Aku hanya seorang figuran dalam kisah cintamu. Tapi tidak apa-apa, setidaknya Aku masih bisa melihatmu. Aku masih bisa menyukaimu sebanyak yang Aku mau. Tidak apa-apa Kamu tidak melihatku, tapi tetap ijinkan Aku untuk melihatmu. Karena keberadaanmu bagai oksigen dalam hidupku. (Khansa Aulia)
*Update Senin-Sabtu
*Minggu Libur 😁
^ErKa^
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ErKa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch 11 - Mengapa Begitu Mengkhawatirkanku?
Aku terhenyak mendengar pengakuan Alex. Aku benar-benar tidak menyangka perkataanku akan menyakiti Alex sebesar itu. Aku juga tidak menyangka Alex benar-benar tulus ingin berteman denganku. Aku merasa telah berbuat sangat jahat.
Tapi Aku terpaksa melakukannya. Aku tidak ingin hubungan Alex dan Diana rusak. Aku tahu Alex sangat menyukai dan menyayangi Diana. Itu sangat terlihat dari perlakuannya terhadap Diana.
Niat Alex tulus ingin berteman denganku. Tapi Aku yang tidak tulus terhadapnya. Aku memiliki perasaan kepadanya. Tidak ada pertemanan/persahabatan antara pria dan wanita itu benar adanya. Salah satunya pasti akan memiliki perasaan lebih terhadap satu sama lain dan itu adalah dirinya.
Selama beberapa waktu Alex masih menemaniku. Tubuhku mulai kaku karena berakting mati. Tangan dan kakiku mulai kesemutan. Aku sudah mulai tidak tahan lagi...
"Lex, Alex..." terdengar suara anak cowok memanggil.
"Apa Din?"
"Pak Riswan nyariin Kamu. Sudahbgiliran Kamu lari nih."
"Oh begitu..."
"Apanya yang 'oh begitu'? Yuk buruan. Keburu Pak Riswan marah-marah entar."
Alex tampak berat hati, antara ingin meninggalkanku atau tidak.
"Khansa, Aku lari dulu ya. Selesai lari Aku kesini lagi."
"Kamu kok baik banget sih sama dia? Kalau Diana tahu, bisa-bisa dia cemburu lho." Ucap teman sekelasku yang bernama Dino.
"Khansa sahabatku. Bodo lah kalau Diana cemburu. Itu artinya Diana tidak percaya dengan perasaanku. Yuk lari."
Dua orang itupun menghilang dari ruang UKS. Membuatku bisa bernapas lega. Aku berusaha duduk. Meletakan kompres di dahi dan memegang kompres di perutku.
"Sudah merasa baikan?"
"Duh!"
"Kenapa?"
"Ka-kaget Dok."
"Kaget kenapa? Kamu kira Aku cowok itu ya?"
"Ehem." Pipiku bersemu merah.
"Tapi Kamu beruntung banget lho. Siapa namamu?" Dokter Nina membaca nama yang tertera di baju seragamku. "Khansa ya... Khansa, Kamu sangat beruntung lho. Kamu bisa membuat cowok sepopuler itu sangat khawatir kepadamu. Dia pasti memiliki perasaan terhadapmu."
"Dokter bicara apa. Kami hanya berteman Dok. Tidak lebih dari itu. Alex sudah punya pacar. Dan pacarnya dewi di sekolah ini."
"Iya, iya. Aku tahu itu. Aku tahu pasangan populer itu. Tapi aneh saja. Kenapa dia sangat perhatian terhadapmu? Kamu tahu, tadi dia menggendongmu kesini. Wajahnya terlihat sangat panik dan khawatir. Dia malah menyarankan untuk menelepon ambulan karena merasa Aku tidak akan sanggup menangani penyakitmu. Sangat aneh bila melihat sikapnya yang seperti itu tapi dia tidak memiliki perasaan terhadapmu." Dokter Nina tampak berpikir.
"Tidak aneh Dok. Itu karena Kita berteman. Kekhawatirannya itu karena murni pertemanan Kita." Aku berusaha menyanggah. Mendengar dokter Nina bercerita tentang Alex membuat jantungku berdebar-debar. Alex menggendongku ke UKS? Sebegitu khawatirnyakah Alex terhadapku?
"Ya sudahlah, itu urusan kalian anak muda. Oh ya omong-omong, Kamu selalu sakit seperti ini tiap bulannya?"
"Iya Dok. Kira-kira kenapa ya Dok? Apa ada yang salah dengan siklus Saya?"
"Jaga pola makan. Jangan sering minum es. Sering-sering minum air hangat. Dan bila sakit tiba, kompres perutmu dengan air hangat. Jangan terlalu stres juga, oke?"
"Oke Dok. Kalau begitu Saya permisi dulu Dok."
"Mau kemana Kamu? Kamu tidak mau menunggu pujaan hatimu datang?"
"Ti-tidak Dok. Saya akan ke kelas." Aku harus buru-buru pergi sebelum Alex datang. Akan sangat memalukan bila bertemu dengan Alex dalam kondisi seperti ini.
Dokter Nina memberiku surat sakit. Surat itu bisa Aku gunakan untuk ijin pulang cepat. Tanpa sepengetahuan Alex Aku pulang lebih cepat hari itu. Aku memutuskan meninggalkan sepedaku di sekolah dan naik angkot.
Sebenarnya perutku tidak begitu sakit lagi. Aku bisa melanjutkan jam pelajaran berikutnya. Namun karena malu akan berhadapan dengan Alex lagi, Aku memutuskan untuk pulang cepat.
***
Begitu tiba di rumah, Aku langsung beristirahat di kamar. Ayah belum pulang kerja. Adikku juga belum pulang sekolah. Waktu masih menunjukan pukul sepuluh pagi.
Aku merebahkan diriku dan mengingat kilas balik kejadian hari itu. Otakku terus bertanya-tanya. Mengapa Alex sangat baik padaku? Mengapa Alex ingin menjadikanku sahabatnya? Apa yang telah kulakukan hingga pendapat perhatian seperti itu?
Berbagai pikiran berkecamuk dalam otakku. Pikiran-pikiran itu menghantarku ke alam mimpi. Aku tertidur sembari memimpikan Alex. Tidak ada Diana di mimpiku. Hanya Aku dan Alex. Kami berdua. Alangkah indahnya.
Tok... Tok... Tok...
Aku terbangun ketika mendengar seseorang mengetuk rumahku. Aku melihat jam di samping mejaku. Rupanya sudah pukul satu siang. Kira-kira siapa yang datang? Adikku kah?
Tanpa membersihkan wajah Aku ke ruang depan. Tanpa melihat siapa tamu yang datang, Aku langsung membuka pintu. Tampak pemuda berseragam putih abu-abu berdiri membelakangiku. Dan Aku sangat familiar dengan punggung itu. Punggung itu pasti milik Alex!!
"A-Alex?" Ucapku terbata. Seketika kerongkonganku menjadi kering. Pria muda itu berbalik. Wajahnya tampak sangat khawatir ketika menatapku.
"Khansa... Ba-bagaimana keadaanmu?"
"Ak-aku baik-baik saja..." Kami berdua tampak salah tingkah. Bingung harus berkata apa.
"Aku... Aku kesini untuk memastikan keadaanmu. Aku lihat Kamu baik-baik saja. Kalau begitu Aku pamit dulu..." Tiba-tiba Alex berbalik bersiap-siap untuk pergi.
"Al-Alex..." Panggilku dengan suara tertahan. Alex menghentikan langkah dan kembali berbalik ke arahku. Aku begitu gugup. Kulihat dia juga gugup. "Ma-mau minum teh dulu?" Mulutku tanpa sadar berkata seperti itu. Ingin rasanya Aku menampar mulutku sendiri.
"Bolehkah?" Alex memegang bagian belakang kepalanya. Sepertinya itu gerakan spontan untuk mengusir kegugupannya.
"Iya." Jawabku dengan pasrah. Aku membuka pintu lebar-lebar, mempersilakan Alex untuk memasuki rumahku yang sederhana. "Silakan duduk." Ucapku dengan sopan.
"Iya, terima kasih." Alex duduk di sofa yang bantalannya sudah robek di sana sini.
"Maaf ya, Kamu harus duduk di kursi yang tidak layak..."
"Tidak apa-apa. Ini sangat empuk dan nyaman." Alex terlihat menyamankan dirinya. Sepertinya dia ingin memberi kesan bahwa dia betah berada di rumahku.
Aku pergi ke dapur dan membuatkan Alex secangkir teh. Sembari menunggu air mendidih pikiranku berkecamuk. Berpikir hal apa yang akan Kami bahas selanjutnya? Bagaimana cara mengatasi situasi canggung seperti ini?
Tidak sampai lima menit air pun sudah mendidih. Aku menuangkan air ke dalam gelas yang di dalamnya sudah Aku masukan kantung teh. Dengan gugup Aku membawa teh tersebut ke ruang depan.
"Terima kasih." Ucap Alex ketika melihatku meletakan teh di atas meja.
"Iya, sama-sama."
Dan Kami pun kembali canggung. Aku menunduk sembari memain-mainkan tanganku. Kulihat Alex juga melakukan hal sama.
"Ba-bagaimana keadaanmu?"
"Aku baik-baik saja..."
"Apa sudah tidak sakit lagi?"
"Ti-tidak..."
"Apa tiap bulan Kamu sering mengalami hal seperti ini?"
"Iya..."
"Apa kata dokter? Apa bisa di sembuhkan?"
"Iya..." Aku asal jawab saja. Padahal sembuh tidaknya Aku belum mencobanya.
"Syukurlah kalau begitu."
"Iya..." Dan Kami kembali terdiam.
"Oh ya, kata Pak Riswan untuk lomba larimu bisa disusulkan. Ikut jadwal kelas lain."
"Iya, terima kasih..." Keheningan kembali terjadi.
"Aku... Aku minum tehnya ya..." Alex cepat-cepat mengambil teh dan menyeruputnya.
"Awas masih panas." Tapi sudah terlambat.
"Buuuhh... Awwwuh... " Alex menyemburkan teh itu dan mengipasi lidahnya yang kepanasan. Tanganku secara otomatis mengambil tissue di atas meja dan mengelap bekas teh yang berhamburan di baju dan celana Alex. Tanpa sadar Aku juga membersihkan teh di area mulut Alex.
Tiba-tiba Alex sudah tidak heboh lagi. Dia terdiam sediam-diamnya. Aku juga terdiam. Terkejut dengan sikapku sendiri. Tanganku menjadi tak bergerak, tetap berada di pipi Alex. Aku melirik Alex. Mata Kami pun bertemu dan terpaku. Tidak ada yang bergerak di antara Kami. Bagaikan terdapat medan magnet, Kami saling bertatap-tatapan dalam diam.
***
Happy Reading 🥰