Hanasta terpaksa menikah dengan orang yg pantas menjadi ayahnya.
suami yg jahat dan pemaksaan membuatnya menderita dalam sangkar emas.
sanggupkah ia lepas dari suaminya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elara21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hanasta 10 kau yg memaksa.
Hari sudah lewat tengah malam ketika James akhirnya memarkir mobilnya di depan mansion setelah keluar sebentar untuk meredakan pikirannya.
Tapi otaknya masih panas.
Ia tidak bisa berhenti memikirkan:
Hana hilang dari kamarnya.
Penjaga lantai tiga terlalu defensif.
Dan Soni tiba-tiba bertingkah lebih tertutup dari biasanya.
Hatinya menolak berpikir buruk, tapi naluri James berteriak:
Ada yang tidak beres.
Sangat tidak beres.
James berjalan masuk lewat pintu utama.
Suasana mansion sunyi, hanya ada beberapa lampu sisi koridor yang menyala.
Saat ia menaiki tangga menuju lantai dua, ia melihat seseorang berjalan cepat dari arah lift samping.
Langkah itu tidak biasa.
Rapi, dengan sepatu kantor, tapi tergesa.
James berbalik cepat.
Dan ia melihatnya.
Viona.
Dengan wajah tegang, napas terburu-buru, dan tangannya gemetar memegang tas.
James menyipitkan mata.
“Viona?”
Viona terperanjat seolah ketahuan mencuri.
“Tu-Tuan James…”
James mendekat dua langkah.
“Kenapa kau di sini? Sekarang?
Ini jam satu pagi.”
Viona membuka mulut, tapi menutupnya lagi.
Raut wajahnya jelas: ia menyembunyikan sesuatu.
James menatapnya lama.
Tatapan yang membuat banyak orang kalah bicara.
“Viona,” katanya perlahan,
“Aku bukan anak kecil. Jangan bohong.”
Viona menunduk.
James mendekat lagi.
“Kau baru dari lantai tiga, kan?”
Wajah Viona langsung pucat.
Itu jawaban tanpa kata-kata.
James merasakan jantungnya melompat ke dadanya.
“Kenapa… kau berada di lantai tiga?”
Suaranya pelan, tapi penuh ancaman.
Viona menggeleng cepat.
“Saya… saya tidak bisa—”
“Viona.”
James memotong.
“Saya minta kau bicara.”
Viona menggigit bibir.
Tangannya mengepal, seperti sedang menahan sesuatu yang ingin meledak.
“Saya tidak bisa,” ulangnya.
James mendekat begitu dekat hingga ia bisa melihat getar di mata Viona.
“Kau tidak bisa,” James mengulang dingin, “atau kau tidak berani?”
Viona terdiam.
James merasakan rasa tidak enak yang menyesakkan dada.
Ia menarik napas tajam.
“Kau bertemu Hana?”
Viona memejamkan mata.
James menahan napas menunggu jawaban.
Satu detik…
dua detik…
tiga detik…
Dan akhirnya Viona membuka mata, suara sangat pelan:
“…Iya.”
Darah James seperti berhenti mengalir.
“Dia ada di lantai tiga?”
James menekan kata demi kata.
Viona mengangguk kecil.
James langsung melangkah menuju tangga menuju lantai tiga—
tapi Viona menahan lengannya cepat.
“Tuan James! Tidak! Jangan ke sana!”
“Apa maksudmu jangan? Dia istri ayahku!”
“Tuan—Anda tidak mengerti! Masuk ke lantai tiga tanpa izin Soni… itu sangat berbahaya!”
“Aku tidak peduli.”
“Tuan James!” suara Viona pecah.
“Hana… tidak bebas. Dia tidak boleh ditemui siapa pun. Bahkan oleh Anda.”
James menegang.
Seluruh dunia seperti runtuh dan menjadi satu titik kecil yang menghimpit dadanya.
“Tidak boleh ditemui… oleh aku?”
James bertanya dengan suara nyaris tidak terdengar.
Viona menatapnya, dan di mata wanita itu ada rasa takut yang sangat nyata.
“Ya… Tuan Soni melarang.”
James membeku.
Kata-kata itu lebih menyakitkan daripada pukulan.
“Kenapa?”
Suaranya pelan… namun penuh luka.
Viona menunduk.
“Tuan… saya tidak bisa bilang.”
James menarik napas berat, matanya gelap.
“Kalau begitu katakan satu hal…”
Ia menahan bahunya agar tidak bergetar.
“Hana… dia baik-baik saja?”
Viona menutup mulutnya—
tapi air matanya turun.
James membeku.
Tubuhnya seperti disambar listrik.
“Viona…”
Suaranya bergetar.
“Kau tidak perlu bilang apa pun. Tangismu sudah cukup.”
James menatap lantai sebentar, mencoba mengendalikan amarah yang melonjak.
Kemudian ia mengangkat wajah.
Wajah seorang pria yang siap berperang.
“Kalau ayahku mengurung Hana…”
James menggeram pelan, seperti binatang buas yang dilepaskan.
“…maka aku akan memaksa pintunya terbuka.”
Viona memegang lengannya lagi, lebih kuat dari sebelumnya.
“Jangan lakukan hal bodoh, Tuan… Soni akan—”
James melepaskan tangan Viona dengan lembut, tetapi tegas.
“Viona,” katanya,
“Aku bukan lagi anak kecil yang bisa dia kendalikan.”
Ia berbalik menuju tangga
—ke arah lantai tiga
—ke arah bahaya
—ke arah Soni
Namun sebelum ia melangkah lebih jauh, Viona memanggilnya lirih:
“Tuan James…”
James menoleh.
“…kalau Anda benar-benar ingin menyelamatkan Hana…”
Viona menatapnya penuh ketakutan bercampur harapan,
“…Anda harus mengetahui apa yang terjadi dua tahun lalu.”
James membeku.
Viona melanjutkan dengan suara pecah:
“Hana… bukan penyebabnya.
Tapi dia terlibat.
Tanpa sengaja.
Tanpa mengerti.”
Jantung James seperti diremas.
“Apa maksudmu?”
bisiknya.
Viona menggeleng cepat.
“Aku tidak bisa bicara lagi…”
Ia menatap sekeliling dengan takut,
“…Soni mungkin sedang mengawasi.”
James menatap Viona lama.
Lalu berkata sangat pelan:
“Terima kasih… sudah menjaga Hana sementara aku tidak bisa.”
Viona menunduk, air matanya jatuh.
James menoleh ke ruangan lantai tiga.
“Sekarang…”
Suaranya menjadi dingin.
“…giliranku.”
Dan ia melangkah.
Ke arah lantai tiga.
Ke arah pintu yang ditutup rapat.
Ke arah kebenaran yang siap menghancurkan semuanya.
Langkah James bergema keras di koridor menuju lantai tiga.
Hatinya berdebar cepat—antara kemarahan dan rasa takut atas apa yang mungkin ia temukan.
Lampu-lampu di sepanjang lorong hanya setengah menyala, menciptakan bayangan panjang yang bergerak saat ia berjalan.
Udara di lantai tiga terasa lebih dingin dibanding lantai-lantai lain, seperti ruangan itu sendiri menolak manusia masuk.
Di ujung koridor,
dua penjaga berdiri kaku di depan pintu besar kayu gelap—
pintu tempat Hana ada di baliknya.
James menatap pintu itu seperti menatap musuh lamanya.
Ia mengambil langkah maju.
Namun sebelum ia mendekati para penjaga—
sebuah suara muncul dari belakangnya.
Tenang.
Dalam.
Dingin.
“Jam segini kau masih berkeliaran?”
James langsung membeku.
Ia perlahan menoleh.
Dan di sana, berdiri hanya beberapa meter darinya,
dengan tangan diselipkan di saku celana dan wajah tak membaca emosi,
Soni.
Mata mereka bertemu.
Ayah dan anak.
Dua generasi.
Satu garis darah.
Dua jiwa yang tidak pernah cocok.
Soni berjalan mendekat perlahan-lahan, seperti seseorang yang sudah terbiasa mengendalikan ruangan hanya dengan kehadirannya.
“James,” ucapnya pelan,
“Apa yang kau lakukan di sini?”
James menggenggam kedua tangannya.
Tidak ingin langsung meledak, namun juga tidak ingin mundur.
“Aku hanya bertanya sesuatu pada pelayan.”
“Oh?”
Alis Soni terangkat sedikit.
“Dan entah bagaimana, ‘bertanya sesuatu’ membawamu ke lantai tiga?”
James tidak menjawab.
Soni mendekat satu langkah lagi.
Tatapannya turun ke arah sepatu James, lalu naik ke wajahnya.
Menilai.
Menimbang.
“Kau mencari seseorang?”
James tetap diam.
“Hm?” Soni memiringkan kepala.
“Siapa yang kau pikir berada di lantai ini?”
James menahan napas.
Ia tidak ingin bicara dulu—belum, bukan saat ini.
Tapi Soni menatapnya terlalu lama.
Terlalu dalam.
Terlalu tahu.
“James…” ucap Soni dengan nada seperti berbicara pada anak kecil keras kepala,
“…kau sedang mencari Hana, bukan?”
Kata itu memecahkan udara.
James tersentak.
Soni tersenyum kecil—sebuah senyum yang membuat bulu kuduk berdiri.
“Tentu saja,” katanya sambil berputar sedikit,
“kau selalu punya kelemahan terhadap hal-hal yang manis dan rapuh.”
James merasakan jantungnya menghantam rusuk.
“Di mana Hana?”
Ia akhirnya bicara.
Suaranya rendah, tapi penuh kemarahan yang siap meledak.
Soni mengangkat bahu santai.
“Di tempat yang seharusnya dia berada.”
“Di LANTAI TIGA?”
James meninggikan suara, menahan diri agar tidak langsung berteriak.
Soni tetap tenang.
Sangat tenang.
“Ya,” jawab Soni datar,
“karena dia istriku.”
James mengepalkan tangan.
“Dia juga keluarga aku.”
“Tidak,” Soni menggeleng.
“Dia istriku.
Dan di rumah ini, itu berarti dia berada di bawah kekuasaanku.”
James maju satu langkah.
“Kalau kau menyakiti—”
“Kalau aku apa?”
Soni memotong cepat.
Nada suaranya turun, membeku.
“Apa yang bisa kau lakukan, James?”
James mematung.
Soni mendekat.
Sangat dekat, hingga jarak mereka hanya beberapa sentimeter.
Kedua penjaga langsung bersiaga.
“Nak,” bisik Soni,
“kau masuk ke area ini tanpa izin.
Itu sendiri sudah pelanggaran.”
“Aku tidak butuh izin untuk bertemu HAN—”
“Kau butuh.”
Soni menatapnya tajam,
“Karena dia bukan lagi gadis dari masa kecilmu.
Dia bukan milikmu.”
James menegang.
Soni menambahkan dengan suara rendah yang nyaris terdengar seperti racun:
“Dan Hana memilih untuk tetap… di sisiku.”
James menatap ayahnya dengan tatapan yang mencampur amarah, sakit hati, dan ketidakpercayaan.
“Dia memilih karena KAU menakut-nakutinya,” ujar James keras.
“Karena KAU memaksanya.”
Soni tersenyum tipis.
Sebentuk senyum yang tidak menunjukkan rasa bersalah sama sekali.
“Begitukah menurutmu?”
James hampir meledak.
Soni mendekatkan wajahnya.
“Kau pikir Hana aman bersamamu?”
bisiknya dingin.
“Kau pikir kau bisa lindungi dia… dari masa lalunya?”
Mata James melebar.
“Apa yang kau lakukan pada Hana?”
James bertanya, suaranya pecah.
Soni mengangkat alis, seolah itu pertanyaan paling bodoh di dunia.
“Aku?”
Ia tertawa kecil.
“Hana-lah yang melakukan sesuatu.”
James terpaku.
“Apa maksudmu?”
Soni melangkah ke samping, menatap pintu besar lantai tiga itu.
“Ada alasan dia ku simpan di sini,” ujarnya.
“Alasan yang akan menghancurkanmu kalau kau tahu.”
James merasakan napasnya terhenti.
“Ayah,” ucapnya perlahan,
“jangan bermain-main denganku.”
“Aku tidak bermain.”
Soni menoleh.
“Justru kau yang sedang masuk ke permainan yang kau tidak mengerti.”
James maju lagi, marah memuncak.
“Aku ingin bertemu Hana. Sekarang.”
Soni tersenyum.
“Aku tidak izinkan.”
Kata-kata itu seperti pukulan keras.
Para penjaga tetap membeku di tempat.
Mereka menunggu perintah.
James menatap pintu.
Satu langkah lagi ia bisa memaksa membukanya.
Tapi Soni berkata pelan:
“Kalau kau menyentuh pintu itu… kita bukan lagi ayah dan anak.
Kau musuhku.”
Keheningan panjang.
James menggenggam tangannya sampai buku jarinya memutih.
Tapi ia tidak mundur.
Tidak kali ini.
“Aku akan membukanya suatu hari,” ujar James pelan.
“Entah kau izinkan… atau tidak.”
Soni menatapnya lama, lalu tersenyum.
“Kalau begitu…” ucapnya pelan,
“…selamat datang di perangmu sendiri.”
Kemudian Soni menoleh ke penjaga.
“Antar Tuan James keluar.
Dengan sopan.”
James mendengus, menepis tangan penjaga, dan berjalan turun sendiri.
Namun sebelum ia mencapai ujung tangga, ia menatap pintu lantai tiga itu sekali lagi.
Dengan tekad yang jauh lebih keras dari sebelumnya.
Hana… aku akan keluarkan kau dari sana.
Aku janji.
Setelah konfrontasi dengan James di luar ruangan, suara-suara di koridor akhirnya mereda.
Hana mendengar semuanya dari balik pintu:
Nada rendah James yang menahan marah.
Suara tenang Soni yang tidak pernah berubah.
Langkah penjaga yang bergerak mengikuti perintah.
Kemudian…
Sunyi.
Ruangan itu terasa lebih dingin meski lampu tidak berubah.
Hana duduk di sofa, memeluk lutut, tubuhnya masih basah oleh air mata yang belum sempat ia hapus.
Untuk beberapa detik, ia menutup telinga.
Menahan bisingnya rasa bersalah.
James ada di sini… mencari aku.
Dia mendengar aku menangis?
Dia tahu aku tidak di kamar?
Air mata Hana mengalir lagi.
“Maafkan aku…” bisiknya lirih,
“…aku tidak bisa menemui kamu… aku tidak bisa…”
Ia menunduk, bahunya bergetar.
Ia bahkan tidak berani bergerak dari sofa, takut suara kecil saja bisa memicu Soni masuk.
Beberapa menit berlalu.
Keheningan menekan.
Lalu suara itu terdengar.
Tok.
Tok.
Tok.
Langkah sepatu Soni.
Tidak tergesa.
Tidak berat.
Tapi mantap.
Penuh kendali.
Setiap langkah mendekat membuat jantung Hana memukul dinding dadanya lebih keras.
Langkah itu berhenti tepat di depan pintu.
Hana tersentak.
Ia buru-buru duduk tegak, menyapu air mata dengan telapak tangan yang masih gemetar, berusaha terlihat “baik-baik saja.”
Hawa di luar pintu terasa berubah.
Seolah seluruh ruangan menahan napas.
Lalu—
klik…
Gagang pintu berputar pelan.
Pintu terbuka.
Soni masuk tanpa bicara.
Ia menutup pintu di belakangnya.
Klik.
Suara kunci itu terdengar jauh lebih keras daripada biasanya.
Soni berdiri memunggungi Hana selama beberapa detik.
Diam.
Tidak bergerak.
Hana bisa merasakan ketegangan merayap di kulitnya.
Ketika Soni akhirnya berbalik, tatapan matanya berbeda.
Bukan marah.
Bukan kesal.
Tetapi…
curiga. Dingin. Menyelidiki.
“Jadi,” katanya perlahan,
“kau mendengar semuanya?”
Hana menelan ludah.
“Sa-saya tidak mendengar banyak, Tuan…”
Soni berjalan mendekat dengan langkah yang sangat teratur.
Tidak cepat, tidak lambat.
Tapi setiap langkah terasa seperti menghancurkan ruang aman Hana sedikit demi sedikit.
“James menantangku,” katanya.
“Karena kau.”
Hana menggeleng cepat, matanya melebar.
“Saya tidak bilang apa-apa! Saya—”
“Diam.”
Soni memotong pelan, namun tegas seperti batu.
Ia duduk di kursi di hadapan Hana, tubuhnya condong ke depan, siku disandarkan di lutut.
Tatapannya lurus, mengunci Hana seperti tidak memberikan ruang untuk bernapas.
“Hana…”
suara Soni merendah, hampir seperti berbisik,
“kenapa dia begitu ingin bertemu denganmu?”
Hana menggigit bibir.
“Saya tidak tahu…”
“Tidak tahu?” Soni menaikkan alis.
“Kau yakin?”
Hana mengangguk cepat.
“Y-ya, Tuan…”
Soni memandangnya lama.
Sangat lama.
Seolah mencari kebohongan di bagian wajah mana pun.
Setelah beberapa detik, ia berbicara lagi.
“Kau menangis.”
Hana terkejut.
Ia buru-buru menyentuh pipinya—masih sedikit basah.
“Saya… saya hanya cemas…”
“Cemas?” Soni mengulang pelan.
“Karena apa?”
Hana tidak bisa menjawab.
Soni menyandarkan punggung ke kursi, menatap langit-langit sebentar, lalu kembali ke Hana.
“Lucu,” katanya.
“Setiap James muncul… kau menangis.”
Hana menunduk, tubuhnya mulai gemetar.
“Saya tidak… tidak bermaksud…”
“Dan anehnya lagi…” Soni berdiri, tangannya diselipkan ke saku,
“…setiap Viona muncul… kau terlihat hidup.”
Hana langsung membeku.
Soni berjalan mengelilingi sofa seperti seorang jaksa yang menginterogasi terdakwa.
“Apa yang dia katakan padamu?”
suara Soni turun seperti bara panas.
“Tidak… tidak ada…” Hana mencoba menyembunyikan ketakutannya,
“…saya hanya… takut.”
“Takut apa?” Soni bertanya, mendekat lagi.
“Takut aku?
Atau takut rahasiamu terbongkar?”
Hana langsung gemetar hebat.
Soni mendecak pelan.
“Aku benar. Kau ketakutan karena masa lalu.”
Ia mendekat hingga Hana bisa merasakan napasnya.
“Dengar aku baik-baik, Hana.”
Soni menatapnya tanpa berkedip.
“Aku tahu James mencurigaiku.”
“Ia akan terus datang.”
“Ia akan menggali.”
Hana menutup mulutnya, menahan suara tangis.
“Dan kalau dia menemukan sesuatu…”
Soni menekankan setiap kata,
“…dia akan menemukanmu.”
Hana menatapnya, wajahnya pucat, tubuhnya membeku.
“Kalau dia tahu kau ada di TKP ibunya…”
suara Soni turun lebih rendah,
“…kau pikir dia akan memelukmu?”
“Atau dia akan menghancurkanmu?”
Hana gemetar, air matanya pecah lagi.
“Tuan… tolong… jangan…”
Soni akhirnya berdiri tegak, wajah dingin tak tergoyahkan.
“Hana.”
Ia berkata dengan nada final,
“Aku akan memastikan James tidak menyentuh pintu ini lagi.
Dengan cara apa pun.”
Hana menutup wajahnya.
Soni melanjutkan:
“Dan kau…”
ia menatap tajam,
“…tidak akan menangis lagi karena laki-laki itu.”
Kalimat itu seperti palu terakhir.
Hana hanya bisa mengangguk, tercekik oleh ketakutan dan rasa bersalah.
Soni merapat ke pintu, memegang gagangnya, lalu berkata tanpa menoleh:
“Bersihkan wajahmu.
Tidur.
Besok kita bicara tentang… kesetiaan.”
Klik.
Pintu tertutup.
Dan Hana kembali sendirian—
dalam ruangan yang terasa makin sempit,
mendengar gema langkah Soni menghilang di balik kegelapan.
Maaf jika typo masih bertebaran.
By : Eva
16-11-2025