Selama tujuh tahun, Reani mencintai Juna dalam diam...meski mereka sebenarnya sudah menikah.
Hubungan mereka disembunyikan rapi, seolah keberadaannya harus menjadi rahasia memalukan di mata dunia Juna.
Namun malam itu, di pesta ulang tahun Juna yang megah, Reani menyaksikan sesuatu yang mematahkan seluruh harapannya. Di panggung utama, di bawah cahaya gemerlap dan sorak tamu undangan, Juna berdiri dengan senyum yang paling tulus....untuk wanita lain.
Renata...
Cinta pertamanya juna
Dan di hadapan semua orang, Juna memperlakukan Renata seolah dialah satu-satunya yang layak berdiri di sampingnya.
Reani hanya bisa berdiri di antara keramaian, menyembunyikan air mata di balik senyum yang hancur.
Saat lampu pesta berkelip, ia membuat keputusan paling berani dalam hidupnya.
memutuskan tidak mencintai Juna lagi dan pergi.
Tapi siapa sangka, kepergiannya justru menjadi awal dari penyesalan panjang Juna... Bagaimana kelanjutan kisahnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aerishh Taher, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11 : Reany
Doroti baru saja selesai melontarkan hinaan terakhirnya ketika Reani akhirnya bergerak. Gadis itu melangkah maju dengan tenang, tumit sepatunya mengeluarkan bunyi lembut di lantai semen basah.
Beberapa kepala langsung menoleh. Mereka seperti menunggu apakah Reani akan membiarkan Doroti melanjutkan… atau menghentikannya.
Reani berhenti tepat di samping sepupunya. Wajahnya datar, tubuhnya tegak, seperti seseorang yang terbiasa mengambil alih keadaan tanpa harus meninggikan suara.
“Doroti,” panggilnya pelan.
Nada pelan itu cukup untuk membuat Doroti menoleh. Matanya masih menyala—masih ingin melanjutkan permainan.
Reani menghela napas tipis. “Sudahlah. Jangan buat keributan berlebih.”
Doroti mengangkat alis, seolah tak percaya Reani menghentikannya sekarang.
Reani menatapnya langsung, tidak keras, tapi jelas. “Sepupuku yang cantik,” katanya, menekankan kata itu seperti kode agar Doroti tahu batas. “Ini acara berduka.”
Doroti mengecap bibirnya, tidak puas, tapi ia menahan diri. Ia mundur setengah langkah sambil melipat tangan di dada.
Beberapa sepupu Juna yang tadi tegang akhirnya berani bernapas lagi. Suasana perlahan kembali stabil.
Renata menunduk lebih dalam, seperti ingin menyembunyikan wajahnya. Bahunya sedikit bergetar, entah karena malu atau lega karena Doroti berhenti.
Reani mengalihkan tatapannya ke Renata, sekilas saja. Tidak ada simpati di matanya, tapi juga tidak ada kebencian terang-terangan. Tatapan yang singkat itu cukup membuat Renata menghindar dan memalingkan wajah.
Setelah memastikan keadaan kembali terkendali, Reani menarik napas, lalu berkata singkat pada Doroti,
“Kita di sini bukan untuk drama. Tahan mulutmu sebentar saja.”
Doroti menjawab dengan lirikan malas. “Baik, baik. Tapi aku bilang duluan… kalau dia mulai mencari masalah, aku tidak bertanggung jawab.”
Reani menanggapinya dengan diam. Dalam hati Reani menggerutu.
Semua orang bisa melihatnya Doroti, bahwa kaulah yang sengaja mencari masalah.
Ia kemudian melangkah menjauh dari Renata, kembali pada kursi yang telah disiapkan untuk keluarga dekat. Gerakannya rapi, seolah ia tidak baru saja menghentikan kemungkinan kerusuhan kecil.
Di sekeliling mereka, bisikan-bisikan mulai bergerak lagi—pelan, berhati-hati, tidak ingin memancing perhatian perempuan Wijaya yang berdiri seperti tembok kokoh di tengah tenda duka.
Dan di sisi lain, Doroti berdiri dengan tangan terlipat, matanya masih menatap Renata seperti kucing yang sedang menunggu waktu untuk menerkam lagi.
Renata menelan ludah, kakinya gemetar kecil.
Acara duka berjalan tenang setelah itu. Para pelayat bergantian mengucapkan belasungkawa, sementara keluarga Juna duduk di barisan depan. Reani ikut berdiri saat doa terakhir dibacakan. Sikapnya tertib, wajahnya tenang.
Beberapa jam kemudian, rombongan bergerak ke pemakaman. Langkah-langkah menyusuri jalan setapak tanah basah. Payung-payung hitam terbuka, tapi hujan tidak turun. Hanya angin yang lewat pelan di antara batu nisan.
Petugas makam menurunkan peti perlahan. Ibu Juna menangis sampai suaranya pecah. Juna berdiri di sampingnya, wajahnya pucat dan kaku. Reani memperhatikan dari barisan kedua—diam, tidak ikut mendekat, namun tidak juga jauh.
Saat gumpalan tanah pertama dijatuhkan ke atas peti, Renata mengusap matanya dengan gerakan cepat. Doroti berdiri di samping Reani, kedua tangannya masuk ke saku coat, ekspresinya datar tapi matanya masih memperhatikan Renata dari jauh.
Pemakaman selesai tanpa gangguan. Para keluarga mulai menyebar, beberapa saling menyalami, beberapa langsung menuju mobil.
Di saat orang-orang mulai keluar dari area pemakaman, Doroti mendekat ke Reani. Suaranya rendah, hampir seperti bisikan.
“Kenapa tadi kamu hentikan aku, Rea?”
Reani memasukkan rambutnya yang tersapu angin ke belakang telinga. Tatapannya tidak sepenuhnya pada Doroti—ia masih melihat sekeliling memastikan tidak ada yang mendengar.
“Doroti…” ucapnya pelan namun tegas.
Doroti mengangkat dagu sedikit, menunggu.
“Kita beda dengan mereka,” lanjut Reani. Suaranya datar, tapi jelas. “Kalau kau ribut di acara begini, yang jatuh itu harga dirimu sendiri.”
Doroti mengerjap, tapi tidak membantah.
Reani melanjutkan, kali ini menatap sepupunya langsung. “Ada waktunya kalau kau ingin menyerangnya. Tapi bukan saat orang kehilangan keluarganya.”
Doroti merengut kecil. “Karena dia?”
“Bukan.” Reani menggeleng pendek. “Karena ayahnya.”
Nada suaranya berubah sedikit—lebih dingin, namun tidak keras.
“Beliau selalu menghormati aku sebagai menantu. Bahkan saat keluarga lain mempertanyakan siapa aku.” Reani berhenti sejenak. “Aku tidak akan mempermalukan beliau di hari terakhirnya.”
Doroti menunduk sebentar, kemudian mendengus. “Baik. Tapi jangan salahkan aku kalau nanti aku lanjutkan.”
“Kau boleh lanjutkan nanti,” kata Reani tanpa melihat Renata lagi. “Tapi bukan di sini. Dan bukan hari ini.”
Doroti mengangkat bahu, menerima. “Oke... Aku mengerti.”
Mereka berjalan kembali ke mobil keluarga Wijaya. Reani tidak menoleh ke arah Renata, Juna, atau keluarga lainnya. Sikapnya tetap sama dari awal sampai akhir—dingin, dan tidak keluar batas.
Sementara di belakang mereka, Renata berdiri memeluk tasnya erat-erat. Tatapan gadis itu mengikuti punggung Reani menghilang dari pandangannya.
__
Reani dan Doroti baru masuk ke dalam mobil ketika ponsel Reani bergetar. Layar menampilkan nama Arian. Ia menarik napas pendek lalu mengangkat.
“Rea, aku baru selesai rapat dengan bagian legal,” suara Arian terdengar rapi dan to the point seperti biasa. “Surat gugatan soal pernikahan dan buku nikah palsu itu… besok pagi dikirim ke kantor Juna. Akan langsung antar ke perusahaan.”
Reani menatap keluar jendela, melihat rombongan keluarga Juna yang mulai bubar. Ekspresinya datar. “Baik.”
“Aku cuma mau pastikan kamu siap kalau dia langsung menghubungi atau muncul mencari masalah.”
“Aku siap.” Suaranya tenang, seperti ia hanya membicarakan administrasi, bukan masalah keluarga yang besar.
Arian tidak langsung menutup topik itu. “Rea… kalau kau butuh bantuan lain, atau perlindungan tambahan, bilang saja. Aku bisa kirim orang.”
Reani menyandarkan kepala ke kursi, matanya lelah tapi fokus. “Tidak perlu. Selama dia menerima berkas itu besok, itu sudah cukup.”
Ada hening singkat di antara mereka sebelum Arian berbicara lagi, nada suaranya sedikit melunak, jarang sekali terdengar seperti itu.
“Kamu sudah makan? aku bisa jemput. Kita makan siang bersama.”
Reani menahan suara tawanya yang nyaris keluar karena waktu yang tidak tepat. “Aku di luar kota.”
“Oh?” Arian langsung terdengar waspada. “Di mana?”
“Pemakaman.” Reani menatap tanah merah yang masih basah di kejauhan. “Ayah Juna baru saja dimakamkan.”
Arian terdiam sejenak. Bukan karena terkejut, tapi lebih ke menimbang reaksi yang pantas. “Aku mengerti,” katanya akhirnya. “Kalau begitu, kapan kamu balik?”
“Sekarang. Aku langsung pulang.”
“Baik,” ucap Arian. Suaranya kembali tegas. “Besok siang aku jemput kamu. Kita makan siang, ada beberapa hal yang perlu kubahas bersamamu. Termasuk proses lanjutannya.”
“Ya.”
“Rea?”
“Hm?”
“Hati-hati di perjalanan.”
Seperti biasa, Reani tidak memberi respon sentimental. Ia memutus panggilan begitu kalimat itu selesai.
Doroti, yang dari tadi pura-pura sibuk dengan ponselnya, melirik sambil menahan senyum geli.
“Dia perhatian banget,” gumam Doroti.
Reani memasukkan ponselnya ke tas. “Dia pengacaraku.”
Doroti mendengus. “Uh-huh. Tentu saja.”
Mobil mulai bergerak meninggalkan pemakaman, sementara Reani menutup mata sejenak, mencoba menghapus semua sisa drama hari itu dari kepalanya.
Besok, drama lain menunggu. Namun setidaknya… tidak ada lagi yang perlu ia hormati dari keluarga Juna.
Yang tersisa hanya urusan hukum dan Reani selalu siap untuk itu.
___
Perjalanan menuju hotel tidak terlalu ramai. Jalanan kota kecil itu hanya dipenuhi kendaraan dari para pelayat yang bubar setelah pemakaman. Di dalam mobil, Doroti duduk menyilangkan kaki, wajahnya miring menatap Reani yang terlihat tenang sejak tadi.
Setelah beberapa menit hening, Doroti akhirnya membuka suara.
“Rea…” katanya sambil memutar-mutar gelang di pergelangan tangannya. “Kau benar-benar mau menghancurkan perusahaan Juna? Tekno Air itu hasil kerja keras dia—ah maksud ku kerja kerasmu yang di akuinya bertahun-tahun. Apa kamu rela?”
Reani tidak langsung menjawab. Ia melihat ke luar jendela, mengikuti bayangan pepohonan yang berlari mundur. Tatapannya stabil.
“Aku tentu mau,” ujarnya datar. “Aku bahkan ingin menggiling mimpi dia sampai hancur.”
Doroti menyeringai. “Mimpi dia yang mana?”
Reani kembali menatapnya. “Menjadikan Tekno Air nomor satu… dan mengalahkan Wijaya Corp.”
Doroti tertawa keras, tanpa rasa bersalah. “Astaga, dia benar-benar bermimpi tinggi ya.”
“Hm.”
“Bahkan perusahaan besar pun tidak berani menantang Wijaya Corp,” lanjut Doroti sambil menepuk pahanya. “Juna bahkan tidak berada di level kompetisi itu. Kalau dia mau menyalip Wijaya Corp, itu bukan mimpi… itu delusi.”
Reani tidak menambahkan apa-apa, tapi sudut bibirnya terangkat sedikit. Ekspresi tipis yang jarang terlihat.
Doroti merapatkan badan ke kursi, tampak bersemangat. “Aku tidak sabar melihat kau membuat drama dengan si brengsek itu.”
Reani menatap lurus ke depan. “Aku juga.”
Mobil melaju dengan stabil, sementara wajah Reani tetap tenang.
Doroti mengangguk puas sambil membuka ponselnya. “Kalau butuh aku buat huru-hara kecil, tinggal bilang.”
Reani hanya menjawab, “Tentu saja.”
Dan itu cukup untuk membuat Doroti tersenyum lebih lebar.
Drama baru akan dimulai.
Dan Reani tidak berniat berjalan pelan.
bersambung....