Di sebuah desa kecil di lereng Gunung Sumbing, Temanggung, hidup seorang pemuda bernama Arjuna Wicaksono. Sejak kecil, ia hanya tinggal bersama neneknya yang renta. Kedua orang tuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan saat ia masih balita, sementara kakeknya telah lama pergi tanpa kabar. Hidup Arjuna berada di titik terendah ketika ia baru saja lulus SMA. Satu per satu surat penolakan beasiswa datang, menutup harapannya untuk kuliah. Di saat yang sama, penyakit neneknya semakin parah, sementara hutang untuk biaya pengobatan terus menumpuk. Dihimpit keputusasaan, Arjuna memutuskan untuk merantau ke Jakarta, mencari pekerjaan demi mengobati sang nenek. Namun takdir berkata lain. Malam sebelum keberangkatannya, Arjuna menemukan sebuah kotak kayu berukir di balik papan lantai kamarnya yang longgar. Di dalamnya tersimpan cincin perak kuno dengan batu safir biru yang misterius - warisan dari kakeknya yang telah lama menghilang. Sejak menggunakan cincin itu, kehidupanNya berubah drastis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RivaniRian21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22 Hasil Ujian Yang Menggemparkan
Tepat pukul sepuluh pagi, lonceng istirahat di proyek berbunyi nyaring. Para pekerja meletakkan peralatan mereka, mencari tempat teduh untuk melepas lelah dan minum.
"Jun! Istirahat dulu! Sudah jam sepuluh!" teriak Pak Tarno dari kejauhan. "Cek dulu nasibmu sana!"
Jantung Arjuna berdebar begitu kencang hingga ia bisa merasakannya di tenggorokannya. Dengan tangan yang sedikit gemetar dan kotor oleh debu semen, ia mengambil ponsel bututnya dari dalam saku. Ia berjalan menjauh dari keramaian, duduk di atas tumpukan bata yang tidak terpakai, punggungnya menghadap ke teman-teman kerjanya. Ini adalah momen yang terasa sangat pribadi.
Ia membuka peramban di ponselnya, mengetik alamat situs web UNG dengan susah payah karena jarinya yang gemetar. Sinyal di lokasi proyek tidak begitu bagus. Halaman itu memuat dengan sangat lambat, setiap detik terasa seperti satu jam.
Di saat yang bersamaan, di dalam kamar kosnya yang rapi dan ber-AC, Aulia duduk di depan laptopnya. Jarinya sudah bersiap di atas touchpad. Tepat saat jam di laptopnya menunjukkan pukul 10:00, ia menekan tombol refresh. Halaman pengumuman itu langsung muncul berkat koneksi internetnya yang super cepat.
Daftar nama para penerima beasiswa terpampang dalam format PDF. Matanya yang tajam tidak mencari dari bawah. Ia langsung menatap ke baris paling atas.
PENGUMUMAN HASIL SELEKSI BEASISWA PRESTASI UNIVERSITAS NUSANTARA GLOBAL
TAHUN AKADEMIK 2025/2026
Peringkat 1: Arjuna Wicaksono - SMA Negeri 1 Sumbing Jaya, Temanggung (SKOR: 99.5)
Aulia terdiam. Matanya terpaku pada nama itu. Arjuna Wicaksono. Tetangga kosnya yang aneh, pendiam, dan bekerja sebagai kuli bangunan itu... berada di peringkat pertama. Mengalahkannya. Ia menggulir ke bawah, menemukan namanya sendiri di peringkat kedua. Sebuah pencapaian yang luar biasa, namun terasa hambar saat ini. Seulas senyum tipis yang sulit diartikan terbit di bibirnya yang indah. "Menarik," bisiknya pada keheningan kamarnya. "Sangat menarik."
Di berbagai sudut kota Jakarta dan kota-kota lain di Indonesia, ratusan calon mahasiswa lain juga melakukan hal yang sama. Di sebuah kafe, seorang gadis yang menjadi juara olimpiade fisika tingkat nasional menatap layar laptopnya dengan kecewa. Di sebuah rumah mewah, seorang pemuda yang didampingi kedua orang tuanya menghela napas berat. Mereka semua melihat nama yang sama di puncak daftar, sebuah nama yang terasa begitu asing.
"Arjuna Wicaksono? Siapa dia?" Pertanyaan itu bergema di puluhan grup obrolan dan forum calon mahasiswa baru.
Gema itu bahkan sampai ke dalam kampus UNG sendiri. Di kantin fakultas, sekelompok mahasiswa yang sedang bersantai iseng membuka pengumuman itu.
"Gila, lihat nih peringkat satunya! Nilainya nyaris sempurna!" seru salah satu dari mereka.
"Arjuna Wicaksono... SMA Sumbing Jaya? Di mana itu? Belum pernah dengar," sahut yang lain.
Tiba-tiba, salah satu mahasiswi di kelompok itu, yang beberapa hari lalu ikut menghina Arjuna di lobi rektorat, terdiam. Wajahnya pucat. "Tunggu," desisnya. "Arjuna... Wicaksono... Jangan-jangan... itu anak kampung yang kemarin kita lihat? Yang dibilang kayak pemulung itu?"
Semua temannya langsung menatapnya. Keheningan melanda meja mereka. Bayangan seorang pemuda kurus dengan kemeja lusuh yang mereka ejek habis-habisan kini terpampang di puncak daftar paling bergengsi di universitas mereka. Rasa kaget, malu, dan tidak percaya bercampur menjadi satu, terasa seperti tamparan keras yang tak terlihat.
Kembali ke lokasi proyek, halaman di ponsel Arjuna akhirnya berhasil dimuat sepenuhnya. Sebuah tautan PDF muncul. Dengan napas yang tertahan, ia membukanya.
Daftar itu muncul. Jantungnya serasa berhenti berdetak. Ia takut. Ia tidak berani melihat ke puncak. Matanya secara otomatis mencari dari bagian tengah. Namun, sebuah nama di baris paling atas, yang dicetak tebal, seolah melompat keluar dari layar dan menangkap perhatiannya.
Peringkat 1: Arjuna Wicaksono.
Arjuna membeku. Debu beterbangan di sekelilingnya. Suara bising proyek seolah lenyap. Ia membaca nama itu lagi. Dan lagi. Mencocokkan setiap huruf dengan namanya sendiri. Benar. Itu namanya.
Lalu ia melihat skor di sebelahnya. 99.5.
Sesuatu yang hangat dan basah tiba-tiba mengalir di pipinya. Setetes air mata jatuh, menciptakan jejak bersih di wajahnya yang kotor oleh debu. Disusul oleh tetesan berikutnya. Bukan air mata kesedihan, melainkan kelegaan, kebahagiaan, dan rasa syukur yang begitu meluap hingga terasa menyakitkan.
Ia berhasil.
Anak desa miskin ini berhasil.
Ia menatap tangannya yang kotor dan kapalan, lalu kembali menatap layar ponselnya. Dua dunia yang berbeda itu kini telah menjadi satu.
"Jun! Gimana hasilnya?! Dapet nggak?!" Suara Pak Tarno terdengar dari belakang, membuyarkan lamunannya.
Arjuna perlahan menoleh ke arah mandornya. Ia tidak perlu berkata apa-apa. Sebuah senyum yang paling lebar dan paling tulus yang pernah ia tunjukkan, merekah di wajahnya yang berdebu, bersinar lebih terang dari matahari siang itu.
Senyum lebar yang merekah di wajah Arjuna yang berdebu adalah jawaban yang lebih jelas dari kata-kata apa pun. Pak Tarno, yang tadinya menatap dengan cemas, kini tertawa terbahak-bahak. Tawa kerasnya yang serak terdengar di seluruh area proyek, membuat beberapa pekerja lain menoleh.
"HAHAHA! SUDAH KUDUGA!" seru Pak Tarno sambil menepuk-nepuk punggung Arjuna dengan keras, menyebarkan kepulan debu dari kemeja lusuh itu. "Selamat, Jun! Selamat! Saya tahu anak sepertimu pasti berhasil!"
Rasa bahagia yang meluap membuat Arjuna sedikit kewalahan. Ia menundukkan kepalanya, mencoba menahan air mata haru yang kembali mendesak. Di tengah kota yang asing ini, di tempat yang paling tidak ia duga, ia menemukan orang-orang yang tulus ikut berbahagia untuknya.
"Saya... saya tidak tahu harus bilang apa, Pak," ujar Arjuna dengan suara bergetar. "Terima kasih banyak. Kalau Bapak tidak memberi saya kesempatan kerja kemarin, saya..."
"Ssst! Sudah, sudah!" potong Pak Tarno, senyumnya masih mengembang. "Itu semua karena kerja keras dan tekadmu sendiri. Saya hanya membuka gerbangnya sedikit."
Arjuna terdiam sejenak, pikirannya sudah melesat jauh ke depan. Beasiswa ini memang menanggung biaya pendidikan, tapi ia masih butuh uang untuk hidup, untuk makan, untuk sewa kos. Ia tidak mau keberhasilannya hari ini membuatnya lupa diri. Ia menatap Pak Tarno dengan tatapan serius.
"Pak," katanya. "Saya mau bertanya sesuatu."
"Tanya apa? Minta naik upah?" canda Pak Tarno.
Arjuna menggeleng sambil tersenyum. "Bukan, Pak. Nanti... kalau saya sudah mulai kuliah, apa saya masih boleh ikut kerja di sini? Mungkin di hari Sabtu, atau kalau jadwal saya sedang kosong. Saya masih sangat butuh pekerjaan ini, Pak."
Pertanyaan itu membuat Pak Tarno tertegun. Ia menatap lekat pemuda di hadapannya. Kebanyakan anak seusianya, setelah mendapatkan tiket emas menuju universitas elite, mungkin akan memandang rendah pekerjaan kasar seperti ini. Tapi Arjuna justru sebaliknya. Ia memintanya, dengan penuh kerendahan hati. Rasa kagum sang mandor pada Arjuna meningkat berkali-kali lipat.
"Kamu ini memang anak aneh," kata Pak Tarno sambil menggelengkan kepala, tapi kali ini dengan senyum penuh hormat. "Sudah mau jadi mahasiswa di kampus hebat begitu masih mau jadi kuli semen?"
Ia menepuk bahu Arjuna sekali lagi, lebih mantap. "Tentu saja boleh! Kapan pun kamu butuh uang dan tidak ada jadwal kuliah, pintu proyek ini selalu terbuka lebar untukmu. Tenagamu itu lebih berharga dari sepuluh orang biasa!"
Para pekerja lain yang mendengar percakapan itu ikut tersenyum dan mengangguk-angguk setuju. Mereka tidak lagi melihat Arjuna sebagai pesaing atau anak aneh, melainkan sebagai seorang kawan yang patut dihormati.
"Sudah, sudah!" kata Pak Tarno kemudian dengan nada memerintah. "Hari ini kamu tidak usah kerja lagi! Pulang sana! Mandi, shalat, syukuran! Jangan mikirin semen lagi!"
"Tapi Pak, pekerjaan saya..."
"Pekerjaanmu hari ini adalah merayakan kemenanganmu," potong Pak Tarno tegas. "Anggap saja upah hari ini saya bayar penuh. Hadiah karena sudah membuat kita semua di sini bangga."
Arjuna ingin menolak, tapi ia tahu ia tidak bisa. Kebaikan hati pria di hadapannya terlalu besar. Ia hanya bisa mengangguk dan mengucapkan terima kasih berkali-kali.
Saat Arjuna berjalan meninggalkan lokasi proyek, ia tidak hanya membawa kabar gembira tentang beasiswanya. Ia juga membawa janji sebuah pekerjaan yang akan menopang hidupnya, membawa rasa hormat dari rekan-rekan kerjanya, dan yang terpenting, membawa bukti bahwa di tengah kerasnya rimba beton, kebaikan dan ketulusan masih bisa ditemukan di tempat yang paling tak terduga. Perasaannya ringan, masa depannya kini tampak sedikit lebih cerah.
biar nulisny makin lancar...💪