Seri Ketiga Babat Negeri Leluhur. Sebelum mulai membaca, di sarankan untuk lebih dulu membaca Babat Negeri Leluhur dan Kembalinya Pendekar Pedang Naga Api.
Sebuah petaka terjadi di Istana Daha kala satu-satunya putra Prabu Bameswara yang baru berusia 7 purnama di culik dari istana. Ini membuat seluruh Kerajaan Panjalu gempar dan para prajurit pun dikerahkan untuk menemukannya tapi sang pangeran kecil itu seperti menghilang di telan bumi.
18 tahun kemudian, dunia persilatan Tanah Jawadwipa dikejutkan dengan munculnya seorang pendekar muda yang memiliki ilmu kanuragan tinggi dan sanggup menegakkan keadilan. Sepak terjangnya begitu mengagumkan hingga namanya menjadi salah satu pendekar muda berilmu tinggi yang di segani. Keberhasilan nya menumpas Gerombolan Gagak Hitam, membuat dia bertemu dengan Prabu Bameswara.
Siapakah dia sebenarnya? Ikuti perjalanan sang pemuda dalam mencari jati dirinya yang sebenarnya dalam cerita JAYABAYA : Perjalanan Menjadi Sang Leg
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ebez, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Malam Yang Panjang
Perempuan cantik berbaju hitam itu segera memutar telapak tangan kanannya. Semburat cahaya hijau kehitaman bergulung-gulung melingkari lengan kanannya sebelum berkumpul menjadi satu di telapak tangan.
"Ajian Tapak Selaksa Racun??!!
Rupanya kau berhasil menguasai ilmu sesat itu, Durgandini. Tapi aku juga tidak akan kalah dengan mudah oleh ilmu kanuragan sesat mu", ujar Resi Wanakerta yang segera memusatkan tenaga dalam nya pada dua jari tangan kiri. Cahaya merah kuning memancar dari kedua jari tangan kiri orang tua itu yang segera di usapkan pada bilah keris berlekuk 9 di tangan kanannya. Seketika, keris pusaka itu memancarkan cahaya merah kekuningan yang menyilaukan mata.
Keduanya langsung melesat cepat layaknya terbang di atas pucuk pepohonan dengan berbekal ilmu kanuragan mereka masing-masing. Dewi Seribu Racun dengan tapak tangan kanan nya yang memancarkan cahaya hijau kehitaman dengan sekuat tenaga menghantamkan nya ke arah Resi Mpu Wanakerta. Sang kakek tua itu segera menyambut kedatangan serangan cepat lawan dengan keris pusaka yang memancarkan cahaya merah kekuningan.
Shhiuuuuttthh...
Blllaaammmmmmmm!!!
Keduanya langsung terpental ke arah yang berlawanan. Namun dengan keduanya menguasai diri dan berdiri di tempatnya. Nyi Durgandini mengusap sisa muntahan darah segar yang ada di sudut bibirnya sedangkan Resi Mpu Wanakerta nampak menotok beberapa jalan darah nya untuk menghentikan racun yang masuk ke dalam tubuh nya. Serangan Dewi Seribu Racun alias Nyi Durgandini keseluruhan memang mengandung racun keji.
Dua orang itu sebenarnya adalah bekas sepasang kekasih yang pernah begitu terkenal di dunia persilatan Tanah Jawadwipa sebagai Sepasang Camar Putih dari Lembah Kali Progo. Berada di dalam golongan pendekar putih, keduanya malang melintang di wilayah Kerajaan Panjalu wilayah tengah dan barat. Keduanya diakui sebagai penegak kebenaran yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran hingga nama mereka begitu harum di dunia persilatan Tanah Jawadwipa.
Namun semua itu berubah setelah keduanya berhasil mengalahkan pimpinan Perguruan Racun Kembang di wilayah Kadipaten Bojonegoro. Durgandini diam-diam mempelajari Kitab Seribu Racun Kembang yang mereka ambil dari pimpinan perguruan itu dan mulai melatih diri dengan segala jenis racun yang berhasil dia temukan. Saat bertarung melawan Setan Sesat Gunung Muria, mereka berdua nyaris saja celaka di tangan lelaki bertubuh gempal itu. Durgandini terpaksa mengeluarkan Ajian Tapak Selaksa Racun yang baru dia kuasai separuhnya saja. Namun itu sudah cukup untuk menghabisi nyawa Setan Sesat Gunung Muria.
Mpu Wanakerta langsung murka setelah tahu Durgandini istrinya mempelajari ilmu racun itu. Terang-terangan dia meminta Durgandini untuk menghapus ilmu sesat itu dari tubuhnya namun Durgandini menolaknya. Akibatnya sepasang suami istri itu segera bertarung dan Durgandini harus mengakui keunggulan suaminya. Dia terluka parah setelah beradu ilmu kesaktian dengan Mpu Wanakerta.
Karena tidak tega untuk membunuhnya, Mpu Wanakerta meninggalkan tempat pertarungan mereka. Membiarkan Durgandini sendirian tanpa ada yang membantu. Dia kemudian menghilang dari dunia persilatan.
Sementara itu, Durgandini ternyata masih mampu bertahan hidup. Lalu dengan semua ilmu kesaktian yang dia pelajari dari Kitab Seribu Racun Kembang, Durgandini menjelma menjadi sosok pendekar wanita yang memiliki kemampuan beladiri yang sangat tinggi. Hanya saja, entah karena pengaruh dari racun yang dia pelajari atau apa pun itu, sifat perempuan itu berubah keseluruhan. Jika sebelumnya dia adalah seorang wanita yang lemah lembut, kini dia berubah menjadi sosok pendekar yang kejam dan haus darah. Dia tak segan-segan untuk menghabisi nyawa lawannya dan menjadikannya sebagai seorang pendekar golongan hitam yang ditakuti.
Selain Ajian Tapak Selaksa Racun, Nyi Durgandini juga berhasil melatih ilmu Racun Awet Muda yang membuatnya tampil cantik layaknya gadis muda. Sebuah ilmu sesat yang mengharuskan pengguna nya untuk meminum racun binatang berbisa tiap setengah purnama sekali yang pada akhirnya si pengguna ilmu itu menjadi wanita paling beracun sejagat raya. Ini pula alasan kenapa Durgandini masih terlihat cantik seperti gadis muda padahal usianya sudah hampir 7 dasawarsa.
Satu warsa ini, Mpu Wanakerta muncul lagi di dunia persilatan. Ini karena adik seperguruan nya yang lain, Mpu Wahana dibunuh oleh Durgandini dan salah seorang murid Mpu Wahana mendatangi goa tempat pertapaan Mpu Wanakerta. Sang murid meminta bantuan kepada Mpu Wanakerta untuk membalas dendam kematian sang guru dan Mpu Wanakerta merasa bertanggungjawab terhadap semua kejahatan Durgandini hingga dia mau melakukannya.
Selama hampir dua purnama terakhir, Mpu Wanakerta terus mengumpulkan kabar keberadaan sang bekas istri. Tak mudah bagi nya untuk mencarinya karena perempuan cantik beracun itu tak memiliki kediaman yang pasti dan selalu berpindah tempat. Pertemuan mereka malam hari itu hanyalah suatu kebetulan saja, karena Mpu Wanakerta mendengar kemunculan Durgandini di wilayah Kadipaten Kembang Kuning hingga ia yang masih di Kalingga segera bergegas menuju ke wilayah selatan Kadipaten Kembang Kuning dan akhirnya bertemu dengan sosok wanita yang pernah menjadi bagian dari hidupnya.
Hihihihihihi..
"Wanakerta, saatnya kita untuk menyelesaikan hutang kebohongan yang harus kau bayar pada ku.
Setelah kematian mu, akan ku buat tulang mu menjadi gagang senjata yang sedang ku siapkan untuk mengalahkan seluruh pendekar di Tanah Jawadwipa!", tawa lirih namun menakutkan bagi siapa saja yang mendengarnya terdengar dari mulut Nyi Durgandini, sesaat sebelum cahaya hijau kemerahan tercipta di kedua telapak tangannya.
Bau yang tidak sedap dan sangat menusuk hidung mengiringi angin kencang berseliweran pada putaran cahaya hijau kemerahan di tangan Nyi Durgandini. Ini adalah ilmu kanuragan pamungkas yang menjadi milik Nyi Durgandini yang juga telah memakan banyak korban jiwa di dunia persilatan, Ajian Jagat Racun Api.
Resi Mpu Wanakerta langsung mengerahkan seluruh tenaga dalam yang dia miliki karena tahu bahwa Durgandini akan melepaskan ilmu pamungkas nya hingga dia pun bersiap menyambutnya dengan ilmu kanuragan tingkat tinggi yang dia miliki, Ajian Setra Kala Dipa. Cahaya merah kehitaman yang memancarkan aura hitam seperti hawa kematian pekat seperti di neraka tercipta di kedua telapak tangan lelaki tua itu.
Durgandini menyeringai lebar sesaat sebelum dia melesat cepat kearah bekas suaminya itu dengan menghantamkan tangan kanannya ke arah Mpu Wanakerta yang langsung memapak hantaman itu dengan tangan kanan nya yang berwarna merah kehitaman.
Dhhhuuuaaaaarrrrrrrrr!!!
Gelombang kejut besar tercipta dari benturan dua ilmu kanuragan tingkat tinggi ini. Ledakan keras nya bahkan terdengar di seluruh wilayah Kota Pakuwon Dadapan. Durgandini mencelat jauh ke belakang. Wanita cantik berbaju hitam itu langsung muntah darah segar dan tubuhnya menghantamkan tanah dengan keras.
Mpu Wanakerta pun bernasib sama. Lelaki tua itu bahkan harus berguling-guling hingga beberapa kali setelah tubuhnya terlempar jauh ke belakang dan jatuh ke tanah pinggiran Kota Pakuwon Dadapan dengan keras. Racun yang masuk ke dalam tubuh nya benar-benar telah menghancurkan sebagian besar organ dalam tubuh nya.
Nyi Durgandini sempoyongan berdiri namun setelah melihat bekas suaminya itu masih belum juga bangkit dari tempat jatuhnya, dia tersenyum lebar.
"Oh Dewi Durga sang penguasa alam semesta, hari ini kau sungguh baik pada ku. Setelah sekian tahun akhirnya hari ini tiba juga..
Hihihihihihi, Wanakerta terimalah ajal mu dengan lapang dada!!", Nyi Durgandini langsung melesat cepat kearah Mpu Wanakerta yang masih duduk bersimpuh di tanah sambil memegangi dadanya yang sesak seperti ditimpa batu besar.
Saat tangan Nyi Durgandini hampir menyentuh kepala Mpu Wanakerta, Jaka Umbaran yang sedari tadi hanya diam menonton jalannya pertarungan antara mereka, memotong pergerakan Nyi Durgandini dengan tapak tangan kanan nya yang di lambari Ajian Guntur Saketi.
Nyi Durgandini kaget bukan kepalang dan langsung merubah serangannya dengan memapak hantaman tangan Jaka Umbaran.
Blllaaammmmmmmm..!!!
Jaka Umbaran tersurut mundur hampir 3 tombak jauhnya sedangkan Nyi Durgandini terpelanting ke belakang dan menyusruk tanah. Beberapa bagian bajunya robek sementara kulit tubuhnya terlihat mengalami luka parut yang parah.
"Setan keparat!!
Kenapa kau ikut campur dalam urusan ku ha?", bentak Nyi Durgandini sembari bangkit dari tempat jatuhnya. Luka dalam yang dia derita semakin parah setelah adu ilmu kanuragan dengan Jaka Umbaran baru saja.
"Membunuh lawan yang sudah tidak berdaya, bukanlah watak seorang pendekar Nisanak.
Sudah cukup pertarungan kalian, jangan di teruskan lagi", ucap Jaka Umbaran sembari perlahan berdiri tegak dengan tubuh yang segar bugar. Sepertinya dia tidak terpengaruh sama sekali dengan hawa ajian beracun yang baru saja berbenturan dengan ilmu kesaktiannya. Ini membuat Nyi Durgandini si Dewi Seribu Racun segera sadar bahwa ia sedang berhadapan dengan lawan tangguh.
'Brengsek, bocah tengik ini rupanya memiliki kemampuan beladiri yang tinggi. Aku sudah luka parah setelah bertarung dengan Wanakerta, kalau sampai nekat bertarung melawan nya, aku pasti mati konyol. Aku harus kabur dari tempat ini', batin Durgandini.
Perlahan Nyi Durgandini memasukkan jemari tangannya ke kantong baju nya. Setelah itu, empat jemari tangannya menjepit 4 paku sebesar lidi yang berwarna hijau kehitaman pertanda mengandung semacam racun keji.
Dengan cepat, Nyi Durgandini segera mengibaskan tangan kanannya ke arah Jaka Umbaran.
Shhhrriinggg shhhrriinggg shhhrriinggg!
Serangan cepat senjata rahasia itu dengan sigap di hindari oleh Jaka Umbaran namun saat ia menoleh ke arah Nyi Durgandini, perempuan cantik berbaju hitam itu telah menghilang dari tempatnya berdiri.
"Bocah keparat! Urusan kita cukup sampai disini. Lain kali jika kita bertemu lagi, aku pasti akan mengambil nyawa mu..", sayup-sayup suara Nyi Durgandini terdengar dari kejauhan.
Setelah Nyi Durgandini berhasil kabur dari tempat itu, Jaka Umbaran segera menoleh ke arah Mpu Wanakerta yang masih duduk bersimpuh tak berdaya di tanah. Hidung dan mulutnya terlihat mengeluarkan darah kehitaman sebagai tanda bahwa dia keracunan.
Jaka Umbaran hendak bergerak menolong orang tua itu namun ia segera dicegah oleh Mpu Wanakerta.
"Percuma saja pendekar muda..
Racun nya sudah menyebar ke jantung ku. Jadi aku tidak bisa tertolong lagi. Uhukkk uhukkk uhukkk...
Sebelum aku mati, aku mohon bantuan mu untuk mencari keberadaan murid adik seperguruan ku yang bernama Prabhaswara di Paguhan", Mpu Wanakerta merogoh balik bajunya dan mengeluarkan sebuah kantong kain hitam lalu menyerahkannya kepada Jaka Umbaran.
"Tolong berikan ini kepadanya. Katakan padanya bahwa dia adalah putra Adipati Paguhan yang sesungguhnya", imbuh Resi Mpu Wanakerta. Jaka Umbaran segera menerima uluran tangan orang tua itu. Setelah memberikan benda yang selama ini selalu dibawanya, tangan Resi Mpu Wanakerta langsung terkulai. Dia tewas dengan duduk bersimpuh.
Jaka Umbaran menghela nafas panjang melihat itu semua. Dia kemudian memeriksa denyut nadi di leher sang lelaki tua untuk memastikan kematiannya. Begitu yakin bahwa orang itu sudah mati, Jaka Umbaran segera memasukkan kantong kain hitam itu ke balik bajunya. Lalu dengan sekali hentak, tangannya menghantam tanah di sampingnya.
Blllaaaaaarrr!!
Lobang sebesar kerbau sedalam satu depa tercipta di tanah. Jaka Umbaran kemudian membopong mayat Resi Mpu Wanakerta dan meletakkannya di dalam lobang tanah itu. Setelah itu, Jaka Umbaran segera mengumpulkan sisa tanah dan mengubur mayat Mpu Wanakerta. Terakhir dia menancapkan sebuah batu kali sebesar paha pada ujung kuburan itu sebelum bangkit.
"Beristirahatlah dengan tenang, Kakek tua. Aku berjanji akan melakukan apa yang kau minta", setelah berkata demikian, Jaka Umbaran melesat cepat kearah kediaman Nyi Manik Inten karena langit timur telah menjadi terang sebagai pertanda bahwa pagi akan segera tiba.
Begitu sampai di rumah Nyi Manik Inten, Jaka Umbaran segera merebahkan tubuh di dipan kayu serambi rumah dan memejamkan matanya untuk beristirahat.
"Heh kebo, bangun.. Ini sudah siang, kau tidak mau sarapan?", samar-samar Jaka Umbaran mendengar suara seorang perempuan yang sangat dia kenali. Perlahan dia membuka matanya dan melihat ke sekeliling. Terlihat Niluh Wuni sedang berdiri di samping nya.
"Aku baru saja tidur, kenapa kau bangunkan aku? Ini masih pagi..", ucap Jaka Umbaran segera.
"Hah pagi?! Pagi kepala mu..
Lihat itu matahari sudah sepenggal naik ke atas langit. Jadi tidak kita ke Perguruan Bukit Katong?", mendengar ocehan Niluh Wuni, Jaka Umbaran segera mengedarkan pandangannya ke sekeliling tempat istirahat nya dan benar saja, cuaca sedang panas-panasnya di tempat itu. Dia segera mengucek matanya sambil menguap lebar beberapa kali.
"Sudah siang begini masih saja ngantuk, memangnya semalam kau tidak tidur? Atau jangan-jangan semalam kau dengan janda cantik itu....", belum sempat Niluh Wuni menyelesaikan omongannya, jidatnya sudah lebih dulu di toyor oleh Jaka Umbaran.
"Hapus pikiran kotor mu itu, hei perempuan..
Aku tidak sebejat itu..", ucap Jaka Umbaran sembari melangkah meninggalkan serambi kediaman Nyi Manik Inten menuju ke arah gentong air di dekat tangga. Segera dia mencuci muka untuk menyegarkan kembali tubuhnya. Niluh Wuni tersenyum tipis mendengar jawaban sang pendekar muda.
Pagi itu setelah sarapan, Ki Suradipa dan Jaka Umbaran bersama dengan Niluh Wuni dan Sekar Kantil berpamitan pada Nyi Manik Inten alias Nyi Rondo Dadapan. Perempuan cantik itu terlihat gugup saat membalas omongan pamit Jaka Umbaran. Kini dalam rombongan itu bertambah lagi dengan ikutnya Nimas Citrawati dan Ajeng Ratih beserta 3 orang pengawal pribadi nya. Tujuan mereka semua terletak setengah hari perjalanan dengan berkuda dari Pakuwon Dadapan di arah barat daya. Semuanya langsung melompat ke atas kuda mereka masing-masing dan bergerak cepat menuju ke salah satu perguruan silat terbesar yang menempati urutan ke empat di tanah Jawa,
Perguruan Bukit Katong.
Manggut²...
🤣🤣