Nayara dipaksa menghadapi Pengkhianatan menyakitkan dari suaminya, Ardan (Direktur Konstruksi), hanya untuk menyadari bahwa pengusiran itu adalah upaya putus asa Ardan untuk melindunginya dari konspirasi berbasis Hutang Karma masa lalu.
.
.
Didorong rasa cinta yang besar terhadap Ardan , Nayara berpacu melawan waktu memperebutkan 'Kunci Master' ke The Grid, sistem infrastruktur yang dikendalikan secara Biometrik oleh kesadaran seorang anak.
.
.
Setelah menyelamatkan Ardan dari transformasi digital, Nayara menemukan ancaman yang sebenarnya kini merasuki orang terdekatnya, menandakan bahwa perang melawan The Grid baru saja dimulai.
______________
Tolong dibantu untuk like , komen dan follow akun aku ya, bantuan kalian sangat berharga untuk aku🫶
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dgweny, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10. Ciuman Penghianatan
Haiii Guys sebelum baca tolong di bantu klik like nya ya sama bolehhh komen nya dan follow nya jangan lupa hihihi. Bantuan kalian sangat berarti buat aku🫶
Happy reading 🌷🌷🌷
...****************...
Cahaya temaram di cafe hotel private itu menimpa wajah Ardan setengah gelap, setengah terang.
Suara hujan masih terdengar di luar jendela kaca besar. Di seberangnya, Mira duduk dengan senyum kecil — senyum yang seolah menyimpan masa lalu, kenangan, dan jebakan.
Di meja antara mereka, segelas kopi dan laptop terbuka. Tapi tak ada lagi presentasi yang dibahas, Yang tersisa hanyalah keheningan yang terlalu lama untuk disebut profesional.
“Masih sama seperti dulu,” ujar Mira pelan, matanya menatap Ardan dalam. “Kamu masih suka melipat tangan kalau lagi bingung.”
Ardan sedikit tersenyum, mencoba terdengar biasa. “Kebiasaan lama.”
“Banyak kebiasaan yang nggak berubah,” lanjut Mira lembut. “Termasuk cara kamu liat aku.”
Kalimat itu menggantung di udara.
Ardan mengerjap, menunduk sesaat, lalu berdehem pelan. “Kita di sini buat kerja, Mira.”
“Tapi kerjaan kita udah selesai,” katanya, menyandarkan tubuh ke kursi. “Yang belum selesai itu... rasa penasaran.”
Ardan menatapnya heran. “Penasaran?”
“Ya. Tentang kenapa dulu aku bisa ngelepas kamu, dan kenapa kamu bisa jatuh cinta sama orang kayak Nayara.”
Nama itu disebut dengan nada ringan, tapi tajam.
Ardan mendesah pendek. “Jangan bawa-bawa Nayara.”
“Kenapa? Takut ngerasa bersalah?” tanya Mira pelan, mencondongkan tubuh sedikit. “Atau takut sadar kalau kamu sebenernya belum benar-benar bahagia?”
Sementara itu, di rumah, Nayara sedang menyiapkan makan malam yang tak lagi ia harapkan akan dimakan bersama.
Ia menatap jam — sudah lewat pukul sembilan.
Ia mencoba menenangkan diri dengan menonton televisi, tapi suaranya hanya jadi latar untuk pikirannya yang terus bergulir.
Kenapa akhir-akhir ini Ardan makin sering keluar malam?
Kenapa setiap aku tanya, jawabannya selalu sama: rapat?
Telepon berdering.
Alia.
“Nay, kamu sendiri lagi?”
“Iya. Ardan belum pulang.”
“Masih di kantor?”
“Katanya sih gitu.”
Suara Alia terdengar ragu. “Aku cuma takut kamu terlalu percaya, Nay. Kadang... orang bisa berubah tanpa alasan yang kita pahami.”
Nayara terdiam. Pandangannya jatuh ke foto pernikahan di dinding.
“Kalau dia berubah... mungkin karena aku terlalu diam.”
Kembali ke café hotel private.
Ardan menarik napas panjang. “Aku udah menikah, Mira.”
“Aku tahu.”
“Dan aku cinta sama istriku.”
Mira menatapnya lama, lalu tersenyum tipis — senyum yang tak sepenuhnya bahagia.
“Cinta itu aneh, Dan. Kadang yang kamu sebut cinta... cuma rasa kasihan yang dibungkus kesetiaan.”
Ardan terdiam.
Ada sesuatu dalam kata-katanya yang mengguncang bagian terdalam hatinya — bagian yang selama ini berusaha ia tutup rapat. Ia tidak ingin mengakuinya, tapi dalam sekejap, ia sadar: setiap kali Mira menatapnya seperti itu, kenangan masa mudanya ikut bernapas kembali.
“Mira, jangan—”
“Kamu masih nyimpen ini?” potong Mira, sambil mengeluarkan sesuatu dari tasnya — gelang kulit hitam yang dulu Ardan berikan saat mereka masih SMA.
Ardan menatap benda itu, kehilangan kata.
“Dulu kamu bilang, nggak akan pernah lupa sama aku,” bisik Mira. “Tapi kamu nikah sama orang lain.”
“Mira, waktu itu kita masih anak-anak.”
“Dan sekarang kita dewasa... tapi rasanya masih sama, kan?”
Ardan menatapnya, bingung antara logika dan emosi.
Mira mendekat sedikit, jarak di antara mereka tinggal beberapa inci.
Nafas keduanya terasa di udara yang berat oleh nostalgia.
“Mira...”
“Cuma sebentar, Dan. Aku cuma pengen ngerasain kalau waktu nggak ngerubah semuanya.”
Ia mendekat, pelan.
Dan di detik itu — sebelum jarak itu benar-benar hilang — Ardan tahu, ia sedang menyeberang batas yang seharusnya tidak pernah disentuh.
Tapi ia tidak mundur.
Hingga kedua bibir itu saling menempel, Mira melumat bibir Ardan dengan rakus yang di balas sama rakus nya dengan Mira.
Ardan seolah lupa status yang di milikinya sekarang , yang ada di otak nya hanya ada nama Mira dan kerinduan nya terhadap perempuan itu.
Di rumah, Nayara berdiri di depan jendela.
Hujan turun semakin deras.
Ia menatap kosong ke luar, menggenggam cangkir teh yang sudah dingin.
Seketika, perasaan aneh menyelubungi dadanya — seperti firasat yang tak bisa dijelaskan.
Hatinya terasa berat, meski tidak tahu kenapa.
Ia memejamkan mata, berdoa dalam diam.
Kalau memang ada yang berubah, Tuhan... kasih aku kekuatan buat nerima, bukan buat membenci.
Di café hotel private, waktu seolah berhenti sejenak.
Mira mundur pelan setelah menyentuh pipi Ardan — jejak Saliva kedua nya masih menempel di bibir masing-masing, suasana sekitar nya masih membara seperti perasaan Ardan dan Mira sekarang.
Ardan menatapnya, masih terkejut, masih terperangkap di antara rasa bersalah dan perasaan yang dulu ia kira sudah mati.
Ia berdiri, menatap ke luar jendela.
“Mira, ini salah.”
Mira tersenyum samar. “Kalau salah, kenapa kamu nggak pergi dari tadi?”
Ardan menutup mata, menahan napas.
Hujan di luar menggila.
Dan di dalam dirinya, sesuatu telah retak — perlahan tapi pasti.
Malam itu, saat Ardan akhirnya pulang, wajahnya kosong.
Nayara sudah tertidur di sofa, selimutnya setengah terjatuh. Ia menatapnya lama, dengan rasa bersalah yang mulai tumbuh seperti duri.
Ia mengusap lembut rambut istrinya, lalu berbisik nyaris tanpa suara: “Maaf, Nay...”
Tapi Nayara tidak mendengar.
Dan mungkin, kalaupun mendengar, hatinya sudah lebih dulu tahu — bahwa malam ini, sesuatu dalam cinta mereka telah benar-benar pecah.
Bersambung...