Rumah tangga yang baru dibina satu tahun dan belum diberi momongan itu, tampak adem dan damai. Namun, ketika mantan istri dari suaminya tiba-tiba hadir dan menitipkan anaknya, masalah itu mulai timbul.
Mampukah Nala mempertahankan rumah tangganya di tengah gempuran mantan istri dari suaminya? Apakah Fardana tetap setia atau justru goyah dan terpikat oleh mantan istrinya?
Ikuti kisahnya yuk.
IG deyulia2022
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasna_Ramarta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11 Kedatangan Orang Tua Dana
Ucapan Nala tadi pagi masih terngiang di telinga Dana sampai dirinya berada di kantor. Dana termenung dan terus memikirkan ancaman Nala yang memintanya dilepaskan jika dirinya tidak tegas terhadap Raina dan Devana.
Dana seakan sedang dalam posisi yang serba salah. Memilih Nala, lalu bagaimana dengan Raina, sementara Raina adalah anak semata wayangnya.
Sementara itu di rumah Dana, saat ini sedang kedatangan tamu, yaitu kedua orang tua Dana. Bu Diana datang ke rumah setelah mendapat kabar dari Dana bahwa di rumahnya ada Raina sedang liburan. Dengan senang hati Bu Diana mendatangi rumah Dana bersama suaminya Pak Damar.
Mereka berdua sama seperti Dana, sudah lama tidak bertemu cucunya setelah Dana dan Devana bercerai.
"Assalamualaikum," ucap Bu Diana dan Pak Damar. Kedatangannya disambut Bi Marni yang kebetulan sedang beres-beres di ruang tamu.
"Waalaikumsalam, Bu, Pak." Bi Marni menyambut kedua orang tua majikan laki-lakinya dengan hormat, lalu mempersilahkan mereka masuk.
"Kata Dana, cucuku ada di sini, mana dia, kok sepi Marni?" tanya Bu Diana tidak lama setelah dia duduk. Matanya menatap ke ruang tengah mencari kehadiran Raina.
"Eummm, ada, Bu. Sebentar saya panggilkan di kamar."
Sebelum Bi Marni menuju tangga, Raina sudah menuruni tangga dan berlari kecil menghampiri nenek dan kakeknya.
"Nenek, kakekkkkk." Raina berlari dengan senang, lalu merangkul Bu Diana dan Pak Damar yang sudah kurang lebih lima tahun tidak bertemu.
"Ya ampun cucu nenek, sudah besar rupanya. Dulu nenek dan kakek terakhir bertemu kamu saat masih kelas dua SD. Sekarang kamu sudah kelas satu SMP."
Bu Diana memeluk Raina dengan penuh kerinduan. Maklum, selama ini Devana tidak pernah mempertemukan Raina dengan nenek dan kakek dari Dana, dengan alasan sibuk dan tidak sempat.
"Kamu senang tinggal sama papa kamu, Rai? Tinggal saja di sini, atau sama nenek dan kakek saja. Nenek dan kakek sepi di rumah," bujuk Bu Diana sembari menciumi rambut Raina yang masih wangi.
"Raina betah di sini, tapi pengen sama mama," ceplos Raina, sukses ucapannya membuat Bu Diana dan Pak Damar saling lempar tatap kaget.
"Tidak bisa dong Sayang, di sini sudah ada mama Nala. Papa dan mama Raina sudah tidak bisa bersama lagi."
"Kenapa tidak bisa, Nek? Raina bahagia jika mama ada di sini." Ucapan Raina masih berlanjut.
"Tidak bisa, Sayang." Bu Diana mengulang jawaban yang sama. Tapi Raina seperti belum paham kenapa tidak bisa.
"Iya Nek, tapi kenapa mama tidak bisa bersama papa lagi?" tanya Raina semakin penasaran.
"Tidak boleh, karena mama dan papanya Raina sudah berpisah. Juga tidak boleh bersama lagi, karena papa Raina sudah menikah lagi dengan mama Nala," jelas Bu Diana.
"Raina nggak mau bersama Tante Nala. Tante Nala judes," ujarnya. Bu Diana dan Pak Damar saling lempar tatap kembali. Kali ini mereka tersentak mendengar pengakuan Raina.
"Judes? Judes kenapa?" Bu Diana semakin terpancing rasa ingin tahunya dengan pengakuan Riana.
"Pokoknya judes. Raina tidak suka Tante Nala. Raina hanya ingin mama dan papa saja," kekeuhnya sembari bibirnya mengerucut tanda tidak suka.
Disela-sela obrolan mereka, Bi Marni tiba-tiba datang menenteng baki yang isinya minuman dan camilan untuk Bu Diana dan Pak Damar.
"Silahkan, Bu, Pak, airnya diminum," ucap Bi Marni.
"Tidak usah Marni, saya bisa ambil sendiri, kenapa kamu repot-repot?" ucap Bu Diana berbasa-basi.
"Marni, istrinya Dana ke mana? Apakah pergi? Tapi, motornya masih ada di luar?" Bu Diana tiba-tiba mempertanyakan Nala yang tidak kelihatan. Dia tahu Nala memang suka ke toko, akan tetapi motornya masih ada di garasi.
"Anu, Bu... Non Nala sedang sakit dari semalam. Sebentar, saya kasih tahu Non Nala kalau Ibu dan Bapak datang." Bi Marni kembali ke belakang setelah meletakkan air minum di atas meja.
"Nala sakit? Sakit apa dia? Pantas motornya ada. Papa, dengar kata Raina tadi, Nala itu judes. Apa benar? Kalau benar, tega banget dia sebagai ibu sambung," bisik Bu Diana di samping telinga Pak Damar.
Pak Damar menggeleng pelan, dia juga tidak tahu apa cerita Raina itu benar atau tidak.
Bu Diana dan Pak Damar serta Raina kembali terlibat obrolan yang sesekali diselingi tawa. Hingga siang tiba, Raina yang terlihat ngantuk, akhirnya ketiduran di atas sofa.
Pak Damar mengangkat tubuh Raina menuju kamarnya lalu ditidurkan di sana.
Sementara itu Bi Marni, kini sedang berada di kamar tamu. Sebetulnya ia tidak tega membangunkan Nala yang sedang sakit. Tapi, Bi Marni terpaksa memberi tahu, dijumpai atau tidak bukan urusannya.
"Non, di depan ada mertua Nona," beritahu Bi Marni seraya menggoyang pelan bahu Nala. Meskipun merasa tidak enak, tapi semua Bi Marni lakukan dengan terpaksa.
"Non."
Nala mulai bergerak, kepalanya menoleh pelan ke arah Bi Marni yang barusan menepuk bahunya.
"Maafkan bibi, sudah membangunkan Non Nala. Tapi, di depan ada mertua Nona," ujar Bi Marni tidak enak.
Perlahan Nala bangkit dari ranjang, kepalanya yang sakit kini terasa lagi saat bangkit dari pembaringan. Tubuhnya juga masih panas.
"Ada mertua saya, Bi. Berdua atau sendiri?" Nala meyakinkan.
"Berdua, Non."
"Baik. Saya akan temui mereka," jawab Nala seraya bangkit untuk mendudukan tubuhnya di tepa ranjang. Bi Marni sigap membantu.
"Kalau Non Nala nggak kuat, nggak usah ditemui, Non. Biar bibi katakan kalau Nona benar-benar sakit. Ibu dan Bapak pasti paham," ujar Bi Marni iba.
"Tidak apa-apa, Bi. Saya nggak enak kalau tidak menemui mereka."
Bi Marni mengangguk paham. Lantas ia membantu Nala bangkit dan menuntunnya keluar dari kamar tamu.
"Kepala saya sakit, Bi Marni. Berat dan nyut-nyutan kalau diajak berdiri seperti ini," keluh Nala.
"Kalau begitu, sebaiknya Non Nala berobat saja. Nona duduk saja di sini, bibi akan ambilkan obat deman yang ada di kotak P3K dulu sebelum Nona berobat."
"Tidak, Bi. Biar saja. Demam meriang seperti ini biasa untuk saya, dan saya tidak suka minum obat," tolak Nala.
Bi Marni tidak bisa memaksa. Dia hanya bisa patuh.
"Ayo, Bi. Sakit kepalanya sudah hilang kalau didiamkan dulu seperti barusan," ujar Nala.
"Benar Non Nala kuat?"
Nala mengangguk, lagipula dia tidak enak kalau sampai tidak menemui mertuanya. Apalagi seperti diketahuinya, ibu mertuanya sedikit kurang suka terhadap Nala, terlebih karena Nala belum bisa memberinya cucu yang pernah beberapa kali dipertanyakannya karena ingin cucu.
Nala dan Bi Marni tiba di ruang tamu. Nala langsung menghampiri kedua mertuanya lalu menyalaminya hormat.
"Mama, Papa, sudah lama?" ujarnya basa-basi, sesekali wajahnya meringis karena merasakan sakit di tubuhnya.
Nala duduk berhadapan dengan mama mertuanya.
"Ada setengah jam lalu. Kamu sakit Nala. Kenapa tidak berobat? Kalau sakit itu, segera berobat, minimal obat warung. Jangan dibiarkan seperti ini. Kalau ditidurkan sepanjang hari, sakitmu itu akan lama. Jangan dibiasakan memanjakan penyakit," ujar Bu Diana.
Alih-alih menasehati, tapi Nala merasa ibu mertuanya sedang mengomelinya. Wajahnya saja kurang ramah.
"Sudah tadi pagi diurut Bi Marni, Ma. Nala bukan memanjakan penyakit. Tapi, kali ini demamnya disertai sakit kepala." Nala memberi alasan.
"Iya makanya, kamu berobat. Biar tahu sakitmu apa."
"Iya, Ma. Nanti kalau keterusan Nala pasti berobat." Nala mengangguk, lagipula dia tidak mau berdebat dengan ibu mertuanya.
"Gimana kabar Mama dan Papa, sehat?" lanjut Nala basa-basi.
"Seperti yang kamu lihat," tukasnya datar.
"Oh iya, tadi Raina bilang sama kami, kalau kamu itu judes sama dia. Apa itu benar? Kalau itu benar, tega banget kamu," lanjut Bu Diana sambil menatap Nala tajam.
Nala tersentak, dia kaget mendengar dirinya dikatakan judes oleh Raina. Sudah sakit, lalu kini malah dituding judes oleh Raina. Rasanya Nala ingin menangis jerit-jerit saat ini juga di depan kedua mertuanya.
kuncinya dana harus tegas dan mertua g ikut campur
bener2 mertua jahat bisa2nya GK bisa bedain mana wanita terhormat dan wanita bar2.