Kedamaian yang seharusnya bertahan kini mulai redup. Entitas asing yang disebut Absolute Being kini menjajah bumi dan ingin menguasai nya, manusia biasa tak punya kekuatan untuk melawan. Namun terdapat manusia yang menjadi puncak yaitu High Human. High Human adalah manusia yang diberkahi oleh kekuatan konstelasi kuno dan memakai otoritas mereka untuk melawan Absolute Being. Mampukah manusia mengembalikan kedamaian? ataukah manusia dikalahkan?. Tidak ada yang tahu jawaban nya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kyukasho, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 24: Masalalu Yara
Desa Karseille, di kaki Pegunungan Faice, kembali diselimuti kabut dingin saat fajar mulai menyingsing. Hembusan angin yang turun dari puncak Faice menggoyangkan jendela-jendela kayu dan membawa aroma tanah basah yang khas. Meski udara menusuk tulang, desa itu memancarkan kehangatan dari cahaya-cahaya obor dan aroma roti panggang yang keluar dari dapur-dapur kecil.
Yara berdiri di beranda rumah tua peninggalan keluarganya, menyelimuti tubuhnya dengan kain wol tebal berwarna hijau zamrud. Matanya menatap puncak gunung yang dulu jadi tempat pelariannya, sekaligus tempat ia menemukan dirinya sendiri.
"Pagi di sini... tetap saja dingin." gumamnya pelan, menghembuskan napas yang berubah jadi uap putih.
Di dalam rumah, Kieran tengah mengaduk panci sup di atas tungku api. Tak seperti biasanya, wajahnya terlihat serius, tanpa senyum jenaka yang biasanya menghiasi bibirnya. Ia melirik ke arah jendela, lalu berseru, "Hei, kalau kau terus berdiri di luar seperti itu nanti kau bisa saja membeku!" Seru Kieran kepada Yara.
Yara hanya melirik sekilas, lalu masuk dengan langkah pelan. "Harusnya kau tahu kan kalau aku bisa memanipulasi angin agar tidak mengenai ku. Tapi aku tidak keberatan membeku sesekali, rasanya menenangkan." Ucap Aria dengan nada dengan suara lirih.
Kieran mengangkat alis, lalu menyodorkan mangkuk sup hangat. "Menenangkan atau... menghindar dari kenyataan?" Ucap Kieran sembari menatap mata Yara.
Yara tak langsung menjawab. Ia duduk, memeluk mangkuk itu dengan kedua tangannya, lalu mengangguk pelan. "Mungkin keduanya..." Bisik Yara dengan pelan.
Hening menyelimuti ruangan kecil itu untuk beberapa saat. Hanya suara api yang menyala lembut dan dentingan sendok beradu dengan keramik.
"Kau tahu, setelah semua itu... setelah melihat kematian begitu dekat... rasanya aneh kembali ke tempat ini, seperti mimpi yang terlalu nyata" Ucap Yara sembari melahap sup.
Kieran mengangguk pelan. "Aku juga merasa aneh. Kita melawan makhluk yang begitu dekat dengan kematian, dan sekarang... kita hanya duduk di sini, makan sup." Ucap Kieran sembari menggenggam sendok begitu erat.
Yara tersenyum tipis. "Kau tidak suka hidup damai, ya?" Sindir Yara kepada Kieran
“Aku belum terbiasa. Tapi... aku rasa aku ingin mencoba." Ucap Kieran sembari memutar sendok di tangannya
Yara menatapnya lekat-lekat, ada sesuatu di balik matanya yang tidak ia katakan. "Jadi... kau benar-benar tidak punya tempat lain untuk kembali?" Tanya Yara kepada Kieran.
Kieran mengangkat bahu. "Orang seperti aku... tempat kembali itu bukan sesuatu yang mudah ditemukan. Tapi aku senang ikut kau ke sini. Entah kenapa, gunung ini... kau... memberi rasa seperti 'rumah'."
Yara memalingkan wajah, menyembunyikan rona di pipinya. "Aku tidak tahu kalau kau pandai merangkai kata-kata, kupikir hanya Sho yang bisa." Ucap Yara dengan nada sedikit malu-malu.
"Mungkin karena kita baru saja bertemu" Ucap Kieran sembari tertawa pelan.
Beberapa hari berlalu. Mereka membantu membenahi desa yang sempat ditinggalkan sebagian warganya karena peperangan. Yara kembali mengajar anak-anak sihir dasar dan mengelola kebun herbal kecil di samping rumah. Kieran, meskipun kikuk, mulai belajar membantu para pandai besi desa.
Pada suatu malam ketika angin bertiup lebih kencang dari biasanya, Yara dan Kieran berdiri di puncak bukit kecil dekat desa. Di bawah langit penuh bintang, mereka memandang ke arah utara. ke arah Vixen, dan segala kenangan yang belum selesai.
"Menurutmu... apakah mereka baik-baik saja?" Tanya Yara lirih.
"Sho, Aria dan Liora? Kurasa mereka pasti baik. Aria tidak akan membiarkan Sho celaka... dan Sho terlalu keras kepala untuk menyerah, sedangkan Liora sudah tentu akan aman karena dia putri kerajaan Vixen." Kieran menjawab
Yara mengangguk, lalu menatap Kieran. "Dan... kau akan tetap di sini?"
"ika kau mengizinkan." Ucap Kieran sembari menatap kearah utara.
Yara menatap langit sejenak, lalu tersenyum. "Kalau begitu... jangan hanya jadi tamu. Bantu aku bangun kembali tempat ini." Ucap Yara, kali ini nada bicaranya terdengar semangat lagi.
Kieran menoleh padanya, terdiam sejenak... lalu mengangguk. "Dengan senang hati." Balas Kieran.
Di bawah cahaya bintang, di desa yang nyaris terlupakan dunia, dua jiwa yang pernah tersesat perlahan membangun kembali rumah, bukan dari batu dan kayu, tapi dari kepercayaan dan kebersamaan.
Beberapa hari telah berlalu dan angin menderu di luar dinding rumah yang diperbaiki oleh Yara dan Kieran. Malam telah larut, namun salju belum juga berhenti turun. Angin dari arah utara menampar jendela-jendela, dan badai membuat suhu merosot tajam. Para penjaga desa Karseille sudah lama mengurung diri di dalam pos penghangat. Namun, satu hal mengganggu pikiran Kieran, Yara belum kembali.
Dia telah melihatnya tadi sore, sedang menatap ke arah utara dari menara pengintai. Namun kini, dia tak kunjung pulang, padahal Kieran sudah memasak sup untuknya agar dimakan bersama. Kieran yang sudah khawatir memutuskan untuk mencarinya.
Tanpa banyak bicara, dia menyelubungi tubuhnya dengan jubah bulu dan berjalan menembus badai. Bekas kaki hampir tak terlihat dalam salju yang terus menumpuk. Tapi hatinya tahu ke mana arah yang harus dituju.
Puncak Gunung Faice. Tempat yang tak masuk akal untuk dituju dalam cuaca seperti ini. Dan benar saja. Sesaat sebelum dia mengira akan kehilangan arah, dia melihat sesosok bayangan duduk di atas batu karang yang menghadap jurang salju. Rambut abu-abu itu terombang-ambing, nyaris menyatu dengan badai. Namun auranya... angin dan badai yang tersembunyi dalam tubuhnya... itu pasti Yara.
"YARA!!" Kieran berteriak, tapi angin meredam suaranya.
Dia mendaki, menjejak batu-batu yang nyaris tertutup es, dan akhirnya berdiri di belakangnya. Yara duduk diam, lutut terlipat dan tangan memeluknya. Pundaknya menggigil. Tapi matanya… terpaku ke langit malam yang mendung.
Kieran melepas jubahnya dan menyelubunginya ke tubuh Yara. Ia duduk di sampingnya, menahan dingin yang menyiksa.
"Apa kau gila? Kau bisa mati kedinginan di sini, meskipun kau bisa mengendalikan angin bukan berarti kau punya stamina tak terbatas untuk mengontrol nya." Ucap Kieran, Suaranya pelan, bukan marah, tapi penuh kekhawatiran.
Yara tidak langsung menjawab. Beberapa detik berlalu hanya dengan suara badai dan napas mereka yang berat.
"Kadang tempat paling sunyi adalah satu-satunya tempat yang bisa menenangkan." Gumam Yara akhirnya.
Kieran menoleh padanya. "Sejak kapan gunung yang tengah diserang oleh badai terasa sunyi bagimu? Bahkan kau sampai membahayakan dirimu sendiri." Ucap Kieran dengan nada penuh kekhawatiran.
Yara menghela napas. "Aku melihat semua orang bergerak ke depan. Sho, Aria, bahkan Liora yang bukan High Human pun bisa bergerak maju. Tapi aku? Aku masih merasa seperti bayangan dari Fujin. Sebuah gema."
Kieran terdiam sejenak. "Kalau kau adalah gema... maka aku akan jadi suara yang memanggilmu kembali setiap kali kau tersesat." Ucap Kieran kepada Yara.
Yara menoleh padanya. Untuk pertama kalinya, sorot matanya tak sekadar dingin atau keras. Ada sesuatu yang rapuh, yang tak pernah ia perlihatkan. "Kenapa kau begitu peduli kepadaku sampai sejauh itu?" Tanya Yara dengan suara pelan, bahkan hampir tidak terdengar karena kerasnya badai.
Dia tersenyum pelan. "Karena aku tahu rasanya menjadi seseorang yang selalu dibandingkan. Karena aku tahu bagaimana rasanya kehilangan arah." Ucap Kieran sembari tersenyum lembut.
Mereka duduk dalam diam. Salju terus turun, tapi di antara mereka… ada kehangatan baru yang perlahan tumbuh. Yara menyandarkan kepalanya ke bahu Kieran, perlahan, seolah ragu tapi akhirnya menyerah.
"Kau tahu... aku sebenarnya memiliki saudara kembar, dia bernama Kael... Dia adalah anak yang begitu bertalenta, sejak kecil dia sudah bangkit sebagai High Human, bahkan konstelasinya adalah Raijin." Ucap Yara kepada Kieran
"Terus apa yang terjadi?" Tanya Kieran dengan penasaran.
"Aku selalu dibanding-bandingkan dengan Kael sejak kecil. Hanya karena dia laki-laki dan terpilih sebagai High Human diusia enam tahun... keluargaku... ayah dan ibuku... mereka tak pernah memandangku sedikit pun, bahkan aku ragu kalau mereka merasakan kehadiranku." Jawab Yara panjang lebar.
"Namun... pada suatu hari, tragedi terjadi. Pada saat aku keluar dari desa untuk mencari bunga-bunga yang mekar di tengah dinginnya salju. Saat aku pulang... keluarga ku sudah tidak ada... yang tersisa hanyalah darah yang mengalir keluar dari pintu." Ucap Yara dengan nada sedih.
"Memangnya apa yang terjadi?" Tanya Kieran sembari mengelus kepala Aria agar dia merasa tenang.
"Keluarga ku dibantai habis oleh bandit gunung, bahkan saudara kembar ku Kael, tidak bisa berbuat apa-apa karena ia masih kecil, tubuhnya tidak mampu menahan kekuatan Raijin. Mengakibatkan dia juga mati. Pada saat aku masuk kedalam rumah, yang kulihat hanyalah anggota keluarga ku yang sudah tidak bernyawa, tubuh mereka tidak membusuk, dan darah membeku." Ucap Yara panjang lebar.
"Pasti berat rasanya melihat keluarga mu sendiri sudah tiada..." Ucap Kieran dengan nada sedih, karena ia tahu begitu besar beban kesedihan yang ditanggung oleh Yara
"Pada momen itu juga, aku bangkit sebagai High Human, Fujin yang kasian melihat ku memutuskan untuk memilih ku sebagai inkarnasinya, setelah itu aku merasa kesadaran ku diambil alih, dan saat kesadaran ku sudah kembali, aku kini telah berdiri diatas tumpukan mayat bandit gunung yang telah menyerang dan membunuh keluargaku. Air mata ku tak bisa berhenti membanjiri pipiku pada saat itu, hanya Fujin yang berusaha untuk menenangkan ku." Ucap Yara panjang lebar.
"Kau sudah berusaha sangat keras... aku bangga kepadamu..." Ucap Kieran sembari memeluk Yara.
Awalnya Yara ingin menolak nya, namun perlahan-lahan ia membiarkan dirinya dipeluk oleh Kieran. Dalam keheningan badai salju, Yara menangis dalam pelukan Kieran, ini pertama kalinya Yara membiarkan seseorang melihat sisi lemah nya karena dia selalu berpura-pura senang dan bahagia di hadapan orang-orang.
Di atas puncak gunung Faice, dalam badai yang menggila, dua jiwa yang kesepian mulai menemukan tempat bersandar satu sama lain dan ikatan cinta mungkin akan tumbuh perlahan-lahan.
Btw bagusss bangett, aku menunggu chapter berikutnyaa/Applaud//Applaud/
sayangg lioraa🫂🫂
peluk jauh untukmu sayanggg🫂🫂
Btw Aria cantik 08 berapa neng? /Smirk//Smirk/
Semangatt terus buat authornya yaaaa
Rasanya campur aduk kayak nasi uduk, aaaa aku ga bisa ngungkapin perasaan ku dengan kata' tapi yang pasti ini KERENNN BANGETTTTT
Oiyaa, semangat terus yaa buat authornyaa /Determined//Determined/