Demi menyelamatkan perusahaan keluarganya, Luo Wan dijebak oleh ayahnya sendiri dan terpaksa melarikan diri di malam penuh skandal. Tanpa sadar, ia masuk ke kamar pria asing—dan keesokan harinya, hidupnya berubah total.
Pria itu adalah Sheng Qing, CEO muda yang dingin dan berkuasa. Setelah malam itu, ia berkata:
> “Kamu sudah naik ke ranjangku duluan. Sekarang kamu milikku.”
Sejak saat itu, Luo Wan terperangkap di antara cinta, dendam, dan permainan kekuasaan.
Namun dunia segera tahu—Luo Wan bukan wanita yang bisa dibeli atau diperbudak oleh siapa pun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Haha Hi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 16
Nyonya Tua Su sebenarnya berniat menjadikan Sheng Qing sebagai cucu menantunya, jadi tentu tidak bisa berseteru dengan keluarga Sheng. Ia pun tidak berani bersikap keras, segera tersenyum meminta maaf.
“Gadis kecil, orang tua kadang memang suka asal bicara, jangan disimpan di hati ya.”
Wanita tua ini jelas- jelas mengandalkan status sebagai orang tua untuk merendahkannya.
Bukankah itu senyum yang menyembunyikan pisau?
Siapa juga yang tidak bisa begitu?
Luo Wan pun tersenyum lebar dan dengan anggun berkata, “Tidak apa -apa, Nenek Su.”
“Anda adalah orang tua, dan meskipun nasihat orang tua terkadang tidak masuk akal, kami yang muda tetap akan mendengarkannya.”
Luo Wan sengaja menekankan kata tidak masuk akal.
“Setiap orang punya kesukaan masing- masing. Apa yang Anda anggap sampah bisa jadi dianggap harta karun oleh orang lain. Sebaliknya, yang Anda anggap berharga, belum tentu diminati orang.”
Begitu kalimat itu meluncur, wajah Nyonya Tua Su langsung menghitam.
Nyonya Tua Sheng nyaris saja mengacungkan jempol, sementara dua nenek lainnya menahan tawa di sudut mulut mereka.
Mereka jelas -jelas mengerti maksudnya.
Baru saja Nyonya Tua Su merendahkan Luo Wan, membanggakan cucunya sendiri, dan sekarang malah dibalik: cucumu sebagus apa pun, kalau tidak disukai ya tetap tidak ada artinya.
Wajah Nyonya Tua Su semakin buruk, tapi ia juga tidak bisa langsung pergi begitu saja.
“Kamu ini, gadis kecil, kenapa dendamnya begitu besar. Kami orang tua cuma menasihati demi kebaikan kalian yang muda. Baru bicara sedikit saja, langsung disimpan di hati.”
Benar- benar logika preman. Kalau kamu bicara masuk akal, dia melenceng. Kalau kamu melenceng, dia malah sok bijak.
Namun Luo Wan tetap tersenyum, menatap dengan mata bulat polos dan bertanya tanpa rasa bersalah,
“Apa saya barusan bilang sesuatu yang membuat Nenek Su begitu marah?”
Nyonya Tua Su benar- benar merasa untuk pertama kalinya tersumbat di dada. Kalau dipikir -pikir, memang Luo Wan tidak menyebut siapa -siapa.
Dirinya sendiri yang merasa tersindir.
Ia berdiri dengan kesal.
“Benar- benar lidah tajam.”
Lalu berpamitan dengan para nenek lainnya dan menarik cucunya pergi.
Luo Wan menahan tawa, di wajah tetap terlihat sopan dan manis.
Ia khawatir nenek Sheng akan marah, maka ia pun menoleh sedikit waspada.
Namun justru bertemu dengan senyum licik sang nenek yang bahkan mengacungkan jempol diam- diam.
Nenek ini benar- benar tidak punya gaya nenek keluarga kaya. Hatinya besar sekali.
Sahabat lama seumur hidup baru saja dibuat kesal dan pergi, dia masih bisa tenang -tenang saja.
“Gadis kecil, kamu bisa main mahjong?”
Tiba- tiba Nyonya Tua Sheng mengintip dan bertanya.
Luo Wan tertegun dan menggeleng.
Sebenarnya ia tidak asing dengan mahjong. Dulu sering melihat para guru bermain, tapi tidak pernah mencobanya sendiri.
“Tidak apa- apa, nanti nenek ajari.”
“Hari ini memang panggil Nyonya Tua Su untuk main mahjong. Sekarang dia pergi, kamu yang gantikan.”
“Benar, benar! Anak muda walau belum bisa, juga bisa cepat belajar.”
Dua nenek lainnya juga penggemar mahjong, tentu tidak mau melewatkan kesempatan.
Akhirnya, Luo Wan pun "dipaksa" duduk di meja mahjong.
Dua putaran pertama, semua pemain membuka kartu agar bisa mengajari Luo Wan.
Aturan dasar mahjong mudah dipelajari, namun untuk memahami variasi permainan perlu waktu.
Beberapa nenek itu tak sabaran. Setelah memastikan Luo Wan paham aturannya, permainan pun dimulai serius.
“Main satu juta saja,” ucap Nyonya Tua Sheng.
Dua nenek lainnya tampak ragu. Meski berasal dari keluarga kaya, jika apes, satu juta per ronde bisa berujung kekalahan ratusan juta.
“Main sekali- sekali saja, kan kita jarang kumpul,” Nyonya Tua Sheng terus membujuk,
sambil pura -pura tidak melihat Luo Wan yang berkali- kali mengedipkan mata padanya minta tolong.
Akhirnya dua nenek lainnya menyetujui, sementara Luo Wan hanya bisa pasrah hampir menangis.
Mau kabur pun tak bisa.
Dalam hati, ia mulai menghitung sisa saldo di rekening. Sepertinya hari ini harus rela menyerahkan semua harta sendiri di sini.
Di meja permainan, meski para nenek itu jalannya sudah gemetar, tapi saat main mahjong, tangan mereka secepat kilat.
Sama sekali tidak menganggap Luo Wan sebagai pemain baru.
Kadang kartu di tangan terlalu rumit, dan ketika Luo Wan berpikir sedikit lebih lama, mereka langsung menyuruh cepat.
Akhirnya Luo Wan cuma bisa nekat buang kartu sembarangan.
Satu putaran selesai, belum sempat paham, lawan sudah menang.
Luo Wan merasa seperti sedang disertai Dewa Sial.
Beberapa putaran berjalan, semuanya ia yang membuang kartu penting untuk kemenangan lawan.
Chip di tangan pun terus berkurang.
Dari semua orang di meja, hanya Luo Wan yang murung. Tiga lainnya tertawa -tawa penuh semangat.
Terutama Nyonya Tua Sheng, bukan hanya tidak kesal cucu menantunya kalah, malah wajahnya berseri- seri penuh kepuasan, seolah rencananya sukses besar.
Kepala Luo Wan rasanya mau pecah. Ingin menghentikan permainan, tapi melihat tiga nenek begitu bersemangat, kata -kata yang ingin keluar pun ditelan kembali.
Kalau yang main anak muda, ia bisa cari alasan kabur. Tapi berhadapan dengan tiga nenek ramah seperti ini, ia hanya bisa menelan pahit.
Satu jam kemudian, chip terakhir di tangan berpindah tangan.
Luo Wan benar- benar bangkrut.
Perlu diketahui, chip itu nilainya total dua juta.
Katanya ada “perlindungan pemula” saat main kartu, tapi tidak berlaku bagi Luo Wan.
Sejak duduk sampai sekarang, ia bahkan belum pernah menang satu ronde.
“Nenek, bagaimana kalau cukup sampai di sini dulu?”
Luo Wan bertanya dengan wajah penuh penderitaan.
“Nenek Li dan Nenek Wang lagi semangat. Mana bisa berhenti di tengah jalan?”
“Tapi aku sudah tidak punya uang,”
Luo Wan melirik tumpukan chip di depan Nyonya Tua Sheng dan berkata:
“Bagaimana kalau...”
Belum selesai bicara, langsung dipotong.
Nyonya Tua Sheng langsung melindungi chip di depannya dengan dua tangan.
“Itu hasil kemenanganku, tidak boleh!”
“Kalau tidak punya uang, minta saja ke suamimu. Anak itu sehari dapat uang begitu banyak, tentu harus dipakai istrinya juga.”
Melihat nenek yang seperti “melindungi makanan”, Luo Wan pun menyerah.
Ia teringat kartu hitam yang Sheng Qing berikan kemarin dan tampak ragu.
Karena cincin sudah tidak jadi dibeli, Luo Wan sebenarnya tidak mau menyentuh kartu itu.
Takut nanti kalau benar -benar berpisah, jadi sulit membagi.
Tapi sekarang ia masih berutang pada tiga orang tua.
Luo Wan merasa belum pernah semalu dan segelisah ini. Semua uang di tubuhnya hilang tak bersisa.
Akhirnya, di bawah tatapan tiga nenek, Luo Wan terpaksa menyerahkan kartu hitam dari tas kepada Paman Wang untuk ditukar dengan chip.
Begitu melihat kartu itu, Nyonya Tua Sheng baru mengangguk puas.
Permainan kali ini memang melelahkan.
Demi membuat cucu menantunya menggunakan uang suaminya, ia sudah lama merancang rencana ini.
Pertama -tama membuat Luo Wan mengeluarkan seluruh uang sendiri, lalu membiarkannya berutang dan menutup dengan uang suami.
Dengan begitu, hubungan mereka akan makin erat, keterikatan juga makin kuat.
Awalnya ia pikir Luo Wan yang dari desa ini tak akan punya banyak uang. Cukup beberapa putaran untuk mengurasnya.
Tak disangka butuh hampir dua jam.
Benar- benar meremehkan kekayaan cucu menantunya.
Tak lama kemudian, Paman Wang kembali dengan chip—total lima juta.