Goresan ISENG!!!
Aku adalah jemari yang gemetar. Berusaha menuliskan cinta yang masih ada, menitip sebaris rindu, setangkup pinta pada langit yang menaungi aku, kamu dan kalian.
Aku coba menulis perjalanan pulang, mencari arah dan menemukan rumah di saat senja.
Di atas kertas kusam, tulisan ini lahir sebagai cara melepaskan hati dari sakit yang menyiksa, sedih yang membelenggu ketika suara tidak dapat menjahit retak-retak lelah.
Berharap kebahagiaan kembali menghampiri seperti saat dunia kita begitu sederhana.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aksara_dee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11 : Wasiat Arwah Suster Rara
Malam di Sanatorium
Gemericik suara hujan di luar kamar masih menemaniku yang terbaring lemah di atas ranjang. Selang infus masih menempel di punggung tangan kananku, karena nyeri gerd yang aku derita tidak kunjung mereda. Tidak ada posisi tidur yang nyaman setelah kejadian itu, bisikan makhluk astral saling bersahutan di telingaku, bayangan kegelapan terus menghantuiku. Aku mendambakan tidur dalam pelukan Prabu yang mustahil kudapatkan ditempat ini.
"Kang mas, kemana kamu... Kenapa kamu tidak mengunjungi aku di sini," lirihku
Kurasa malam kian larut, karena tidak ada jam dinding di kamarku. Suara kegiatan perawat di ruang jaga semakin lenyap. Hening dan sepi. Suara kumbang kebo yang biasa saling bersahutan malam itu tidak terdengar sama sekali. Aku mendengar suara-suara asing, suara rintih tangisan yang menyayat hati. Suara tawa anak kecil menggema memenuhi lorong rumah sakit.
Aku menarik selimut ke atas hingga menutupi kepalaku. Suara jangkrik kian terdengar mendekat, orangtuaku pernah bilang... Jika suara jangkrik semakin mendekat artinya sosok makhluk yang selalu memakai kain kafan berada di dekatku.
Suara rintihan itu terdengar jauh, semakin jauh semakin bulu kudukku meremang. Bulu-bulu di tanganku berdiri hingga pori-pori ku membesar.
"Hania... " mereka memanggilku, bergantian. Lebih dari tiga suara.
Suara itu tidak tunggal, tapi banyak.
"Hania... "
"Aunty cantik"
Aku menutup telingaku, erat, aku tidak mau dimanipulasi lagi oleh Raditya yang berpura-pura menjadi anak kecil. Pagi tadi yang ku lihat dengan jelas tatapan mata 'lapar' nya saat menatap dadaku, tatapan itu bukan tatapan Tya yang mengaku gadis kecil. Tapi tatapan pria dewasa yang bisa menghancurkan aku. Aroma bawang putih dari mulut Raditya masih terekam di benakku.
Sreeekk... Sreekk
Suara benda atau seseorang bergeser di atas lantai, bayangan putih terlihat dari sudut mataku. Aku semakin merapatkan selimut ke arah wajahku. Ia mendekat, aroma anyir terendus begitu dekat. Membuatku kembali mual. Di balik selimut aku bisa merasakan tatapan mata gelapnya terus ke arahku, tatapan yang menusuk dibalik rambut hitamnya yang tergerai menutupi wajah.
"Tolong aku... Hania," bisiknya
"A-aku nggak bisa, kamu menakutkan."
"Bantu aku Hania," suaranya nyaris seperti rintihan pilu.
"Tolong jangan mendekat! Siapa namamu?!" tanyaku, aku merasakan energi yang kuat dari sosok tersebut, aku tidak nyaman, dia berbahaya.
"Namaku Rara, suster Rara. Dia membohongi keluargaku."
"Siapa yang kamu maksud?!"
"Raditya, dia bilang pada orangtuaku akan menikahi ku dan pindah ke New Zealand. Aku masih tertanam di sini, di taman belakang bangunan berwarna hijau. Mereka menguburku di sini."
"Mereka membunuhmu? Siapa mereka suster?" tanyaku
"Raditya dan anak buahnya."
"Apa yang kamu ingin aku lakukan suster Rara?"
"Kabari keluargaku, aku telah meninggal. Tolong aku... "
Tok tok tok
"Rara, aku tahu kamu ada disini." suara anak kecil. Suara Raditya yang berperan sebagai Tya.
"Dengar! Dia datang, Hania. Dia bisa berubah menjadi pria yang menakutkan. Jangan mendekatinya dan tertipu dengannya."
"Rara... Main yuuukk," panggilnya dengan nada mendayu manja seorang anak perempuan kecil.
Tubuhku semakin menggigil ketakutan. Aroma anyir yang tadi begitu menyengat di hidungku perlahan menghilang. Rara pergi? Setelah mendengar Tya memanggilnya. Apa mereka sedang bermain?
Puluhan detik berlalu.
Suara langkah sepatu pantofel menghentak lantai marmer, langkah itu semakin mendekat... Dan ia masuk begitu saja tanpa suara pintu terbuka, membuatku kembali waspada. Aku masih bersembunyi dibalik selimut.
Siapa sosok ghaib ini? Siapa lagi yang hadir? Sedikit mengintip dari pori-pori kain selimut yang tipis dan menerawang. Aroma parfum mahal menyapa hidungku.
"Gawat! Dia ada di sisi ranjangku!"
Raditya.
Dia memakai setelan jas yang ketat membentuk tubuhnya. Rambut ikalnya ia kuncir tinggi.
Air mataku mengalir deras, aku ketakutan. Pertahananku hanya selembar selimut. Bagaimana jika dia menyeret ku kembali ke taman belakang dan membunuhku seperti dia membunuh Rara?
"Dia pasti mengganggumu lagi, Rara memang jahat. Kemarin dia telah menimpuk mu pakai sandal jepit. Tenang saja, aku akan melindungi mu dari Rara dan orang jahat di sekitarku." Tangannya mengelus kepalaku dari atas selimutku dengan lembut.
"Cepatlah sembuh, aku ingin kita menjadi teman. Aku ingin menceritakan banyak hal padamu sebagai Raditya, bukan sebagai Tya. Tidurlah yang nyenyak di kediamanku ini... Selamat tidur Hania," ucapnya.
"Dia tahu namaku?" batinku
Langkah kakinya menjauh. Kini aku mendengar suara pintu ditutup dan dikunci dari luar. Mungkinkah dia memiliki kunci kamarku, darimana ia mendapatkannya?!
Beberapa menit setelah kepergiannya, suasana kamarku terasa hangat. Aroma parfum Raditya masih tertinggal memenuhi udara di ruangan kamarku. Mataku mulai terasa berat, nyeri di perutku perlahan menghilang. Aku terlelap, meninggalkan dunia nyata yang gelap dan penuh bahaya. Kini berganti dengan alam mimpi yang indah, terang benderang, hangat dan ada Prabu Kamandaka di dalamnya.
Sentuhan Prabu yang tidak nyata selalu kurindukan, dan kini, di Sanatorium ini, aku hanya bisa bertemu Prabu Kamandaka di alam mimpi.
...***...
Pagi di Rumah Sakit Khusus Gangguan Mental.
Ceklek
Wina membuka pintu ruangan kerjanya. Ia meletakkan tas laptop dan tas lunch box di atas meja.
"Selamat pagi seniorku yang cantik dan gemoy!" sapa Sabil dengan suara serak khas bangun tidur. Ia menggeliat di atas sofa kecil ruangan Wina.
"Astaga! Ngapain kamu tidur di sini?!"
"Aku ingin memberitahukan mu aturan rumah sakit dan aturan di divisi kita, berhubung aku adalah kepala divisinya, aku yang harus menegur kamu. Di jadwal yang kuterima, kamu seharusnya menjadi dokter jaga tadi malam. Kemana kamu semalam mbak?" tanya Sabil sambil memicingkan matanya
"Bil, aku tukar jadwal dengan dokter Ernst. Suamiku ngajak makan malam bisnis dengan kliennya." Wina duduk di depan Sabil.
"Penilaian E untuk lembar kinerja minggu ini," ancamnya.
"Apaan sih kamu! Aku bukannya tidak masuk, aku sudah datang dan menjalankan tugasku sampai jam delapan, terus pamit pulang dan Ernst bersedia menghandle jobku semalam. Kamu juga pernah gitu, kan!" protes sekaligus tuduhan Wina.
"Nggak, aku nggak pernah kayak gitu, mbaku yang gemoy!" jawab Sabil.
"Apa mau kamu sebenarnya, pagi-pagi udah bikin rusuh di ruanganku."
"Nggak usah pura-pura nggak tahu mbak, kemana kamu pindahkan Hania?" Sabil membuka kotak makan Wina yang ada di atas meja.
"Aku nggak tahu Bil, Hania dijemput keluarga dari mamanya. Adik dari mamanya yang jemput saat itu. Kamu bisa lihat di jurnal kalau hari itu aku masih melayani ratusan pasien."
"Iya kalau yang kamu maksud itu kemarin, kamu memang melayani ratusan pasien. Tapi Hania keluar dari rumah sakit bukan kemarin tapi kemarin lusa, jelas perbedaannya. Saat aku baru saja keluar dari area parkir, kalian langsung memindahkannya."
Wina mulai gugup, wajahnya pias.
"Dua malam kerja keras 48 jam, wajar kalau semalam kamu diberi libur oleh papa mertuaku, bukan begitu dokter Wina?" serang sabil santai tapi mampu membuat Wina gugup setengah mati dan akhirnya bungkam ketika bekal sarapan miliknya dimakan Sabil.
Sabil meletakkan box bekal yang sudah kosong di depan Wina, lalu ia sendawa pelan. "Kamu nggak punya air minum mba? Tenggorokanku seret," keluhnya, seolah memerintah seniornya mengambilkan minum.
Wina berdiri lalu berjalan ke arah lemari pendingin di ruangannya. "Cih, dokter nggak ada akhlak! Jatah puding pasien sering kamu makan, sekarang bekal sarapanku kamu embat!" gerutu Wina.
"Hanya puding Hania yang aku makan, karena hanya dia pasien yang kamarnya bersih dan wangi. Berbagi satu cup puding dengannya pun aku ikhlas," jawab Sabil.
"Sudah pergi sana, Bil. Aku mau beres-beres ruangan dan ganti baju," usir Wina.
"Berikan dulu alamat Hania, maka aku akan pergi."
"Never!" Wina menarik lengan Sabil lalu menyeretnya keluar.
Tidak lama Sabil pergi, handphone Wina terus berbunyi, panggilan dari Sanatorium menjerit tiga kali. Wina bergegas menggeser tombol hijau untuk menerima telepon.
"Halo Wina, bisa kamu ke sini sebentar. Sepupumu kejang!"
"Apa?! Kenapa bisa begitu?!" "Baik, aku segera ke sana!"
Wina langsung menyambar handbag dan tas dokter miliknya. Ia bergegas pergi meninggalkan rumah sakit. Kepanikan membuatnya lengah, Sabil mengekori perjalanan Wina menuju lembang.
merinding aku Thor.....😬
kenapa prabu seperti nya marah ?