(Sequel of Cinta Gavesha)
Chandra Arlando hampir lupa bagaimana rasanya jatuh cinta. Karena rasa sakit akibat pengkhianatan dari sang kekasih, nampaknya begitu sulit untuk disembuhkan. Semenjak saat itu Chandra memilih untuk menutup hatinya pada wanita siapapun. Hingga suatu saat ia mengenal Gavesha, namun sayang gadis itu mencintai Sagara sahabatnya.
Chandra merasa frustasi, cintanya selalu bertepuk sebelah tangan. Sampai ia berpikir kalau Tuhan tidak mengizinkannya untuk jatuh cinta. Sampai pada akhirnya, Chandra dipertemukan dengan Gricella. Gadis angkuh dan sombong yang nyatanya akan menjadi rekan bisnisnya.
Seiringnya waktu, benih-benih cinta dalam diri Gricella terhadap Chandra pun tumbuh. Chandra pun tahu bahwa gadis itu mencintainya, namun karena kehadiran cinta dari masa lalu Chandra membuat Gricella terluka. Akankah Chandra meminta maaf pada Gricella dan menerima cinta gadis itu? Ataukah Chandra kembali pada cinta lamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eva Hyungsik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pesan Untuk Marvin
Saat menangis biasanya ada orang yang memilih untuk mencari tempat tenang dan sepi agar dirinya bisa menangis sepuas-puasnya tanpa ada orang yang melihat. Tetapi ada juga yang menangis dengan ditemani seseorang sembari bisa curhat tentang isi hatinya. Akan tetapi Chandra memilih hal pertama, ia lebih suka menyembunyikan tangis, rasa sedih dan kecewanya seorang diri.
Beruntung kamarnya telah dipasang pengedap suara, jadi saat Chandra sedang menangis kencang pun tidak ada yang akan tahu. Chandra mengusap air matanya dengan kasar, lalu ia kembali menatap layar ponselnya. Membalas pesan yang baru saja dikirimkan oleh Ari kepadanya.
["Jangan berikan nomorku pada siapapun, Ar! Kecuali aku yang mengizinkannya," ]
Pesan yang dikirimkan Chandra untuk Ari terkesan begitu menekankan Ari, agar mematuhi perintahnya. Chandra menghela nafasnya kasar.
Tatapannya pun kembali lurus, menatap ke arah luar jendela. Tanpa terasa tangan kanannya menyentuh dada kirinya. Dirasakannya kembali rasa nyeri yang seperti sebilah pisau yang tajam, dan menusuk hati yang tak pernah dapat terlepas lagi. Hingga menusuk ke relung hati nuraninya.
Dimana tempat nama seorang wanita yang pernah dicintainya dulu, terbingkai rapi di dalam sana. Ya, hanyalah serpihan rapuh yang dirasakan oleh hati Chandra saat ini. Teringat akan kehancuran saat itu, tak ada satupun yang peduli. Sampai pada akhirnya Chandra tidak mampu menyatukan kembali kepingan hatinya.
Siang menjelang Chandra pun turun ke bawah, ia ingin membicarakan mengenai pekerjaan pada Fedi. Kini keduanya sedang berada di ruang kerja Chandra. Ya, Chandra sengaja menyiapkan satu ruang kerja untuk mempermudahkan dirinya bekerja jika tidak bisa datang ke perusahaannya.
"Jadi aku mulai bekerja besok, Mas?" tanya Fedi.
Chandra mengangguk. "Iya, dan sepertinya besok kamu juga harus menemani aku menemui klien kita di restoran Nou Cafe and Resto," jawab Chandra.
"Oke, aku juga sudah siap!" timpal Fedi.
Chandra pun kembali menjelaskan dan mengajari Fedi apa saja yang harus dikerjakan oleh pria itu selain menjadi sekretarisnya.
Sementara itu di luar ada Marvin yang baru saja tiba di depan rumah Chandra. Pria itu menekan bel pintu rumah, dan kebetulan sekali Karina masih ada di rumah dan belum mulai belajar di kampus. Chandra baru saja mendaftarkan adiknya itu di kampus tempatnya menimba ilmu dulu.
Jadi Karina baru akan masuk ke kampus tersebut besok pagi. Karina membuka pintu dan tersenyum saat melihat kedatangan Marvin.
"Silakan masuk, Mas!" ajak Karina
Marvin pun mengangguk dan tersenyum. "Terimakasih, dimana Chandra?" tanya Marvin.
"Mas Arlan sedang di dalam ruang kerjanya bersama Fedi. Mas duduk saja, nanti aku panggilkan Mas Arlan nya!" jawab Karina.
Sebenarnya Marvin masih agak bingung dan canggung jika harus menyebut nama sahabatnya itu di depan keluarganya. Karina pun menghampiri Chandra di ruang kerjanya, tidak lama Ayu datang dari dalam kamarnya.
"Lho, ada nak Marvin. Kapan datang?" tanya Ayu.
Marvin berdiri dan menyalami tangan Ayu. "Baru saja tiba, Bu. Sekalian aku bawakan ini untuk Ibu," Marvin memberikan bungkusan yang sejak tadi dibawanya kepada Ayu.
Ayu pun tersenyum dan menerima bingkisan tersebut. "Kenapa kamu repot-repot, Vin?"
"Tidak repot, Bu. Itu titip dari Mama, Mama juga menitipkan salam untuk Ibu. Katanya Ibu disuruh main ke rumah," jawab Marvin.
"MasyaAllah, iya. Nanti Ibu bilang ke Arlan supaya ajak Ibu main ke rumah kamu. Ibu juga sangat ingin berkenalan dan berterima kasih pada kedua orang tua kamu," ujar Ayu.
Tidak lama Chandra, Karina dan Fedi pun datang bersamaan. Ayu meminta Karina buatkan minuman untuk Marvim dan yang lainnya.
"Langit gak ikut?" tanya Chandra.
Marvin menggelengkan kepalanya, "dia sedang sibuk." jawab Marvin.
Chandra mengernyitkan dahinya. "Bukankah seharusnya yang sibuk itu kamu, Vin. Kenapa jadi Langit yang sibuk mengurus pekerjaan kamu?" tanya Chandra bernada protes pada Marvin.
"Aku 'kan bos disini. Jadi, untuk apa aku pusing mikirin pekerjaan kalau nyatanya asistenku bisa mengerjakan semuanya," jawab Marvin dengan sombongnya.
Chandra membulatkan matanya, lalu ia mengambil bantal sofa dan melemparnya ke wajah Marvin. Gelak tawa Marvin berhasil membuat Chandra kesal.
"Bos kurang ajar," kesal Chandra.
"Hahaha…. makanya kalau kerja itu tahu waktu, Chan. Ini jam istirahat, Langit saat ini sedang makan siang bersama Papa." ucap Marvin yang masih tergelak tawa.
Chandra mendengus kesal, Fedi yang duduk di sebelah Chandra pun hanya bisa tersenyum dan menggelengkan kepalanya. Begitupun juga dengan Ayu.
"Bahkan dia hampir lupa kalau belum makan siang, Vin." cetus Ayu yang membuat Marvin tercengang mendengarnya.
Marvin menggelengkan kepalanya. "Benar-benar kamu itu, Chan. Apa perlu aku menyuapimu makan?" seloroh Marvin.
"Makanya cari pacar biar bisa ada yang ingetin untuk makan siang," Marvin kembali melempar bantal sofa ke arah Chandra dan berhasil ditangkap olehnya.
Chandra menjulurkan lidahnya seakan mengejek Marvin. "Kau saja tidak punya pacar, pakai memintaku untuk memacari seseorang." Chandra berdesis sinis pada Marvin.
Ayu dan Fedi tertawa mendengar perdebatan mereka. Karina yang sedang membawa minuman untuk mereka pun juga ikut tertawa.
"Jadi Mas Marvin belum punya pacar atau calon istri?" tanya Karina.
"Kenapa, kau mau mendaftar?" goda Marvin seraya memainkan kedua alisnya.
"Jangan macam-macam kau, Vin!" ancam Chandra.
Marvin menutup mulutnya dengan kedua tangannya. "Uuh, ngeri sekali pawangnya galak." Marvin dan yang lainnya kembali tergelak.
Chandra kembali mendengus kesal, lalu ia memilih mengabaikan ucapan Marvin dan mengambil minuman yang diberikan oleh Karina.
"Jadi benar, kalau kamu belum memiliki calon?" tanya Ayu pada Marvin.
Marvin menelan air yang baru saja di minumnya. "Sudah bu, tapi…"
"Tapi calonnya galak dan jutek. Sepertinya gadis itu memang gak mau sama Marvin, Bu." celetuk Chandra yang sengaja memotong ucapan Marvin.
Marvin melototkan matanya ke arah Chandra. Sementara Chandra tersenyum mengejek padanya.
"Oh, ya? Benarkah?" selidik Ayu.
Marvin bingung harus menjawab apa. "Ee, i-itu…" Marvin menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Dia memang agak galak, Bu. T-tapi, Marvin menyukainya. Agak sulit memang mendapatkan gadis itu, tapi…"
"Teruslah kejar cintanya, Nak. Perjuangkan cintamu itu untuknya, Ibu yakin gadis itu adalah gadis yang baik-baik." tutur Ayu sengaja memotong ucapan Marvin.
"Kenapa Ibu bicara begitu? Padahal 'kan Ibu tidak mengenal dan belum pernah bertemu dengan gadis itu," cetus Karina sambil mengunyah keripik kentang yang baru saja masuk kedalam mulutnya.
Ayu tersenyum. "Tanpa bertemu pun Ibu sudah tahu, kalau gadis itu sangat baik. Biasanya gadis seperti itu akan selalu setia pada pasangannya," sahut Ayu.
"Kalau aku jadi Marvin, lebih baik aku berhenti. Karena gadis itu galak dan jutek," celetuk Chandra.
[Tuk…]
"Aww," Chandra langsung memegangi kepalanya yang baru saja digetok pakai sendok oleh sang ibu.
"Kalau bicara itu yang baik. Jangan menilai seseorang sebelah mata, gadis itu terlihat galak dan jutek belum tentu 'kan hatinya juga seperti itu. Siapa tahu hatinya selembut sutra," ucap Ayu sedikit menceramahi Chandra.
"Maaf, Bu!" lirih Chandra agak merasa bersalah pada sang ibu.
Ayu menghela nafasnya sambil menggelengkan kepalanya. Lalu ia kembali menatap ke arah Marvin.
"Jika kamu mencintainya, kejarlah cintanya. Terima kekurangan gadis itu apa adanya. Ibarat kata, jika kamu menyukai langit. Maka kamu juga harus menyukai segala cuacanya. Kamu mengerti apa yang Ibu maksudkan, Vin?" jelas Ayu seraya bertanya pada Marvin.
Marvin tersenyum dan mengangguk. "Marvin paham, Bu. Terimakasih karena sudah kembali meyakinkan perasaan Marvin," jawab Marvin.