Indira mengagumi Revan bukan hanya karena cinta, tetapi karena kehormatannya. Revan, yang kini memeluk Kristen setelah melewati krisis identitas agama, memperlakukan Indira dengan kehangatan yang tak pernah melampaui batas—ia tahu persis di mana laki-laki tidak boleh menyentuh wanita.
Namun, kelembutan itu justru menusuk hati Indira.
"Untukku, 'agamamu adalah agamamu.' Aku tidak akan mengambilmu dari Tuhan-mu," ujar Revan suatu malam, yang di mata Indira adalah kasih yang dewasa dan ironis. Lalu ia berbisik, seolah mengukir takdir mereka: "Untukmu agamamu, dan untukku agamaku."
Kalimat itu, yang diambil dari Kitab Suci milik Indira sendiri, adalah janji suci sekaligus belati. Cinta mereka berdiri tegak di atas dua pilar keyakinan yang berbeda. Revan telah menemukan kedamaiannya, tetapi Indira justru terombang-ambing, dihadapkan pada i
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon blcak areng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Konsekuensi dari Pelanggaran dan Air Mata Bunda
Mobil Revan melaju kencang, membelah kepadatan jalanan sore. Di dalam mobil, aku hanya bisa merasakan detak jantungku yang berpacu. Rasa senang karena bertemu Mami bercampur aduk dengan rasa bersalah yang menusuk karena melanggar larangan Ayah.
"Kamu baik-baik saja, Ra?" tanya Revan, suaranya tegang.
"Aku takut, Van. Tadi Neli bilang Ayah sudah telepon," bisikku, melirik jam di dasbor. Kami sudah menghabiskan waktu hampir dua jam, jauh lebih lama dari yang seharusnya.
"Aku tahu. Maaf, aku tidak bisa menolak Mami yang terus bercerita," kata Revan. Ia menyentuh dashboard mobil, menghindari sentuhan padaku. "Tapi kita harus yakin, kita melakukan ini demi hal yang benar: janji pada Mami. Dan kita harus jaga itu. Begitu kamu kembali ke rumah Neli, segera ambil bukumu dan pulang. Kirim pesan padaku begitu kamu sudah di rumah.
"Baik."
Mobil berhenti di tikungan yang sepi, tak jauh dari rumah Neli. Aku bergegas keluar, tas ranselku terasa berat, bukan karena buku, melainkan karena kebohongan yang kubawa.
"Hati-hati, Ra!" seru Revan sebelum aku berlari kecil menuju gerbang rumah Neli.
Aku menekan bel rumah Neli dengan napas terengah-engah. Begitu pintu terbuka, wajah Neli yang biasanya ceria kini dipenuhi kecemasan.
"Ya ampun, Indira! Kenapa lama sekali?!" Neli menarikku masuk, langsung menutup pintu. "Aku sudah cover kamu habis-habisan! Ayahmu menelepon dua kali, Ra! Dua kali!"
Kami berdua duduk di sofa ruang tamu. "Ayah menelepon? Kapan? Apa yang kamu katakan?" tanyaku, panik.
"Telepon pertama sekitar jam empat lebih, saat kamu baru jalan. Aku bilang kamu baru saja pergi ke toko buku, dan aku akan menyusul Imel dan kamu sebentar lagi. Telepon kedua, barusan! Tepat lima menit lalu! Ayahmu bertanya, 'Apa Indira sudah kembali?' Aku bilang kamu baru saja sampai, dan kami baru selesai mencocokkan referensi. Aku bilang kamu sedang ke kamar mandi!"
"Terima kasih, Nel. Ya Tuhan, aku berutang nyawa padamu!"
"Bukan nyawa, Ra. Tapi kepercayaan. Kamu tahu, ini batasanku, Ra. Aku melakukan ini karena Mami. Karena aku tahu kamu tulus. Tapi jika kamu terus begini, aku tidak tahu apakah aku bisa terus bohong pada Om Bimo." Neli menatapku tajam. "Revan harus mengerti risiko ini. Ini bukan sekadar bolos kelas, Ra. Ini melanggar Garis Batas yang Ayahmu pasang."
"Aku tahu, Nel. Aku tahu aku salah. Aku melanggar larangan Ayah. Tapi saat aku melihat Mami, saat Mami menyiapkan tempat sholat untukku di rumahnya yang sekarang, aku merasa tidak adil jika aku menjauhi dia hanya karena Ayahku takut pada keyakinan Revan. Mami adalah kehangatan, Nel. Revan adalah kehormatan."
"Kehormatan yang membawa masalah, Ra. Kamu harus hati-hati. Sekarang, cepat ambil bukumu, dan pulang. Wajahmu terlihat lelah dan jujur sekali. Pastikan kamu terlihat seperti mahasiswa yang baru selesai berjuang melawan tugas filsafat, bukan anak yang baru pulang dari rumah pacar beda agama!"
Aku bergegas merapikan buku-buku dan pamit pada Neli. Aku tahu Neli marah, tapi kemarahannya adalah bentuk perlindungan.
Aku sampai di rumah sepuluh menit kemudian. Jam menunjukkan pukul enam sore, tepat saat langit mulai gelap. Aku menghela napas, mencoba mengatur ekspresi wajahku, membuat diriku terlihat lelah tetapi puas dengan hasil pencarian buku.
"Assalamualaikum," ucapku saat membuka pintu.
"Waalaikumsalam," jawab suara lembut Bunda Fatma dari ruang keluarga.
Bunda duduk di sofa, tidak sedang menonton televisi, hanya menyulam taplak dengan wajah tenang. Namun, saat aku mendekat, aku menyadari ketenangan itu terasa palsu.
"Sudah pulang, Nak? Bagaimana, referensi bukunya ketemu?" tanya Bunda, meletakkan sulamannya.
"Alhamdulillah, ketemu, Bun. Sudah ketemu beberapa buku penting. Nanti malam aku mulai rangkum," kataku, berusaha seceria mungkin.
"Oh, baguslah. Kamu langsung mandi, ya. Ayah sebentar lagi pulang. Nanti sholat Maghrib berjamaah lagi."
Aku mengangguk, lalu berbalik menuju kamar. Tiba-tiba, suara Bunda menghentikanku.
"Indira."
Aku berbalik. Mata Bunda kini menatapku lekat. Di sana tidak ada kemarahan Ayah, tetapi ada kekecewaan yang jauh lebih menyakitkan.
"Kamu dari rumah Neli, kan?" tanya Bunda, suaranya pelan sekali, hampir berbisik.
"Iya, Bun. Tadi aku sempat ke toko buku sebentar, lalu ke rumah Neli sama Imel. Kami diskusi tugas."
Bunda bangkit, berjalan ke arahku. "Tadi Ayahmu menelepon Bunda saat di kantor. Ayahmu tidak percaya, Indira. Dia menelepon Bunda dengan nada cemas, menanyakan apakah kamu benar-benar ada di rumah Neli."
"Aku memang ada di sana, Bun," kataku, berusaha mempertahankan alibi.
Bunda menatapku, matanya berkaca-kaca. "Ayahmu tidak percaya, Nak. Dan Bunda... Bunda tahu Ayahmu benar. Kamu tidak di rumah Neli sepanjang sore, kan? Kamu pergi ke sana... ke rumahnya."
Air mata Bunda menetes. Kekecewaan seorang ibu lebih berat daripada amarah Ayah.
"Kamu melanggar larangan Ayahmu, Indira. Kamu melanggar Garis Batas yang sudah kami pasang, Nak. Bunda tidak pernah mengajarkan anak Bunda untuk berbohong. Apalagi berbohong sambil membawa nama Bunda dan nama sahabatmu."
"Mami Revan merindukanku, Bun! Mami tidak bersalah!" Aku tidak bisa menahan air mataku.
"Aku hanya sebentar. Mami bahkan menyiapkan tempat sholat untukku. Mami tidak pernah memaksaku!"
"Bunda tahu Mami Revan baik, Nak! Bunda tahu! Justru kebaikan itu yang menjadi jebakan kalian!" Bunda merengkuhku, pelukannya kali ini terasa berbeda dari pelukan hangat setelah sholat Maghrib. Kali ini, pelukan ini sarat rasa sakit dan keputusasaan.
"Kamu adalah anak perempuan satu-satunya, Indira. Semua harapan kami ada padamu. Ayahmu sangat percaya padamu. Kenapa kamu merusak kepercayaan itu? Kenapa kamu rela berbohong demi cinta yang kamu tahu sendiri hukumnya bagaimana?"
"Aku tidak tahu, Bun! Aku mencintai Revan, tapi aku tidak mau mengkhianati agamaku. Aku tidak mau Ayah kecewa! Tapi aku tidak bisa kehilangan Mami!" Aku menangis histeris.
Bunda memegang kedua pipiku. "Mendengarkan Ayahmu, itu adalah tanda ketaatanmu pada agama, Nak. Melanggar larangan Ayah, itu adalah awal dari pergeseran Garis Batas di hatimu. Revan berkata dia menghormati agamamu. Tapi apakah kamu menghormati agamamu sendiri dengan mengkhianati kepercayaan orang tuamu?"
Kata-kata Bunda menghantamku telak. Revan menjaga kehormatan di luar, tapi aku, justru mengkhianati kehormatan di dalam rumahku sendiri.
"Mulai sekarang, tidak ada lagi pertemuan, Indira. Ayahmu tidak akan pernah membiarkan ini terjadi lagi. Dan Bunda..." Bunda memelukku lagi, kali ini erat sekali. "Bunda tidak mau kamu mempertaruhkan imanmu demi rasa bersalahmu pada Mami. Itu namanya membenarkan cara yang salah."
Malam itu, aku tidak hanya dihukum oleh kesepian karena harus menjauhi Revan. Aku dihukum oleh rasa bersalah yang menusuk, karena untuk pertama kalinya, aku menyakiti hati seorang ibu, demi membela seorang ibu yang lain. Garis Batas Keyakinan kini tidak hanya memisahkan kami berdua, tetapi juga memisahkan aku dari kejujuran diriku sendiri.