereka berdua sambil nahan senyum.

Dari situ, aku mulai mikir mungkin ini awal dari ku yang lebih manipulatif—tapi dalam arti positif dong, lebih ke arah mengatur strategi gimana caranya berinteraksi yang lebih pintar.

Jadi ya, aku pamit sama Gilang sambil coba cuekin omongan-omongan yang nggak penting dari mereka.

"Aku balik ke tempatku ya," ucapku sambil nyengir, pura-pura gak denger mereka ngomong apa.

Gilang cuma angguk-angguk dan tersenyum, keliatan juga dia gak mau drama lebih lanjut.

Begitu aku mulai jalan, Yura yang kayaknya gak bisa liat orang seneng, langsung ngeledek.

"Heh, jangan sombong karena lu putih!" teriaknya.

Aku cuman bisa geleng-geleng kepala dalam hati. "Dasar nggak ada kerjaan," pikirku. Tapi, gak mau ambil pusing, aku jalan terus menuju tempat dudukku.

Di jalan, aku sempet liat Lia dan Bina, dua temen sekelasku yang lain. Mereka keliatan agak tegang gitu, mungkin karena takut kebawa-bawa dalam drama ini. Mereka bisik-bisik, matanya sesekali melirik ke arahku.

Aku kasih mereka senyum tipis, seolah bilang, "Tenang aja, gak ada yang serius."

Kadang heran juga, kenapa sih harus ada orang yang suka banget nyinyir? Apa iya seneng ya bikin orang lain kesel?

Tapi, untungnya bergaul sama geng Miranda itu banyak ngajarin aku. Salah satunya, gimana caranya tetap kuat dan percaya diri walau banyak yang nyinyir. Mereka itu tipe yang gak takut sama siapa pun, jadi lama-lama kebiasaan mereka itu kayak nular ke aku.

Sekarang aku jadi lebih pede, lebih bisa tahan banting walau kadang-kadang tetap aja sih, jantung ini rasanya kayak mau copot kalo ada konflik.

Bergaul dengan mereka bikin aku sadar satu hal: pentingnya nggak mudah terpengaruh sama omongan orang. Jadi sekarang, aku lebih milih untuk nanggepin semua cibiran dengan senyum atau kadang malah diemin aja. Toh, makin dipikirin makin pening kepala sendiri.

\~\~\~

Aku baru aja nyampe di bangku tempat Miranda dan yang lain biasa nongkrong, dan suasana langsung riuh.

Miranda dan yang lainnya langsung menyerbu dengan komentar dan candaan mereka.

"Hebat banget lu. Padahal masih junior tapi gampang banget lu deketin Gilang," kata Davina, cengiran lebarnya sampai bikin matanya sipit.

Tawanya yang renyah terdengar menyenangkan, membuat suasana jadi lebih ringan.

"Iya, tapi rombongan Salsa nyinyir banget," jawabku, ikut terbawa suasana. Aku cerita tentang bagaimana Salsa dan teman-temannya menyerang dengan kata-kata sinis tadi.

Dan mereka, geng Miranda, malah tambah ketawa. Rupanya, untuk mereka, kisah konflik dengan Salsa dan gengnya itu adalah bahan lelucon yang tak pernah habis.

"Emang tuh mereka nenek lampr. Sok berkuasa padahal enggak ada wilayah kekuasaannya," celetuk Miranda dengan nada menyindir.

Miranda memang terkenal blak-blakan dan nggak pernah takut untuk berbicara apa adanya tentang siapa saja.

Suasana jadi semakin riuh dengan tawa dan komentar dari teman-teman yang lain. Ada rasa puas juga sih, mendengar mereka membela dan mendukungku. Rasa komunitas di antara kami ini, walaupun kadang diwarnai dengan gosip dan candaan, tetap memberi energi positif. Kita seperti satu tim yang siap melawan siapa saja yang coba mengganggu salah satu dari kami.

Davina, dengan sorot matanya yang tajam dan nada suara yang penuh keyakinan, mengalihkan topik pembicaraan ke arah yang lebih gelap.

"Udahlah ngurusin mereka enggak penting. Sekarang lu harus coba yang namanya malak," katanya, membuatku merasa sedikit gugup.

Aku ingat betul pertama kali nongkrong dengan mereka di kantin waktu itu. Davina membawa sejumlah uang, dan aku tahu uang itu hasil dari Davina yang malak si Bambang. Bambang sendiri, sampai detik ini aku belum kenal siapa dia sebenarnya.

"Enggak usah takut," di kala Caca mencoba menenangkanku dengan perkataannya yang kalem, Miranda langsung menyela dengan nada yang agak berbeda.

"Lu cantik, pasti gampang deh dapetin duit dari cowok-cowok," katanya sambil nyengir.

Aku cuma bisa menatap mereka satu per satu, mencoba mencerna maksud dari semua ini.

Davina, langsung tebak, "Uang jajan lu pasti dikit kan?"

Aku mengangguk pelan, benar sih, tapi bukan berarti aku siap melakukan apa yang mereka sarankan.

"Nah, makanya, lu malak aja biar lebih hemat," canda Hanum sambil tertawa.

Mereka tampak santai, tapi aku? Jantungku berdegup kencang, merasa tak nyaman dengan ide mereka.

Hanum, dengan entusias yang jelas, memberikan saran, "Target palak lu cowok. Karena mereka gampang banget diperdaya, apalagi dengan muka lu yang cantik dan polos ini."

Fifin yang mendengarkan semua itu dengan senyum lebar, mengambil kaca kecil dari tasnya dan menunjukkannya kepadaku, seolah-olah ingin memperkuat argumen Hanum.

1
Amelia
halo salam kenal ❤️🙏
Atika Norma Yanti: salam kenal juga ya😄
total 1 replies
Anita Jenius
5 like mendarat buatmu thor. semangat ya
Anita Jenius
seru nih mengangkat masalah pembullyan.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!