Alma, Si anak baru di Sub Bagian SDM Rumah Sakit Harapan Hati mendadak terkenal di hari pertama masuk kerja. Alasannya yaitu wajahnya yang mirip dengan dr Ilman, Si tampan dari poli anak. Tidak hanya wajah, nama mereka juga mirip, Alma dan Ilman.
Gara-gara ini, banyak yang mengira bahwa keduanya adalah saudara, padahal bukan. Adik dr. Ilman yang sebenarnya juga bekerja di divisi yang sama dengan Alma. Tapi, karena suatu alasan, dia tidak mau mengakui bahwa Ilman adalah kakaknya sendiri.
...
"Saya izinkan kamu buat pamer kalau kita berdua bersaudara. Kalau bisa, puji saya tiap hari biar pekerjaan kamu makin gampang.” - Ilman -
“Hahaha... Dokter bercanda, ya?” - Alma -
“Saya serius. Sombongkan saja nama saya. Bukankah bagus kalau kamu jadi adik dari orang yang jenius dan ganteng seperti saya?”
Dih! Bisa ya, ada orang senarsis dan sesombong ini. Dokter pula. Pasiennya tidak apa-apa, tuh?
Tapi, anehnya Alma merasa pernah mendengar kata-kata itu sebelumnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eggpudding, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
12. Asal Kau Tidak Mengikutiku
Sesi dua dari in house training hari ini juga berjalan dengan cukup lancar. Walau ujung-ujungnya yaaa meet and greet dr. Ilman.
Namun, setelah mendengar omongan dr. Dinda, aku benar-benar baru memperhatikan sikap dr. Ilman. Ramah sih, tapi terkesan menjaga jarak.
Hanya satu yang masih sama, yaitu sifat narsistiknya yang kelewat batas. Beberapa kali dia bahkan menyinggung soal CPR ala drama. Dia bilang, “Jangan sampai pas liat CPR di sinetron, kalian malah jadi ingat saya.”
Bikin ngakak satu gedung sih, karena dia jadi terkesan humoris. Tapi, bagiku dan dr. Dinda yang sudah sering mendapatkan guyonan seperti itu, malah jadi ill feel. Lihat saja dr. DInda yang sampai pucat dibuatnya.
Well, dia masih beruntung, karena cuma ikut satu sesi. Sedangkan aku dan para staf SDM lain, harus ikut dua sesi untuk mengawasi para peserta.
“Dok, makasih ya hari ini sudah bersedia untuk melatih.” ucapku pada dr. Ilman.
Dia tercenung sambil menatapku sendu.
“Sama-sama. Saya pikir kamu gak mau ngomong lagi sama saya.” sahutnya lemah.
Mulai lagi deh, lebay-nya.
“Lha, biasanya kan dokter yang ajak saya ngomong. Saya mah emang gak biasa ngomong duluan aja.”
dr. Ilman menaikkan alisnya.
“Iya kah? Jadi, kamu gak cuekin saya?” tanyanya.
“Dibilang cuekin, yaaa iya, sih. Soalnya dokter keseringan ngekorin saya. Tapi, karena dokter gak gangguin kerjaan saya, jadi saya cuekin aja.” jelasku.
Seketika dua pundaknya turun dan napasnya dia denguskan. Setelah itu, dia berkata, “Maaf.”
Ohoh! Tahu diri juga dia. Bagus lah, daripada nantinya dia dijuluki anak bebek, terus aku jadi induk bebeknya. Kan malesin banget.
“Hm... udah jam setengah 6 nih, Dok. Saya siap-siap pulang dulu, ya.” ujarku sambil berdiri dari dudukku.
“Mau bareng? Eh, nggak... maksud saya...”
Dokter Ilman kalau udah canggung gini ucul juga. Tapi, bukan berarti aku mau menerima tawarannya.
“Saya udah janji mau bareng sama Mbak Lia.” Sepeda motorku pagi tadi mogok, jadi aku berangkat diantar Papa. Dan pulangnya aku minta Mbak Lia untuk mengantarku, karena tidak ada angkot yang jalan setelah pukul 5 sore di kotaku.
“Oke.”
Aneh juga kalau dia langsung nyerah gitu. Kesambet kah? Atau sesajennya kelebihan?
Syukuri aja lah. Daripada nge-jinx, terus dia malah jadi stalker.
...
Meski begitu, aku akui keberuntungan dr. Ilman itu saaangat tinggi. Karena, ujung-ujungnya dialah yang mengantarku ke rumah dengan dua orang lainnya.
Mbak Lia mendadak tidak bisa mengantarku, karena mendadak Ibunya datang berkunjung dari kampung halamannya dan minta dijemput segera. Jadi, aku harus mengalah.
Dua orang lain yang bersama kami turun lebih dulu dariku, karena jarak rumah mereka lebih dekat. Otomatis, aku harus lebih lama bersama dr. Ilman. Gak masalah sih, soalnya hari ini dia cukup jinak.
“Dok, saya tuh dari dulu sebenernya pengin nanya, kenapa sih Dokter ngebet banget pengin jadiin saya adik pura-pura?” tanyaku untuk memecah keheningan.
“Karena, saya harus jadi kakak kamu.”
Jawaban macam apa itu?
“Itu kayaknya bukan jawaban, Dok.”
Sejenak dia seperti sedang berpikir. Setelah itu katanya, “Saya jelasin pun, kamu gak bakal paham.”
Pakai rahasia segala. Jangan-jangan ada hal aneh yang dia pikirkan. Misalnya, dia punya fetish adik-kakak dan pengin praktiknya sama aku. Tapi, berarti dia naksir aku dong. Kayaknya nggak, deh.
“Padahal kalau Dokter gak ngebet banget, kayaknya bisa saya pikirkan, deh.” ujarku jujur.
“Oh, ya? Contohnya gimana?”
Sambil melipat tangan di dadaku, aku menjawab, “Yaa... tinggal sapa aja tiap kita papasan, terus bilang ke yang lain kalau kita bukan saudara beneran, gak usah juga nyamperin ke kantor kalau gak ada hal penting. Kalau gitu malah jadi kayak stalker, Dok. Siapapun pasti takut.”
“Gitu, ya.”
Dari rautnya, aku yakin kalau dia sudah paham. Semoga saja begitu, sih.
Omong-omong soal stalker, sekarang kami sudah dekat dengan rumah dan di depan gang rumahku juga ada stalker. Cewek pula.
Ini sudah ke sekian kalinya aku mendapati Mea menungguku di sana dan beberapa jalan lain yang biasa kulewati. Beberapa kali dia juga mengkonfirmasi kalau dia memang menungguiku dan ‘abangku’ melalui pesan wassap. Melalui wassap juga aku selalu menjawab bahwa kami tidak lewat situ hari ini.
Graahhh... Kalau aku tega, udah kulapor polisi, deh.
“Lama-lama gedek juga sama ini cewek.” gumamku.
“Haaah... gitu ternyata,”
Terdengar suara dengusan berat dari dr. Ilman. Akupun menengok ke arahnya.
“Kamu gak samain saya sama dia kan?” tanyanya kemudian sambil menunjuk ke arah Mea.
Aku meringis, karena tadi memang aku berpikir kalau kelakuannya dan Mea hampir sama. Karena itu, lagi-lagi dia mendengus.
Ya, kan salah dia sendiri kelakuannya aneh.
“Kita lewat jalan lain aja, Dok. Atau saya turun di sini juga gak masalah.”
Dokter Ilman menggeleng pelan.
“Saya anter kamu sampai rumah.”
Dengan ini, obrolan kami pun selesai. Dia benar-benar tidak mengatakan apa-apa lagi setelah itu. Bahkan saat aku sudah turun dari mobilnya dan memberi salam, dia sama sekali tidak membalas salamku.
...
“Kakanda... maafkan Kinasih. Maaf... maaf...”
Ah, mimpi ini lagi. Sebelumnya Pralajaya lah yang minta maaf, sekarang malah Kinasih. Kali ini kenapa lagi dia?
Aku menengok ke segala arah untuk mencari tahu apa yang terjadi di mimpiku kali ini. Tetapi, semuanya sama saja. Gelap. Aku tidak bisa melihat apapun.
Kucoba meraba-raba yang ada di sekitarku. Aku bisa merasakan beberapa batang kayu potongan di sana. Ada pula helaian jerami.
Selanjutnya, aku menajamkan indera penciumanku. Tercium bau yang lumayan busuk di sana.
“Kanda... maaf... seharusnya aku mendengar ucapan Kakanda...”
Suara Kinasih terdengar parau. Apa dia habis menangis? Bahkan aku bisa merasakan kerongkongannya yang kering.
Omong-omong yang dipanggil dari tadi sepertinya tidak ada di sekitar sini. Kukira Pralajaya dan Kinasih itu satu set nongolnya. Tapi, kok ini cuma Kinasih?
“Kinasih,”
Nah, ini ada suara lain. Tapi, suaranya tidak mirip dr. Ilman. Jelas ini bukan Pralajaya.
Sayangnya, tempat ini terlalu gelap. Aku tidak bisa melihat wajahnya.
“Kanda Ken Walirang.”
Rupanya Kinasih tidak asing dengan pemilik suara itu. Namanya keren juga, Ken Walirang. Apa dia anak bangsawan?
“Pralajaya tidak akan datang. Dia tidak tahu kau di mana.” ujarnya.
Aku bisa merasakan bahwa Kinasih kini sedang ketakutan. Mungkinkah Ken Walirang ini bukan orang baik?
“Kau... memakai sihir seperti biasanya...”
Sihir? Apa ini dunia yang ada sihirnya? Jadi, bukan kejadian di masa lalu?
“Aku menunggu saat-saat kau sendirian. Kakakmu itu benar-benar menyebalkan, karena tak pernah lepas darimu.”
Kinasih menunduk dengan air mata yang kembali berderai.
“Ya, seharusnya aku menurut padanya...”
notes:
Gais, dikasih visual penting gak, sih? I mean, aku lihat pada bikin gituan. Tapi, menurutku pribad, kenapa gak serahin ke imajinasi kalian sendiri? Aku sendiri bikin cerita ini terinspirasi dari Niel Teen Top yang katanya mirip banget sama aku, terutama bibirnya. Berhubung dia lumayan ganteng, ya aku ngayalinnya dia. hahaha. Padahal biasku juga bukan.
Barangkali kalian punya kembaran sendiri, ya bisa lah dibayangin sendiri.