Hanasta terpaksa menikah dengan orang yg pantas menjadi ayahnya.
suami yg jahat dan pemaksaan membuatnya menderita dalam sangkar emas.
sanggupkah ia lepas dari suaminya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elara21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hanasta 11 siswa sma
Hana tertidur bukan karena lelah,
tapi karena tubuhnya sudah tidak mampu menangis lebih lama.
Sofa sempit itu keras di punggungnya,
dan udara dalam ruangan Soni terasa begitu pengap,
seolah setiap molekul udara membawa rasa takut.
Matanya terpejam, tapi pikirannya…
tidak pernah benar-benar tidur.
Dan di tengah malam yang sunyi itu,
gelombang pertama mimpi buruk datang.
Dalam mimpinya — Hana kembali ke malam itu.
Langit gelap.
Hujan turun bagaikan jarum.
Jalanan memantulkan lampu-lampu kendaraan yang lewat seperti bayangan yang berlari.
Hana berusia 18 tahun berdiri sendirian di tepi trotoar.
Jaket tipisnya basah kuyup.
Rambutnya menempel di wajah.
Ia menggigil.
“Pulang… aku harus pulang…”
suara Hana muda lirih, samar dalam hujan.
Lampu mobil mendekat—
membutakan.
HOOOOONNNK!!!
SRRTTT!!!
Mobil hitam berhenti begitu dekat hingga percikan air menampar wajah Hana.
Ia terjatuh ke belakang, menahan napas.
Pintu mobil terbuka.
Dan dari mobil yang berhenti mendadak itu muncul:
Ibu James.
Dalam mimpinya, wajah wanita itu terlihat kabur—
kadang lembut,
kadang ketakutan,
kadang tampak seperti sedang melarikan diri dari sesuatu.
“Maafkan aku…” wanita itu berkata,
suara terpotong oleh suara hujan.
Hana mengulurkan tangan.
“Bu, Anda tidak apa-apa?”
Tapi wanita itu tidak menjawab.
Ia justru memegang lengan Hana.
“Kau harus pergi… jangan ada di sini…”
suaranya terburu-buru, nyaris panik.
“Bu, saya—”
“JANGAN DI SINI!”
wanita itu berteriak tanpa memandang Hana.
Dan kemudian—
Wanita itu mundur.
Langkahnya salah.
Kakinya terpeleset.
Hana mencoba meraih tangannya.
“Tunggu—!”
Terlambat.
BRUK!
Tubuh wanita itu jatuh keras ke badan mobil.
Suara benturannya menggema.
Darah mengalir dari belakang kepalanya.
Hana berlutut, tangannya gemetar, mencoba membangunkan wanita itu.
“Bu… bangun… tolong bangun…”
Tapi dalam mimpi, tubuh wanita itu mulai tampak semakin pucat, semakin dingin, semakin tak bernyawa.
Dan saat Hana melihat wajah wanita itu…
Wajah itu tiba-tiba berubah.
Bukan lagi Ibu James.
Tapi…
James.
Dengan mata penuh luka.
Dengan darah mengalir di pelipisnya.
Dengan suara parau penuh kekecewaan:
“…kenapa kau tidak menolong ibuku…?”
Hana tercekik.
“Bukan saya! Bukan saya, James!”
“Aku tidak sengaja! Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan!”
James semakin mendekat, wajahnya rusak oleh darah dan air hujan.
“Kau bohong…”
bisiknya.
“Kau diam saja…”
Hana mundur, air hujan bercampur air mata.
“Aku mencoba menolong! Aku menunggu bantuan! Aku—”
Tiba-tiba bayangan besar muncul di belakang James.
Bayangan yang Hana kenal sangat baik.
Bayangan itu memanjang ke arah Hana.
Soni.
Dalam mimpi, matanya bersinar gelap, suaranya dalam dan berat:
“Kalau kau tidak denganku… kau akan berada di penjara.”
“Tidak…” Hana berbisik sambil memegangi kepalanya.
“Dan kalau James tahu…”
wajah Soni mendekat, berubah bentuk menjadi menakutkan,
“…dia akan membunuhmu.”
“BUKAN SAYA!”
Hana menjerit, suara patah dan penuh ketakutan.
Hujan berubah menjadi darah.
Jalanan menghilang.
Dunia runtuh.
Dan di tengah kegelapan itu, Hana mendengar teriakan:
“HANAAA!!!”
Suara James.
Terdengar hancur…
dan sangat jauh.
Wanita itu menjerit lagi:
“Jamessss jangan pergi!! Itu bukan aku! Itu bukan aku!!”
Hana Terbangun
HAAAH!!!
Hana bangun dengan tubuh terangkat, napas tersengal keras, keringat membasahi wajahnya.
Sofa bergoyang karena ia menendang dirinya sendiri saat mimpi itu mencapai puncak.
Lampu ruangan masih redup.
Jam di meja menunjukkan pukul 03:41 pagi.
Hana memegang dadanya.
Napasnya cepat, kacau, menyakitkan.
“James…” bisiknya.
“Maaf… aku tidak bermaksud membuatmu terluka… aku tidak bermaksud…”
Ia memeluk dirinya, menangis tanpa suara karena takut penjaga mendengar.
Bahunya berguncang keras.
“Kenapa… kenapa aku selalu kembali ke malam itu…?”
Ia menunduk.
Air matanya jatuh ke lantai.
Untuk pertama kalinya,
Hana bertanya pada dirinya sendiri:
“Apa aku benar-benar tidak bersalah… atau aku hanya menutup mata terhadap apa yang sebenarnya kulihat?”
Dan pertanyaan itu menghantamnya keras.
Karena di balik semua ketakutan,
di balik ancaman Soni,
di balik rasa bersalahnya yang tak pernah selesai…
Ada satu hal yang masih belum ia hadapi:
Ada seseorang lain yang melihat kejadian malam itu.
Seseorang yang Hana belum pernah ceritakan.
Bahkan pada Soni.
Seseorang yang mungkin…
masih hidup.
Seseorang…
yang tahu kebenaran sebenarnya.
Hana duduk membungkuk di sofa, kedua tangannya memegang kepala, napasnya masih belum stabil setelah mimpi buruknya.
Tapi ada satu pikiran yang terus memukul benaknya dari dalam:
Ada seseorang lagi.
Ada saksi yang bukan dirinya… dan bukan Soni.
Ingatan itu datang tidak sekaligus.
Ia hanya sebuah potongan kecil, samar, tapi sangat jelas.
Seorang bayangan di malam hujan itu.
Tidak jauh dari tempat ia dan Ibu James berada.
Seseorang yang memandang dari kejauhan… lalu menghilang.
Hana merasakan tubuhnya merinding.
“Benarkah… dia masih hidup…?”
bisiknya gemetar.
Ia memejamkan mata, memaksa dirinya mengingat lebih kuat.
FLASHBACK — Potongan yang Dikubur Hana
Setelah Ibu James jatuh dan darah mulai mengalir, Hana panik, berlutut, menekan luka itu dengan tangannya.
Hujan deras menghapus jejak kaki, namun tidak bisa menghapus suara.
Suara langkah kecil.
Seperti seseorang berjalan menjauh di trotoar basah.
Hana terangkat sedikit, melihat ke arah itu.
Di bawah lampu jalan yang berkelip-kelip karena hujan, ada sosok kecil berdiri di balik tiang listrik.
Seorang anak.
Tidak, bukan anak-anak.
Seorang remaja… atau perempuan muda?
Sulit terlihat jelas.
Rambutnya basah hingga menempel ke wajah.
Ia memeluk tas kanvas di dadanya kuat-kuat.
Ia melihat Hana.
Mata mereka bertemu.
Hana ingat jelas—bahkan sampai sekarang:
Tatapan itu ketakutan…
tapi bukan karena melihat Hana…
melainkan karena melihat sesuatu yang ada di belakang Hana.
Sesuatu yang datang kemudian.
Sesuatu yang juga dilihat saksi itu.
Sesuatu yang datang sebelum Soni muncul.
Namun sebelum Hana sempat berteriak meminta tolong—
Sosok itu langsung mundur ke gelap.
Lalu berlari.
Hilang.
Seolah malam menelannya.
Kembali ke masa kini
Hana membuka mata seketika, napasnya memburu.
“Dia… dia ada…”
“Dia benar-benar ada…”
“A-aku ingat…”
Air mata jatuh lagi.
Hana menggenggam dadanya, suara terbata-bata.
“…dan dia… dia pasti melihat semuanya…”
Bukan hanya Hana yang melihat Ibu James jatuh.
Bukan hanya Hana yang melihat kebingungan sebelum kecelakaan.
Saksi itu juga melihat.
Dan itu berarti…
Saksi itu mungkin melihat sesuatu yang Soni sembunyikan.
Sesuatu yang Soni tidak pernah ingin ada orang tahu.
Hana gemetar.
“Aku dulu takut… jadi aku diam…”
“…tapi dia… pasti juga takut…”
Ia memejamkan mata kuat-kuat.
Hana ingat satu hal lagi:
Tas kanvas yang dipeluk saksi itu
bukan tas biasa.
Itu tas sekolah.
Tas dengan emblem kecil sekolah tertentu, khas dan mudah dikenali.
Sekolah SMA Liora.
Sekolah yang tidak jauh dari lokasi kecelakaan.
“Jadi dia… mungkin siswi SMA waktu itu…”
bisik Hana.
Hana merasa napasnya tiba-tiba berat.
Kalau saksi itu dulu berusia sekitar 16–17…
Sekarang dia pasti sudah dewasa.
Mungkin berusia 20-an.
Mungkin sudah bekerja.
Mungkin masih tinggal di kota.
Dan jika dia masih hidup…
By : Eva
16-11-2025