SINOPSIS
Laura Christina telah menyimpan perasaan pada Julian Mahardika sejak mereka kuliah—sepuluh tahun yang terasa seperti selamanya. Julian, pria yang membangun tembok tinggi di sekitar hatinya setelah tragedi masa lalu, tidak pernah menyadari cinta diam-diam Laura. Ketika kehidupan membawa mereka kembali bersama dalam proyek berbahaya yang melibatkan konspirasi, pengkhianatan, dan ancaman maut, Laura harus memilih: tetap bersembunyi di balik senyumnya atau mengambil risiko kehilangan segalanya—termasuk nyawanya—untuk pria yang bahkan tidak tahu dia ada.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 19: PENGORBANAN PERTAMA
Laura masih memegang wajah Julian, air matanya mengalir tanpa bisa dia hentikan. Detik-detik setelah pengakuannya terasa seperti tersuspensi di udara—berat, penuh, menunggu sesuatu pecah.
Tapi sebelum Julian bisa merespons, ponselnya berdering keras. Dia mengambilnya dengan gerakan cepat, ekspresinya berubah saat melihat layar.
"Adrian," jawabnya dengan nada waspada. Dia mendengarkan, lalu wajahnya mengeras. "Tunggu di sana. Jangan biarkan siapapun masuk ke ruang server. Aku akan ke sana sekarang."
Dia menutup telepon dan menatap Laura dengan tatapan yang penuh konflik. "Leon mengancam akan hack sistem keamanan gedung ini kalau aku gak kasih dia akses ke data proyek Henderson dalam satu jam. Dia bilang dia punya orang dalam di departemen IT kami."
Laura berdiri cepat. "Kamu gak bisa kasih dia data itu—"
"Aku tahu!" Julian menarik rambutnya dengan frustasi. "Tapi kalau dia berhasil hack sistem kami, semua data klien lain juga akan bocor. Sentinel akan hancur. Kepercayaan yang aku bangun selama lima tahun akan hilang dalam satu malam."
"Lalu apa yang mau kamu lakukan?"
Julian diam sejenak, lalu menatap Laura dengan tatapan yang membuat perutnya melilit. "Aku harus ke ruang server sekarang. Pastikan sistem aman dan cari siapa orang dalam yang kerja sama dengan Leon. Laura, kamu—"
"Aku ikut."
"Tidak." Nada Julian final. "Terlalu berbahaya. Adrian akan antar kamu pulang dengan pengawalan ekstra—"
"Julian, aku bukan anak kecil yang perlu dilindungi!" Laura menatapnya dengan tegas meski tubuhnya gemetar. "Aku terlibat dalam ini karena proyek Green Valley. Aku punya hak untuk—"
"Kamu terlibat karena aku!" Julian hampir berteriak, emosinya meledak. "Leon target kamu karena dia tahu kamu penting bagi aku! Ini bukan tentang proyek lagi, Laura. Ini tentang dia mau menghancurkan aku dengan menyakitimu!"
Kata-kata itu menggantung di udara. Laura merasakan dadanya sesak mendengar pengakuan tidak langsung Julian—bahwa dia penting. Bahwa Julian peduli lebih dari yang dia mau akui.
Tapi sebelum dia bisa merespons, Adrian masuk lagi dengan wajah lebih pucat dari sebelumnya.
"Boss, kita ada masalah lebih besar. Tim IT bilang ada breach di sistem. Seseorang berhasil masuk lima menit lalu. Mereka lagi coba trace tapi—" dia berhenti, melirik Laura dengan ragu.
"Tapi apa?" Julian mendesak dengan nada tajam.
"File yang diakses adalah database klien proyek Green Valley. Semua kontraktor, supplier, data finansial—semuanya di-copy."
Darah Laura membeku. "Data finansial? Termasuk—"
"Termasuk proposal pricing dan margin profit kami," jawab Julian, rahangnya mengeras. "Kalau Leon punya data itu, dia bisa undercut semua harga kami, sabotase supplier, bahkan blackmail kontraktor untuk gak kerja sama dengan kami."
Laura merasakan kakinya lemas. Proyek senilai ratusan miliar ini—proyek yang jadi tanggung jawabnya—sekarang terancam gagal total karena data bocor.
"Ini salah aku," bisiknya, duduk dengan berat. "Aku yang pegang semua data. Aku yang—"
"Ini bukan salahmu," potong Julian, berlutut di depannya. "Ini Leon yang—"
Ponsel Laura berdering. Nomor tidak dikenal. Dengan tangan gemetar, dia mengangkat.
"Miss Laura Christina." Suara Leon—dingin, penuh kemenangan. "Senang akhirnya bisa bicara langsung denganmu."
"Apa maumu?" Laura berusaha menjaga suaranya tetap stabil.
"Langsung to the point. Aku suka itu." Terdengar suara tawa rendah. "Simpel. Aku punya data proyek Green Valley. Data yang bisa aku pakai untuk menghancurkan proyek itu dalam seminggu. Tapi aku orang yang fair. Aku kasih kamu pilihan."
"Pilihan apa?"
"Kamu serahkan semua data backup proyek Henderson yang ada di laptop Julian—aku tahu dia punya copy encrypted di laptop pribadi—dan aku akan delete semua data Green Valley yang aku ambil tadi. Proyek kalian aman. Deal fair, kan?"
Laura melirik Julian yang sudah mendengar percakapan lewat speaker phone. Ekspresinya keras, menggeleng tegas—meminta Laura untuk menolak.
Tapi Laura tahu, kalau dia menolak, proyek Green Valley yang jadi tanggung jawabnya akan hancur. Ratusan pekerja akan kehilangan pekerjaan. Investor akan rugi. Dan semua akan jadi salahnya.
"Bagaimana aku tahu kamu akan tepati janji?" tanya Laura.
"Kamu gak tahu. Tapi apa kamu punya pilihan lain?" Leon tertawa lagi. "Aku tunggu di parkiran basement Sentinel. Satu jam. Datang sendirian dengan laptop Julian, atau proyek Green Valley-mu hancur besok pagi. Pilih."
Sambungan terputus.
Julian langsung berdiri, meraih tangan Laura. "Jangan pikirin itu. Kita gak akan kasih dia apapun. Kita akan—"
"Kita akan apa, Julian?" Laura menatapnya dengan mata berkaca-kaca. "Membiarkan proyek yang melibatkan ratusan orang hancur? Membiarkan karirku hancur karena aku gagal jaga proyek paling besar dalam hidupku?"
"Laura, data Henderson itu penting. Kalau Leon dapat data itu, dia bisa—"
"Aku tahu!" Laura berdiri, melepaskan tangan Julian. "Aku tahu itu penting. Tapi proyek Green Valley juga penting! Untuk aku, untuk perusahaanku, untuk semua orang yang terlibat!"
"Jadi kamu mau serahin data itu pada Leon?" Julian menatapnya tidak percaya. "Laura, kamu gak ngerti. Data itu bukan cuma soal proyek. Data itu punya informasi tentang jaringan keamanan nasional yang aku handle. Kalau Leon dapat itu dan jual ke orang yang salah, ini bukan cuma soal bisnis lagi. Ini soal keamanan negara!"
Laura terdiam, konflik mengoyak dadanya. Di satu sisi, proyek yang jadi tanggung jawabnya. Di sisi lain, data yang bisa membahayakan lebih banyak orang.
Tapi yang ada di pikirannya hanya satu: kalau dia tidak melakukan sesuatu, proyek Green Valley hancur. Dan semua usahanya, semua kerja kerasnya, akan sia-sia.
"Dimana laptop-mu?" tanya Laura dengan suara datar.
Julian menatapnya dengan shock. "Laura, jangan bilang kamu—"
"Dimana. Laptop. Kamu."
"Aku gak akan kasih tau!" Julian mundur, seolah takut Laura akan merebut paksa. "Laura, dengerin aku. Ini gak sebanding—"
"Gak sebanding?!" Laura berteriak, semua frustrasinya meledak. "Buat kamu mungkin iya! Buat kamu yang punya perusahaan besar, yang punya koneksi kemana-mana, satu proyek gagal gak akan menghancurkan karirmu! Tapi buat aku? Proyek ini adalah SEGALANYA! Ini proyek pertama aku jadi project leader! Ini kesempatan aku untuk buktiin aku layak! Dan sekarang semua mau hancur karena—"
Suaranya pecah. Air mata mengalir deras sekarang.
"Karena aku bodoh jatuh cinta sama kamu," bisiknya, suara penuh luka yang dalam. "Karena Leon target aku karena dia tahu aku penting buat kamu. Jadi yeah, ini semua gara-gara aku. Dan sekarang aku cuma pengen benerin apa yang bisa aku benerin."
Julian berdiri terpaku, wajahnya pucat. "Laura—"
"Laptop-mu ada di kantor, kan? Lantai ini?" Laura sudah berjalan ke pintu sebelum Julian bisa menghentikan.
"Adrian, jangan biarkan dia—" Julian berteriak, tapi Laura sudah keluar, berlari ke koridor.
Dia tahu kantor Julian ada di ujung koridor—pernah diantar ke sana sekali saat meeting. Dengan langkah cepat, dia berlari, mengabaikan teriakan Julian di belakang.
Pintu kantor Julian tidak terkunci. Laura masuk dan langsung melihat laptop silver di meja kerja. Tanpa berpikir panjang, dia meraihnya.
"LAURA!" Julian sudah di pintu, napas terengah-engah. "Jangan lakukan ini. Kumohon."
Laura memeluk laptop itu erat, air matanya mengalir. "Aku harus. Ini satu-satunya cara untuk—"
"Untuk apa? Menyelamatkan proyek dengan mengorbankan keamanan nasional?" Julian melangkah masuk, tangannya terangkat seperti mau menenangkan binatang liar. "Laura, dengerin aku. Kita bisa cari cara lain. Kita bisa—"
"Gak ada cara lain!" Laura berteriak, suaranya menggema di ruangan. "Leon kasih satu jam! Dalam satu jam, semua usaha aku akan hancur! Kamu gak ngerti, Julian. Kamu gak akan pernah ngerti gimana rasanya jadi aku!"
"Lalu jelasin!" Julian berteriak balik, frustrasi jelas di wajahnya. "Jelasin kenapa kamu rela ngorbanin keamanan negara untuk satu proyek!"
"Karena proyek ini adalah bukti aku berharga!" Laura akhirnya berteriak dengan semua yang dia punya. "Karena selama sepuluh tahun aku jadi bayangan, jadi orang yang gak dilihat, gak dianggap penting! Dan proyek ini—proyek ini adalah kesempatan aku untuk buktiin aku bukan cuma anak buah, bukan cuma assistant, bukan cuma—"
Suaranya pecah total. Dia jatuh ke lantai, masih memeluk laptop itu, tubuhnya bergetar dengan isakan yang tidak bisa dia kontrol.
"Bukan cuma gadis bodoh yang jatuh cinta sama orang yang gak pernah lihat dia," bisiknya di antara tangisan.
Julian berdiri terpaku, wajahnya hancur mendengar kata-kata Laura. Perlahan, dia berlutut di depan Laura, tapi tidak menyentuh.
"Laura," suaranya lembut sekarang, penuh dengan emosi. "Kamu salah. Kamu sangat salah."
Laura mengangkat wajahnya yang basah oleh air mata, menatap Julian dengan tatapan yang penuh luka.
"Kamu bukan bayangan," lanjut Julian, suaranya bergetar. "Kamu bukan orang yang gak penting. Kamu—kamu adalah orang yang paling aku lihat belakangan ini. Orang yang bikin aku bangun pagi pengen langsung ke kantor karena mungkin aku akan ketemu kamu. Orang yang bikin aku gak bisa fokus di meeting karena mikirin apakah kamu sudah makan siang. Orang yang—"
Dia berhenti, menarik napas dalam.
"Orang yang bikin aku mulai ngerasa lagi setelah bertahun-tahun aku mati rasa."
Laura menatapnya, dadanya sesak dengan perasaan yang terlalu besar untuk ditampung.
"Tapi aku gak bisa biarkan kamu ngorbanin dirimu untuk proyek ini," lanjut Julian. "Aku gak bisa biarkan kamu bawa laptop itu ke Leon. Karena kalau terjadi sesuatu sama kamu—kalau Leon menyakitimu—aku akan—"
Suaranya pecah. Untuk pertama kalinya, Laura melihat air mata di mata Julian.
"Aku gak akan bisa hidup dengan itu," bisiknya.
Moment itu terasa seperti dunia berhenti. Hanya ada mereka berdua, berlutut di lantai kantor Julian, dengan laptop yang bisa mengubah segalanya tergeletak di antara mereka.
Laura merasakan hatinya terkoyak dalam dua arah. Satu sisi ingin menyerah, memberikan laptop ini pada Julian, membiarkan dia yang menangani semua. Tapi sisi lain—sisi yang sudah terlalu lama merasa tidak berdaya—ingin mengambil kontrol, ingin melakukan sesuatu, walau itu artinya melawan Julian.
"Aku minta maaf," bisik Laura akhirnya, memeluk laptop lebih erat. "Tapi aku harus lakukan ini."
Dia berdiri dengan cepat, berlari ke pintu sebelum Julian bisa bereaksi. Kali ini dia lebih cepat, lebih desperate.
"LAURA!" Teriakan Julian menggema di koridor, tapi Laura tidak berhenti.
Dia berlari ke lift, menekan tombol basement berkali-kali dengan tangan gemetar. Pintu lift mulai menutup saat Julian hampir sampai—
Dan menutup sempurna, membawa Laura turun dengan jantung yang berpacu sangat kencang.
Di dalam lift yang turun itu, Laura memeluk laptop Julian erat, air matanya mengalir tanpa henti. Dia tahu ini salah. Dia tahu dia mungkin membuat kesalahan terbesar dalam hidupnya.
Tapi dia tidak bisa berhenti.
Karena untuk pertama kalinya dalam sepuluh tahun, Laura tidak akan jadi bayangan. Dia akan melakukan sesuatu—walau itu berarti mengkhianati orang yang dia cintai.