NovelToon NovelToon
Dewa Pedang Asura

Dewa Pedang Asura

Status: sedang berlangsung
Genre:Budidaya dan Peningkatan
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: Tiandi

Di Benua Angin Dewa, di mana langit menjadi saksi lahir dan matinya para kultivator,
seorang pemuda fana bernama Liang Chen menapaki jalan yang tak seharusnya ditempuh manusia. Terlahir tanpa meridian, ia menolak menyerah pada takdir yang menutup gerbang menuju keabadian.

Namun di balik kehendak baja dan tekad yang murni, tersembunyi sesuatu yang lebih purba, warisan berdarah yang berdenyut di dalam jiwanya. Saat dunia menatap langit untuk mencari kekuatan, ia menemukan kekuatan itu di dalam gelap yang mengintai dirinya sendiri.

Perjalanan Liang Chen bukanlah pencarian keabadian, melainkan perjuangan melawan dirinya sendiri, antara manusia yang ingin tetap hidup… dan bayangan Asura yang menuntut untuk lahir kembali.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiandi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Saga 11: Kebangkitan Sang Pembantai

Angin pagi tak sempat tiba di Desa Hijau. Kabut abu dan sisa asap dari api malam masih menggantung di atas atap-atap yang telah runtuh, menutup rembulan yang berusaha berpijar di antara awan.

Di tengah puing-puing yang menghitam, di atas tanah yang beku oleh darah yang telah kering, berdiri seorang pemuda muda dengan mata terbuka lebar, mata yang tidak lagi mengenal dunia fana.

Liang Chen berdiri kaku, seolah waktu di sekelilingnya berhenti. Di bawah kakinya tergeletak tiga mayat preman sekte yang telah dipotong tak beraturan, seolah tangan yang melakukannya tak memahami bentuk tubuh manusia.

Udara di sekitarnya berat, pekat oleh aroma besi dan hawa panas yang tidak berasal dari api, melainkan dari dalam tubuhnya sendiri. Dari dadanya memancar kabut merah kehitaman yang berputar perlahan, membentuk pusaran seperti napas iblis yang baru saja lahir.

Tubuhnya bergetar, otot-otot di bawah kulitnya menegang sekeras batu. Luka-luka yang semestinya membuatnya terkapar kini menutup sendiri, menegaskan bahwa hukum kehidupan biasa tak lagi berlaku padanya.

Ia mengangkat kepala perlahan, matanya dua pusaran darah yang berputar tanpa pusat, tak memiliki pantulan jiwa manusia. Di pipinya, sisa air mata yang telah kering masih menempel, menjadi satu-satunya bukti bahwa yang berdiri di sana pernah memiliki hati.

Ia bergerak. Tidak dengan kehendak sadar, tidak dengan niat, melainkan karena dorongan naluriah yang terlahir dari sesuatu yang jauh lebih purba dari akal manusia.

Setiap langkahnya berat, tetapi mengandung kekuatan yang mampu mengguncang tanah. Pedang tumpul di tangannya bergetar, menjerit seperti makhluk hidup yang disiksa oleh keinginan untuk membunuh.

Liang Chen mengayunkannya ke udara tanpa arah, membelah kabut, menebas angin, seolah menantang langit itu sendiri yang telah mencabut semua yang ia miliki.

Bumi di bawahnya retak, garis hitam terbentuk dari bekas ayunan. Suara desis yang aneh muncul dari bilah pedang, dan cahaya lembut rembulan berubah menjadi merah tua ketika menyentuhnya. Dalam kegelapan itu, pedang tua itu mulai berubah.

Logamnya yang kusam berdenyut seakan memiliki nadi, meminum hawa pembantaian yang berputar di sekitar pemiliknya. Perlahan, warnanya menghitam pekat seperti batu malam, dan dari bilahnya merembes cahaya merah gelap, tipis namun mematikan, seperti api yang tumbuh di dasar jurang.

Pedang Tumpul itu kini tidak lagi menjadi milik manusia. Ia berevolusi, dilahirkan ulang oleh darah dan duka, oleh amarah dan kehilangan. Suara dengungnya berubah menjadi lirih, nyaring seperti bisikan halus yang berbunyi di telinga Liang Chen,

memanggil dengan kata yang tak dapat diucapkan oleh manusia: darah. Dalam gelombang hawa panas yang menekan udara, pedang itu berubah nama di hadapan langit, menjadi Kesunyian Malam, senjata yang akan menanggung dosa tuannya dan menegakkan jalannya sendiri di luar rahmat para dewa.

Liang Chen, yang tak lagi sadar, mengangkat pedang itu tinggi. Kilau merah di matanya bertemu dengan kilau merah di bilahnya. Sesuatu di dalam dirinya tertawa tanpa suara, tawa dingin yang mengguncang jiwa. Ia berbalik, menatap reruntuhan desa yang kini hanya tersisa abu, lalu menatap langit yang suram.

Tak ada lagi yang pantas ditebas di tempat itu. Tak ada kehidupan, hanya kenangan yang tidak bisa dibunuh. Maka ia mulai berlari, mengikuti bisikan yang datang dari dalam dadanya, bisikan yang menyeretnya menuju hutan di utara.

Langkahnya menggetarkan tanah. Setiap kali kakinya menapak, bumi di bawahnya memanas, meninggalkan bekas jejak hitam yang berasap. Rumput di sepanjang jalurnya terbakar perlahan tanpa api, dan udara di sekitarnya bergetar oleh tekanan energi yang menolak kehidupan.

Ia melesat menembus pepohonan, menebas cabang yang menghalangi jalannya, sementara dari tenggorokannya keluar suara geraman rendah, bukan suara manusia, melainkan bisikan dari sesuatu yang telah kehilangan nama.

Hutan yang biasanya penuh nyanyian serangga kini terdiam. Burung-burung malam terbang berhamburan, namun satu per satu jatuh di udara, dadanya meledak oleh tekanan aura Asura yang merambat dari tubuh Liang Chen.

Seekor kijang yang melintas membeku di tempat, matanya membesar ketakutan, dan tubuhnya roboh bahkan sebelum Liang Chen sempat mengayunkan pedang. Energi Pembantaian yang melingkupinya meresap ke setiap helai rumput, mengeringkan warna hijau menjadi abu-abu.

Dalam kesadarannya yang terkunci, Liang Chen berusaha berteriak, berusaha menghentikan dirinya, tetapi suaranya tenggelam di antara gema lain yang jauh lebih kuat. Suara itu berbicara dari dalam dadanya, dalam bahasa yang tak diajarkan oleh siapa pun.

“Kau telah kehilangan segalanya,” katanya, “dan dunia tetap diam. Apakah kau masih ingin menjadi manusia?” Liang Chen tidak menjawab, tapi sesuatu di dalam dirinya menangis, dan tangisan itu ditelan oleh tawa Asura yang semakin keras.

Ia terus berlari. Di hutan itu, di bawah langit yang tidak memiliki bintang, jejak langkahnya menjadi garis merah yang membakar bumi.

Hewan-hewan buas yang mencoba mendekat terbunuh tanpa disentuh, karena hawa yang keluar dari tubuhnya telah menjadi racun bagi kehidupan. Angin sendiri tampak enggan menyentuhnya, mengalir menjauh seperti air yang takut menyentuh bara.

Setiap pembunuhan yang tak disengaja, setiap napas yang membawa kematian, memperkuat denyut di dadanya. Energi Asura yang liar berputar di dalam tubuhnya, memaksa meridiannya terbuka lebih luas, menebarkan api ke seluruh jaringannya. Ia bukan lagi manusia yang terluka; ia adalah mesin pembunuh yang diberi bentuk manusia.

Namun, tubuh fana itu tak diciptakan untuk menahan kekuatan sebesar ini. Di setiap detik yang berlalu, pembuluh darahnya membengkak, kulitnya memucat, dan napasnya semakin berat, seolah kehidupan di dalamnya melawan sesuatu yang bukan miliknya.

Akhirnya langkahnya mulai melambat. Ia tiba di sebuah tempat sunyi di tengah hutan, di mana air terjun kecil menetes dari batu, membentuk kolam jernih yang diterangi cahaya rembulan pucat. Liang Chen berhenti di tepi air itu, bahunya naik turun, napasnya tersengal seperti binatang yang baru saja diburu.

Ia menatap permukaan air, dan yang ia lihat bukan wajahnya sendiri. Yang ia lihat adalah bayangan monster bermata merah, bibirnya meneteskan darah, dan di tangannya sebuah pedang hitam berdenyut seperti makhluk hidup.

Ia berlutut perlahan, mencelupkan tangannya ke air. Suhu dingin air itu berubah hangat seketika, lalu mendidih, menghasilkan gelembung merah yang naik ke permukaan.

Liang Chen terkejut dalam diam, tubuhnya bergetar hebat. Energi Asura di dalam dirinya berontak, menolak ketenangan yang ditawarkan air. Tubuhnya berguncang keras, lututnya menghantam tanah, dan suara gemuruh terdengar di dadanya seperti genderang perang.

Pedang Kesunyian Malam di tangannya bersinar kuat untuk terakhir kalinya malam itu. Bilahnya mengeluarkan dengung panjang yang menusuk telinga, dan kilat merah menyambar di antara pepohonan.

Burung-burung terakhir di hutan itu terbang panik, kabur dari lingkaran hitam yang kini tumbuh di sekitar Liang Chen, lingkaran yang memisahkan hidup dari mati.

Dalam lingkaran itu, Liang Chen menggigil hebat. Matanya berputar cepat, warna merahnya memudar lalu muncul lagi, seolah dua kekuatan sedang berebut atas jiwanya. Ia memegang dadanya dengan tangan kiri, darah menetes di sela jarinya.

Mulutnya bergerak, tetapi yang keluar bukan kata, hanya desahan panjang yang terdengar seperti doa dan kutukan sekaligus. Lalu, perlahan, tubuhnya berhenti bergerak. Pedang di tangannya jatuh ke tanah, menancap setengah ke dalam batu. Suaranya menembus keheningan seperti suara lonceng pemakaman.

Liang Chen roboh di samping pedang itu. Napasnya tersisa sedikit, wajahnya kaku, dan matanya masih setengah terbuka, memantulkan rembulan yang dingin. Aura merah yang tadi mengelilinginya memudar, terangkat seperti kabut yang tersapu angin. Tidak ada lagi hawa pembantaian, hanya sisa hawa panas di udara yang belum sempat lenyap.

Pagi datang perlahan. Cahaya pertama matahari menembus dedaunan dan menyentuh tubuh yang terbaring di tanah. Burung-burung baru mulai bernyanyi lagi, ragu-ragu, seperti dunia sedang mencoba melupakan mimpi buruk yang baru berlalu.

Liang Chen tetap diam, di antara darah dan tanah. Di sampingnya, Pedang Hitam Kesunyian Malam berkilau pelan di bawah sinar matahari, senjata yang baru saja lahir dari dosa dan air mata.

Angin pertama dari arah timur datang, membawa aroma lembut dari bunga liar yang tumbuh jauh di bawah bukit. Namun saat menyentuh tubuh Liang Chen, angin itu menjadi dingin, membeku di udara seolah takut mengganggu tidur sang pembantai muda.

Di atas dunia yang baru kembali tenang itu, langit memucat. Tidak ada yang tahu bahwa di hutan sunyi itu, di antara abu dan darah yang mengering, sebuah legenda baru telah mengambil napas pertamanya, legenda tentang manusia yang menolak takdir, dan karena penolakannya, memanggil warisan para dewa yang telah jatuh.

Di tempat itulah, Dewa Pedang Asura memulai jalannya yang tak bisa diputar kembali.

1
Nanik S
💪💪💪
Nanik S
Lanjutkan 👍👍👍
Nanik S
Hadir
Fairuz
semangat kak jangan lupa mampir yaa
Tiandi: terimakasih udah mampir kak
total 1 replies
[ZH_FELRIX]™√
semangat berkarya kaka 😄
[ZH_FELRIX]™√: iyah sama sama kaka baik 😄
total 2 replies
Tiandi
Halo semuanya. Saya berharap kalian tidak merasa bosan ketika membaca Dewa Pedang Asura. Bagi pembaca yang belum terbiasa dengan novel berdurasi panjang, jumlah kata setiap bab yang berkisar antara 1500–2500 mungkin terasa melelahkan, terutama karena alurnya bergerak dengan ritme yang cukup tenang. Namun, gaya penyajian tersebut memang mengikuti outline dan struktur arc cerita yang telah saya rancang sejak awal.

Jika ada yang bertanya apakah novel ini layak dibaca, jawabannya kembali pada selera masing-masing pembaca. Saya tidak bisa menyebut karya ini bagus bagi semua orang, karena setiap orang memiliki preferensi yang berbeda. Karena itu, saya menyarankan kalian untuk mencoba membaca beberapa bab terlebih dahulu, lalu tentukan sendiri apakah ingin melanjutkan atau tidak.

Jika kalian merasa ceritanya kurang sesuai dengan selera, saya sepenuhnya memahami. Namun jika kalian menikmati perjalanan cerita ini, saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas dukungan kalian.

Sekian pesan dari saya.
Selamat membaca, dan semoga kalian menikmati perjalanannya.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!