Hai hai ... hadir nih spin offl dari "mendadak papa" kali ini aku jadiin Kevin sebagai tokoh utama. Selamat membaca
Gara-gara nggak mau dijodohin sama cowok sok ganteng bernama Sion, Aruntala nekat narik tangan seorang pelayan café dan ngumumin ke seluruh dunia—
“Ini pacar gue! Kami udah mau tunangan!”
Masalahnya... cowok itu cuma menatap datar.
Diam.
Nggak nyaut sepatah kata pun.
Dan Aruntala baru sadar, pria itu tuna wicara. 😭
Malu? Jelas.
Tapi sialnya, malah keterusan.
Aruntala balik lagi ke café itu, memohon ke si barista pendiam buat pura-pura jadi pacarnya biar Mama tirinya nggak bisa menjodohkannya lagi.
Cowok itu akhirnya setuju — karena nggak tahan sama ocehan Aruntala yang nggak ada titik koma.
Yang Aruntala nggak tahu, pria random itu bukan sekadar barista biasa...
Dia adalah Kevin Prasetyo, pemilik café sekaligus pemegang saham besar di perusahaan ayahnya sendiri!
Berawal dari kebohongan kecil, hubungan mereka pelan-pelan tumbuh jadi sesuatu yang lebih nyata
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Realrf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pelukan Pertama
Pertanyaan berbisa itu menggantung di udara, seberat lampu kristal di atas kepala mereka. Semua mata tertuju pada Kevin, menunggu. Menunggu sebuah jawaban yang mereka tahu tidak akan datang, dan justru itulah inti dari kekejaman Nadira. Ia tidak bertanya untuk mendengar jawaban; ia bertanya untuk menyorot keheningan Kevin, mengubahnya dari sebuah misteri menjadi sebuah kecacatan di bawah lampu sorot yang terang benderang.
Wajah Aruntala memanas. Amarah yang baru saja ia ledakkan pada ibu-ibu sosialita itu kembali mendidih, siap meluap. Ia membuka mulut, hendak melontarkan makian paling tajam yang bisa ia rangkai, tetapi sebuah tangan yang dingin dan kuat menggenggam lengannya, menghentikannya.
Kevin.
Ia tidak menatap Nadira. Ia bahkan tidak melirik para tamu yang kini berbisik-bisik seperti sekumpulan lebah yang terganggu. Matanya hanya tertuju pada Aru, sebuah tatapan yang dalam dan menenangkan, seolah berkata, Bukan di sini. Bukan sekarang. Mereka tidak layak mendapatkan kebisinganmu.
Tanpa sepatah kata, tentu saja, dan tanpa satu pun gestur pembelaan diri, Kevin berbalik. Dengan genggaman yang tak terlepaskan di lengan Aru, ia mulai berjalan, membelah kerumunan yang secara refleks memberinya jalan. Ia tidak berjalan cepat atau panik.
Langkahnya terukur dan penuh otoritas, seolah ia bukan sedang melarikan diri, melainkan sedang meninggalkan sebuah pesta yang membosankan. Setiap langkahnya adalah sebuah penghinaan bisu bagi Nadira, sebuah pernyataan bahwa permainannya terlalu rendahan untuk ia mainkan.
Aruntala hanya bisa mengikuti, terseret dalam arus ketenangan Kevin. Ia bisa merasakan tatapan ayahnya di punggungnya, penuh kebingungan dan kekecewaan. Ia bisa mendengar tawa kemenangan Sion yang tertahan. Tapi semua itu meredup, teredam oleh detak jantungnya sendiri dan kehangatan tangan Kevin yang melingkupi lengannya.
Kevin membawanya melewati lobi yang ramai, menuju sebuah pintu kaca besar yang mengarah ke taman hotel. Begitu pintu itu tertutup di belakang mereka, hiruk pikuk pesta itu lenyap, digantikan oleh suara gemericik air mancur dan desau angin malam yang sejuk.
Mereka berdiri di sebuah teras yang sepi, diterangi oleh cahaya remang dari lampu-lampu taman. Di kejauhan, gemerlap lampu kota terbentang seperti permadani bintang yang jatuh ke bumi.
Aru melepaskan napas yang sedari tadi ia tahan. Adrenalin yang memompanya kini surut, meninggalkan rasa lelah yang luar biasa di sekujur tubuhnya.
“Gila,” desisnya.
“Aku benci mereka. Aku benci perempuan itu.” Ia menatap Kevin, matanya berkaca-kaca karena marah dan frustrasi.
“Kamu lihat, kan? Itu yang dia mau. Dia mau bikin kamu kelihatan lemah, kelihatan... rusak, di depan semua orang.”
Kevin tidak merespons. Ia hanya melepaskan genggamannya di lengan Ala, lalu dengan gerakan yang sangat lembut, ia menangkup kedua pipi gadis itu. Ibu jarinya mengusap jejak air mata yang hampir jatuh.
“Gue capek, Kev,” bisik Ala, suaranya pecah.
“Gue capek harus jadi berisik terus buat ngelindungin diri. Gue capek harus teriak-teriak cuma biar didengerin. Tadi di dalem... gue ngerasa kayak... kayak monster.”
Mendengar itu, Kevin menarik Aruntala ke dalam pelukannya. Bukan pelukan canggung atau ragu-ragu. Pelukan itu erat dan kokoh, seolah ia adalah satu-satunya pilar yang tersisa di dunia Ala yang sedang runtuh.
Aruntala terkesiap sesaat, tubuhnya menegang, sebelum akhirnya ia menyerah. Ia menyandarkan kepalanya di dada bidang Kevin, menghirup aroma samar parfum mahal dan kopi yang entah kenapa selalu melekat pada pria itu.
Di sanalah, dalam keheningan yang nyaman itu, bendungan Aruntala akhirnya jebol.
“Waktu nyokap gue pergi,” ia mulai bicara, suaranya teredam oleh setelan jas Kevin.
“Gue masih kecil. Gue inget banget hari itu. Dia cuma bilang mau pergi sebentar, beli es krim. Tapi dia nggak pernah balik.”
Kevin hanya diam, tangannya yang besar mengusap punggung Aru dengan gerakan memutar yang menenangkan.
“Hal yang paling gue inget dari hari itu bukan pintu yang ketutup,” lanjut Ala.
“Tapi suara setelahnya. Sunyi. Sepi banget, Kev. Sepi yang bikin telinga sakit. Ayah ngurung diri di ruang kerja, dan gue... gue sendirian di ruang TV yang gede banget. Gue takut. Gue takut sama sepi itu.”
Aruntala menarik napas dalam-dalam, getarannya terasa di dada Kevin.
“Jadi, gue nyalain TV. Kenceng banget. Terus gue nyalain radio di kamar. Terus gue nyanyi-nyanyi sendiri sekenceng-kencengnya. Gue lakuin apa aja biar rumah itu nggak sepi lagi. Biar gue nggak ngerasa ditinggalin.”
Aruntala sedikit menjauhkan wajahnya untuk menatap Kevin.
“Sejak saat itu, gue benci sepi. Buat gue, sepi itu artinya sendirian. Sepi itu artinya nggak ada yang peduli. Makanya gue selalu berisik. Berisik itu tameng gue. Kalau gue berisik, orang-orang bakal liat gue, dan mereka nggak akan bisa ninggalin gue gitu aja.”
Kevin menatapnya lekat, matanya yang gelap memantulkan cahaya kota dan kesedihan Aru. Ia merogoh saku jasnya dengan satu tangan, mengeluarkan ponselnya. Dengan gerakan cepat, ia mengetik sesuatu.
Aku di sini.
Dua kata sederhana itu membuat Ala kembali terisak.
“Aku tahu,” bisiknya. “Tapi aku nggak ngerti. Kenapa... kenapa sama kamu beda? Keheningan kamu... harusnya bikin aku takut. Harusnya bikin aku panik. Tapi... malah bikin aku tenang.”
Kevin mengetik lagi, kali ini lebih lama. Ia menunjukkannya pada Ala.
Karena keheninganku bukan berarti aku pergi. Keheninganku berarti aku mendengarkan.
Aru membaca kalimat itu berulang kali. Mendengarkan. Selama ini, orang-orang hanya mendengar kebisingannya, lalu menghakiminya, menyuruhnya diam, atau menganggapnya aneh. Tapi Kevin... Kevin mendengarkan apa yang ada di balik kebisingan itu.
“Kamu... dengerin aku?” tanyanya, suaranya nyaris tak terdengar.
Kevin mengangguk. Ia kemudian mengetik satu kalimat terakhir, sebuah kalimat yang merangkum seluruh hidup Aruntala dalam satu baris tulisan yang rapi.
Kebisingan adalah teriakan minta tolong. Kamu tidak sendirian lagi, Aru.
Air mata yang sedari tadi Ala tahan akhirnya tumpah ruah. Bukan air mata kemarahan atau kesedihan, melainkan air mata kelegaan. Seolah beban yang ia pikul di pundaknya sejak kecil tiba-tiba diangkat. Ia merasa dilihat. Ia merasa dimengerti. Di tengah keheningan seorang pria yang ia kira cacat, ia justru menemukan bagian dirinya yang paling utuh.
Ia menatap wajah Kevin, garis rahangnya yang tegas, hidungnya yang mancung, bibirnya yang selalu terkatup rapat. Untuk pertama kalinya, ia tidak melihat seorang tuna wicara. Ia melihat seorang pria yang memilih diam karena dunianya sendiri pasti sama berisiknya dengan dunia Aru, mungkin dengan cara yang berbeda.
Rasa ingin tahu yang selama ini ia tekan kini muncul ke permukaan, bukan didasari oleh kecurigaan, melainkan oleh empati yang tulus.
“Sekarang gantian,” bisik Aru, tangannya terulur untuk menyentuh rahang Kevin.
“Kenapa kamu, Kev? Kenapa kamu milih diem? Apa yang bikin kamu... kayak gini?”
Pertanyaan itu, yang dilontarkan dengan kelembutan, menghantam Kevin lebih keras daripada tuduhan Nadira. Tubuhnya menegang dalam pelukan Aru. Sebuah kilatan rasa sakit yang begitu purba melintas di matanya, begitu cepat hingga Aru nyaris tidak melihatnya. Tangannya yang tadi mengusap punggung Aru kini berhenti, terkepal erat.
Kevin tidak meraih ponselnya. Ia tidak mengeluarkan bloknotnya.
Sebagai gantinya, dengan gerakan yang lambat dan terasa menyakitkan, Kevin mengambil tangan Ala yang menyentuh pipinya. Ala mengira Kevin akan menyingkirkannya, tetapi pria itu justru menggenggamnya erat. Ia menatap lurus ke mata Aruntala, sebuah permohonan bisu untuk tidak lari.
Lalu, ia membawa tangan Aru ke lehernya, meletakkan telapak tangan gadis itu tepat di atas jakunnya. Kulitnya terasa hangat di bawah sentuhan Ala yang dingin.
Dunia seolah berhenti berputar. Aru bisa merasakan getaran samar di tenggorokan Kevin saat pria itu menelan ludah. Matanya tidak pernah lepas dari mata Aru, seolah mencari kekuatan di sana.
Kemudian, di tengah keheningan malam dan disaksikan oleh ribuan lampu kota, bibir Kevin yang selalu terkatup rapat itu perlahan terbuka.