NovelToon NovelToon
Chaotic Destiny

Chaotic Destiny

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Mengubah Takdir / Epik Petualangan / Perperangan / Light Novel
Popularitas:7.7k
Nilai: 5
Nama Author: Kyukasho

Ratusan tahun lalu, umat manusia hampir punah dalam peperangan dahsyat melawan makhluk asing yang disebut Invader—penghancur dunia yang datang dari langit dengan satu tujuan: merebut Bumi.

Dalam kegelapan itu, lahirlah para High Human, manusia terpilih yang diinkarnasi oleh para dewa, diberikan kekuatan luar biasa untuk melawan ancaman tersebut. Namun kekuatan itu bukan tanpa risiko, dan perang abadi itu terus bergulir di balik bayang-bayang sejarah.

Kini, saat dunia kembali terancam, legenda lama itu mulai terbangun. Para High Human muncul kembali, membawa rahasia dan kekuatan yang bisa menyelamatkan atau menghancurkan segalanya.

Apakah manusia siap menghadapi ancaman yang akan datang kembali?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kyukasho, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 24 Remake: Anomali

Suara logam beradu menggema di udara.

CLANGG!

Bident hijau menyala itu menangkis pedang hitam raksasa, membuat percikan api hijau melesat ke segala arah. Sosok Sho berdiri di depan Aria—tubuhnya menjadi penghalang terakhir antara gadis itu dan kematian yang begitu dekat.

Tanpa berkata sepatah kata pun, Sho mengayunkan Bident-nya ke depan.

ZRAAHH!

Kilatan api hijau melesat seperti gelombang petir hidup, dan dalam sekejap, tubuh Invader tingkat menengah itu—yang barusan hendak membunuh Aria—hangus dalam sekejap, menyisakan tumpukan abu yang tersebar diterpa angin.

Aria hanya bisa terdiam. Nafasnya terengah, tubuhnya masih tak bisa digerakkan. Namun ada satu hal yang membuat dadanya sesak bukan karena luka.

Sho... Terasa asing.

Sangat asing.

Wajahnya tanpa ekspresi. Matanya merah menyala, tapi tak bersinar dengan semangat seperti biasa—hanya ada kekosongan.

Tubuhnya tak terlihat lelah. Bahkan napasnya stabil. Ia tak berkeringat, tak menunjukkan rasa sakit, atau amarah.

Seolah-olah, bukan Sho yang berdiri di sana.

Aria ingin memanggil namanya. Tapi mulutnya tak sanggup bersuara.

Duarrr!

Langkahnya menghantam tanah dan menciptakan riak energi. Tiga dari enam Invader tingkat menengah tersisa menerjang ke arahnya, namun Sho menanggapi mereka seperti... Seperti pemburu yang hanya sedang membersihkan hama liar.

Akar-akar pohon dari tanah yang retak bergejolak dan merangkak seperti ular raksasa, melilit tubuh para Invader dengan kekuatan brutal. Jeritan mereka menggema di udara, sebelum tertelan oleh ledakan api hijau yang melumat tubuh mereka.

Tiga Invader mati seketika.

Tubuh-tubuh mereka terlempar seperti boneka tanpa jiwa, terbakar, meleleh menjadi abu dan darah hitam pekat.

Sho tetap diam. Ia bahkan tak melihat ke arah mereka setelah menyerang. Seolah-olah, nyawa mereka tidak penting—tidak layak untuk diperhatikan.

---

Tersisa tiga Invader tingkat menengah.

Mereka mulai ragu. Tidak seperti sebelumnya yang haus darah, ketiganya kini bergerak mundur perlahan. Mata mereka menyipit menatap Sho yang berdiri sendirian di medan perang—di tengah akar yang menari seperti binatang buas, dan tanah yang seakan tunduk padanya.

“...Sho...?” Bisik Aria akhirnya, nyaris tak terdengar.

Namun sosok itu tidak menoleh. Tidak merespons.

Seolah ia tak mendengar.

Atau... Bukan “Sho” yang sedang berdiri di sana?

---

Dalam kesunyian yang menelan seluruh suara dunia luar, Sho membuka matanya.

Namun bukan dunia nyata yang ia lihat.

Yang terpampang di hadapannya adalah hamparan padang rumput luas yang berwarna kehijauan pucat, membentang sejauh mata memandang. Awan-awan tipis bergulung malas di langit kelabu, seolah waktu di sini tak bergerak. Namun tubuh Sho tidak bebas. Akar-akar raksasa menjulur dari tanah dan membelit tubuhnya hingga ia terangkat dari tanah, tergantung di udara. Kedua lengannya direntangkan, lehernya terlilit, dan kakinya tak bisa digerakkan. Nafasnya berat. Ia menggeliat, mencoba melepaskan diri, namun jeratan itu justru semakin erat—dan hidup.

“Ini... Di mana...?” Suara itu lirih, keluar dari mulut Sho yang mengerang pelan.

“Lembah Jiwa,” jawab suara lembut, namun mengandung kekuatan agung. Suara itu begitu familiar.

Dari antara rerumputan yang melambai pelan, sosok itu muncul.

Persephone—sang Dewi Musim Semi sekaligus Ratu Dunia Bawah—berjalan tanpa suara. Rambut hitam legamnya menjuntai seperti aliran tinta, dan mata merah rubinya menatap Sho dengan duka yang dalam. Ia mengenakan gaun berwarna hijau zamrud, berkilau seperti daun segar setelah hujan.

“Ini adalah ruang antara hidup dan mati, Sho. Di sinilah kesadaranmu bersembunyi... Sementara tubuhmu dikendalikan oleh sesuatu yang lain.”

Sho menatapnya, masih menggeliat dalam jeratan akar yang hidup. “Apa maksudmu?! Kenapa aku tak bisa mengendalikan tubuhku sendiri?!”

Persephone mendekat. Suaranya tenang, namun ada ketegangan yang tersembunyi. “Karena kau menyerap terlalu banyak energi alam—jauh melebihi apa yang bisa ditampung oleh tubuh manusia, bahkan seorang High Human.”

“Tubuhmu telah rusak, Sho. Terluka sangat parah hingga semua harapan untuk menyembuhkan mu dengan cara biasa... Mustahil.”

Sho terdiam. Matanya membelalak.

“Jika aku tidak mengambil tindakan... Kau sudah mati sejak tadi.”

Persephone mengangkat tangannya, dan di sekeliling padang rumput itu, tampak bayangan samar berupa siluet-siluet tumbuhan—akar, daun, batang, bunga—semuanya bergerak pelan… seolah memiliki kesadaran sendiri.

Mereka mengitari Sho seperti roh gentayangan.

“Mereka... Siapa...?”

“Mereka adalah roh-roh alam, sisa jiwa dari ratusan tanaman dan pohon yang telah mati di tangan Invader... Dan manusia.”

Persephone berdiri.

“Ketika aku menyerap dan memindahkan energi mereka untuk menyelamatkan nyawamu... Mereka masuk ke dalam tubuhmu.”

Sho menggigit bibir. Napasnya memburu.

“Dan sekarang...”

Persephone menatap lurus ke mata Sho.

“...Merekalah yang mengendalikan tubuhmu.”

“Aku tahu,” jawab Persephone pelan. “Ketika tubuhmu hampir tak bisa diselamatkan, satu-satunya jalan yang tersisa adalah menyalurkan energi kehidupan dari alam secara paksa ke dalam tubuhmu. Itu yang kau lakukan. Tapi...”

Ia mengangkat tangannya. Di balik pemandangan tenang itu, langit mulai berubah. Rerumputan di sekitar mulai menghitam, dan udara menjadi lebih berat.

“...Kau bukan hanya menyerap kekuatan alam.”

Tatapan Persephone menjadi lebih serius. “Yang kau serap... Adalah dendam. Dendam dari jiwa-jiwa tumbuhan, akar, pohon, dan kehidupan alam yang selama ini dihancurkan tanpa belas kasihan oleh Invader... Dan juga manusia.”

Sho terdiam.

“Tubuhmu sekarang bukan dikendalikan olehmu, Sho. Tapi oleh mereka—jiwa-jiwa dari alam yang marah dan tak lagi bisa dibedakan antara teman dan lawan.”

Jeratan di tubuh Sho berdenyut, menyakitkan. Ia menjerit dan mencoba melepaskan diri lagi.

“Lepaskan aku! Aku harus kembali! Aku tak bisa membiarkan mereka membunuh lagi!”

“Kau tak bisa,” bisik Persephone, mendekat. Jemarinya menyentuh dahi Sho dengan lembut, seakan mencoba meredakan gejolak di dalamnya.

“Jika kau memaksa keluar, tubuhmu akan hancur. Energi itu bukan lagi bagian dari dirimu. Kau hanya menjadi wadah—dan sekarang, mereka yang memegang kendali.”

Sho menggeleng, matanya merah, penuh kemarahan dan keputusasaan. “Aku... Tak mau seperti ini! Aku tak ingin menyakiti siapa pun!”

Persephone menatapnya, kali ini dengan mata berkaca-kaca. “Tapi ini satu-satunya cara untuk membuatmu hidup kembali, Sho. Dan untuk hidup, terkadang kau harus kehilangan sebagian dari kendali atas dirimu.”

Sho meraung, menggeliat, berteriak—namun akar-akar itu tidak bergeming.

Dari kejauhan, suara peperangan mulai terdengar. Jeritan, ledakan, suara panah dan logam bertemu. Dunia nyata memanggilnya.

Namun Sho masih terkunci di dalam dirinya sendiri.

---

Langit di atas reruntuhan tambang Westmark berwarna kelabu kehijauan, dipenuhi kabut dan debu. Aroma darah, logam, dan akar yang membusuk menyatu menjadi satu aroma kematian.

Tiga Invader tingkat menengah tersisa. Mereka berdiri dalam formasi segitiga, tubuh mereka gemetar menyadari apa yang telah mereka saksikan—Sho, atau makhluk yang menyerupainya, telah membantai pasukan mereka dengan kekuatan yang tidak bisa dijelaskan oleh logika perang manapun.

"Apa itu... High Human?" bisik salah satu dari mereka, napasnya tercekat. Tapi tidak ada jawaban.

Sho terlihat bagaikan jelmaan kutukan dari hutan yang mati. Api hijau menyelimuti tubuhnya, dan matanya tak lagi menyimpan kemanusiaan. Akar-akar besar masih menempel pada lengannya, menjalar seperti pembuluh darah yang hidup. Napasnya tenang, terlalu tenang.

Ia seperti makhluk lain. Seperti dewa pemburu yang sedang mengeksekusi kutukan terakhir pada makhluk-makhluk yang mengusik tanahnya.

Sho melangkah maju.

Tak berkeringat.

Tak ada ekspresi.

Tak ada getaran emosi.

“AWAS!!”

Satu Invader belum sempat bereaksi saat tubuhnya terbelah dua secara vertikal. Tebasan Bident hijau itu bahkan tak meninggalkan suara, hanya seberkas cahaya mengiris di udara.

Invader kedua mengangkat tangan, mengubah lengannya menjadi perisai keras seperti batu obsidian. Namun akar-akar di bawah tanah mencuat dengan kecepatan mustahil, melilit tubuhnya, menariknya ke bawah—dan tubuh Sho meluncur dari atas, menghujamkan Bident ke dada Invader itu hingga menembus tanah.

Aria yang terbaring di tanah hanya bisa menatap dari kejauhan, tubuhnya nyaris tak bisa bergerak. Napasnya berat, tubuhnya remuk di dalam, kekuatan ilahi Apollo kini tak mampu menopang raganya.

"A-Apa yang terjadi dengan Sho...?" gumamnya, pelan dan nyaris tak terdengar.

Tersisa satu Invader.

Invader ketiga, yang paling besar dan paling cerdas, melarikan diri. Ia tahu pertempuran ini mustahil dimenangkan.

Tapi Sho muncul tepat di depannya—dan sebelum Invader itu bisa menjerit, kepala makhluk itu melayang di udara.

Senyap.

Hening.

Kecuali napas Aria yang kini terisak pelan.

Para ksatria Vixen dan petualang Guild yang melihat dari jauh mulai bersorak. Sorak kemenangan. Mereka menang! Mereka berhasil! Sho telah menyelamatkan mereka semua!

“Menang!”

“Invader-nya musnah!”

“Kita selamat!”

Para ksatria Vixen dan para petualang dari Guild menatap kemenangan ini dengan sorak sorai dan air mata haru. Beberapa dari mereka berlutut, menangis lega di atas tanah yang masih hangat oleh darah.

Sorak-sorai, tangisan haru, dan tawa penuh lega mulai membanjiri reruntuhan tambang.

Namun—di tengah kerumunan itu... Sho tidak bergerak.

Matanya menatap kerumunan dengan pandangan tak bernyawa

Namun kelegaan itu hanya bertahan tiga detik.

Sho perlahan menoleh ke arah mereka.

Matanya kosong.

Tubuhnya penuh retakan cahaya hijau samar.

Lalu ia bergerak.

Dalam satu tarikan napas, ia sudah melesat. Tanpa ragu. Tanpa henti. Tanpa tujuan lain selain satu: menghancurkan.

Akar dari tanah mencuat, mengarah ke barisan ksatria dan petualang yang belum siap. Teriakan histeris membelah langit sore yang mulai gelap.

“APA YANG—!"

Teriakan itu tak sempat selesai. Sho sudah di depan mereka, menebas satu ksatria tanpa ragu. Darah memercik. Tubuh terlempar. Kepanikan merambat seperti wabah.

Levina yang menyaksikan ini dari atas reruntuhan tambang, membatu.

“Ini... Ini bukan yang kuprediksi dalam strategi...” Bisiknya. “Sho... Apa yang kau lakukan...?”

Aria menatap horor yang terhampar di hadapannya. Air matanya jatuh tanpa disadari.

“Sho... hentikan...”

Tapi tubuh Sho tak mendengar. Ia bukan lagi dirinya.

Tak ingin melihat lebih banyak korban, Aria meraih busur peraknya.

Tangan gemetar. Luka masih mengoyak dagingnya, tapi ia memaksakan diri.

Satu anak panah cahaya diciptakan. Lemah. Tapi cukup untuk satu tembakan.

Panah itu melesat. Tepat mengenai kepala Sho.

Boom!

Ledakan kecil. Cahaya menyebar. Tapi tak ada luka. Itu memang disengaja.

Sho menghentikan langkahnya. Perlahan menoleh ke arah Aria.

Aria menatap balik.

“Kalau kau benar-benar masih Sho... Kejar aku. Jangan sakiti mereka...”

Hening. Tak ada jawaban.

Namun tubuh Sho menghilang dalam satu denyut.

Dan dalam detik berikutnya, ia sudah berdiri tepat di depan Aria.

Aria tak sempat bereaksi.

Tak sempat menahan napas.

Tak sempat kabur.

Bident itu terayun.

Cahaya hijau menyilaukan.

Suara logam menebas udara.

Aria memejamkan mata, pasrah.

1
Cyno
wah sho parah sih
That One Reader
baiklahh udah mulai terbayang wujud dan sifat karakternya
That One Reader
hmmm... "matanya masih merah, bukan karena kekuatannya", "Kekuatan" yang dimaksud gimana yh? tapi awal ketemuan sama Aria lumayan berkesan sii
That One Reader
welp.. prolognya okee
Sandra
simingit kikik:v
Cyno
Semangat author
Cyno
Ceritanya seru
Cyno
kalau sho bisa mengubah bident sesuka hati apa nanti aria bisa mengubah bow dia juga? menarik
J. Elymorz
Huhuu shoo/Cry/
Sandra
anjay pahlawan datang tapi bapaknya Aria... :(
Sandra
aku ga tau mau komen apa tapi mau lanjut!!
Sandra
kereennn!! semangat kak!!!
J. Elymorz
sho.. hikss /Cry//Cry/
J. Elymorz
omaigatt di remake, apakah alur ceritanya lebih ke arah romance? hmmzmz/Applaud//Applaud/
J. Elymorz
lucuuuu
J. Elymorz
lucuuuu, sifat mereka berbanding terbalik
J. Elymorz
yahh hiatus/Cry/

semogaa hp nya author bisa sehat kembali, dan semoga di lancarkan kuliahnya, sehat sehat yaa author kesayangan kuu/Kiss//Kiss/
J. Elymorz
gila... hollow bener' gila
Soul Requiem
Ini Saya, Kyukasho, untuk sementara Chaotic Destiny Akan Hiatus dikaenakan HP saya rusak/Frown/
J. Elymorz: /Cry//Cry//Cry/
total 1 replies
J. Elymorz
ouh oke.. kelakuan bodoh dari krepes ternyata berguna, bagus krepes
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!