NovelToon NovelToon
Mirror World Architect

Mirror World Architect

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi / Anak Genius / Horror Thriller-Horror / Epik Petualangan / Dunia Lain / Fantasi Wanita
Popularitas:177
Nilai: 5
Nama Author: PumpKinMan

Satu-satunya hal yang lebih buruk dari dunia yang rusak adalah mengetahui ada dunia lain yang tersembunyi di baliknya... dan dunia itu juga sama rusaknya.

Rania (21) adalah lulusan arsitektur terbaik di angkatannya. Sekarang, dia menghabiskan hari-harinya sebagai kurir paket. Baginya, sarkasme adalah mekanisme pertahanan, dan kemalasan adalah bentuk protes diam-diam terhadap industri yang menghancurkan idealisme. Dia hanya ingin hidup tenang, mengabaikan dunia, dan membayar sewa tepat waktu.

Tapi dunia tidak mau mengabaikannya.

Semuanya dimulai dari hal-hal kecil. Bayangan yang bergerak sepersekian detik lebih lambat dari seharusnya. Sensasi dingin yang menusuk di gedung-gedung tua. Distorsi aneh di udara yang hanya bisa dilihatnya, seolah-olah dia sedang melihat kota dari bawah permukaan air.

Rania segera menyadari bahwa dia tidak sedang berhalusinasi. Dia adalah satu-satunya yang bisa melihat "Dunia Cermin"-sebuah cetak biru kuno dan dingin yang bersembunyi tepat di balik realita

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PumpKinMan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 11: SUARA LANGKAH KAKI DI ATAS KAYU

Kegelapan itu absolut.

Pintu jebakan itu terbanting menutup dengan suara *THUD* final yang menggema, mengirimkan getaran melalui lantai batu yang dingin. Suara itu, yang seharusnya memantul, malah terasa *diserap* oleh dinding-dinding hitam yang miring. Ruang bawah tanah itu kembali ke keheningan yang pekat dan mati.

Rania dan Reza membeku.

Napas Reza tertahan di tenggorokannya. Rania bahkan tidak bernapas. Dia hanya... mendengarkan.

Di atas mereka, di dalam kafe yang seharusnya kosong dan aman, suara langkah kaki itu terdengar.

*KREK...*

Lantai kayu tua di atas pantry mengerang.

*KREK...*

Langkah kaki itu berat. Terukur. Tidak terburu-buru. Siapa pun itu, dia tidak sedang mencari-cari. Dia *tahu* mereka ada di bawah sana.

"Ra..." bisik Reza, suaranya gemetar begitu hebat hingga nyaris tak terdengar. Dia merogoh sakunya, fumbling mencari ponsel.

"Ssst! Jangan nyalakan," Rania balas berbisik. Suaranya sangat pelan, tapi setajam pisau bedah. Dingin. Dia meraih pergelangan tangan Reza dalam kegelapan, cengkeramannya kuat, menghentikan gerakan temannya.

Mereka mendengarkan bersama dalam kegelapan total.

Langkah kaki itu menjauh dari pantry, bergerak ke ruang utama kafe.

*KRRRSSSHHH...*

Itu adalah suara yang mereka berdua kenali. Suara kursi kayu yang diseret melintasi lantai. Kursi yang sama tempat Rania duduk, gemetar, beberapa jam sebelumnya.

Lalu, *KLIK*.

Sebuah suara kecil, mekanis. Diikuti oleh *KLIK* lain. Dan *KLIK* lain.

"Dia... dia menyalakan saklar lampu," bisik Reza, suaranya pecah karena panik.

"Dia memeriksa tempat ini," gumam Rania. Dia memaksa otaknya bekerja. Dia bukan lagi korban halusinasi. Dia adalah seorang arsitek yang terpojok di dalam geometri yang salah.

Mereka mendengar suara *SWISH...*

Lalu *SWISH...* lagi.

"Kerai bambu," bisik Rania. "Dia membukanya."

Jantungnya berdebar kencang. *Dia sedang melihat ke luar. Dia memeriksa jalanan. Dia mencari rute pelarian kita? Atau... dia memberi isyarat pada seseorang?*

*KREK... KREK... KREK...*

Langkah kaki itu kembali. Berjalan pelan melintasi kafe. Melewati konter.

Masuk ke dalam pantry.

Langkah kaki itu berhenti. Tepat di atas kepala mereka.

Keheningan yang pekat itu kembali. Ruangan di bawah tanah itu terasa menyusut, menekan mereka. Rania bisa mendengar detak jantungnya sendiri, berdebar lambat dan berat di telinganya.

Satu detik. Dua detik.

Siapa pun yang ada di atas sana, dia sedang berdiri di atas pintu jebakan, mendengarkan mereka, sama seperti mereka mendengarkannya.

Sebuah permainan menunggu yang mengerikan.

"Kita harus keluar," Reza terisak pelan. "Ra, dia akan—"

"Tidak ada jalan keluar," potong Rania, suaranya masih sedingin es. "Ruangan ini segel."

Dia melepaskan Reza. Dia tidak bisa membiarkan kepanikan temannya menular padanya. Dia butuh data. Dia butuh *blueprint*.

Dia meraih senter LED dari sakunya. Dia tidak menyalakannya. Dia menutup sebagian besar lensanya dengan telapak tangan, hanya menyisakan celah kecil di antara jari-jarinya.

Dia menekannya.

Seberkas cahaya putih tipis, setipis silet, memotong kegelapan.

"Reza," bisiknya, "nyalakan senter ponselmu. Arahkan *hanya* ke tangga batu. Jangan ke atas."

Reza, gemetar, mengangguk dan menurut. Cahaya redup dari ponselnya menerangi lima anak tangga batu kasar di belakang mereka. Jalan keluar mereka, kini menjadi jalan buntu.

Rania mengarahkan berkas cahayanya ke depan. Meja *drafting* kuno itu muncul dari kegelapan, tertutup debu yang tidak bergerak.

"Jurnal itu," kata Rania. "Dia bilang ruangan ini 'bocor'. Itu berarti ada... ada retakan lain selain pintu."

Dia bergerak cepat dan sunyi ke arah meja, sementara Reza tetap di dekat tangga, matanya terpaku pada bayangan pintu jebakan di langit-langit hitam.

Rania menyinari buku catatan bersampul kulit itu lagi.

*"Jangan biarkan Desain 'Sang Geometer' masuk..."*

Dia menyinari dinding di belakang meja. Dinding obsidian yang halus dan dingin. Dia mencarinya. Retakan. Sambungan. Sesuatu yang *salah* dalam desain yang sudah salah ini.

Tidak ada apa-apa. Dinding itu adalah satu lempengan mulus.

"Tidak mungkin," gumamnya. "Sebuah ruangan harus punya sambungan. Sebuah desain harus punya—"

Dia berhenti. Jarinya, yang meraba-raba permukaan dinding yang dingin, merasakan sesuatu.

Itu bukan retakan. Itu adalah *goresan*.

Sebuah ukiran.

Dia memfokuskan cahaya senternya. Itu adalah simbol.

Rania terkesiap, mundur selangkah kecil.

Itu adalah simbol yang *sama* yang dia lihat dalam mimpinya. Simbol yang sama yang Pak Tua Yusuf lihat membara di telapak tangannya. Simbol yang dia *rasakan* terikat pada Mangkuk Kuno itu.

Denah katedral kosmik. Sigil pribadi "Sang Geometer".

Ukiran itu digoreskan langsung ke dinding obsidian, dengan presisi matematis yang mustahil.

Saat cahaya senter Rania menyentuhnya, ukiran itu seakan *meminum* cahaya itu. Garis-garisnya yang halus tampak berdenyut sesaat.

Dan Rania mendengarnya lagi. Bisikan di dalam kepalanya.

*...sudut membelah bidang... struktur menuntut keseimbangan...*

Bisikan itu lebih keras sekarang. Dan tidak hanya di dalam kepalanya. Bisikan itu datang *dari* dinding.

*THUD!*

Di atas mereka. Suara yang memekakkan telinga.

Reza menjerit pelan.

Langkah kaki itu telah bergerak. Intruder itu baru saja menjatuhkan sesuatu yang berat ke lantai kafe. Mungkin linggis.

*KREK. KRAK.*

Suara kayu yang dipaksa.

"Dia... dia membuka pintunya!" bisik Reza, panik. Dia mengarahkan senter ponselnya ke pintu jebakan di atas.

Bayangan di atas mereka bergeser.

*KRAAAAAK!*

Satu engsel besi tempa di sisi lain menjerit saat linggis itu merobeknya dari kusen.

"Dia masuk! Ra, kita harus sembunyi!" Reza merangkak ke sudut tergelap di bawah tangga batu.

Tapi Rania tidak bergerak. Dia terpaku di depan simbol di dinding.

Rasa dingin baja di tulangnya kini bercampur dengan sesuatu yang lain. Sesuatu yang *familiar*.

*...desain yang salah harus 'diluruskan'...*

Bisikan itu semakin kuat. Dia merasakan denyutan dari Mangkuk Kuno di dalam dirinya, *beresonansi* dengan simbol di dinding.

"Rania! Cepat!"

Di atas mereka, pintu jebakan itu terdorong terbuka dengan erangan kayu yang patah.

Cahaya temaram dari kafe—yang kini diterangi lampu—membanjiri tangga batu.

Sesosok bayangan besar dan gelap memenuhi lubang di langit-langit itu.

Bayangan itu berhenti, menatap ke dalam kegelapan di bawah.

Rania mematikan senternya.

Dia berdiri dalam kegelapan total, di depan simbol itu, membelakangi tangga.

Dia mendengar suara intrusi itu. Suara sepatu bot berat di anak tangga batu pertama.

*Krek.*

Dia mendengar napas pria itu. Tenang. Terlatih.

Dia mendengar suara *klik-hiss* yang dia kenali.

Suara payung lipat hitam yang dibuka di ruang sempit.

"Kami tahu kamu di sini, Anomali," sebuah suara berkata dari tangga. Datar, tanpa emosi, seperti suara Dokter Aris, tapi dengan ancaman yang nyata. "Ordo tidak suka jika desainnya diganggu."

Pria berpayung itu mulai menuruni tangga.

Rania tidak bergerak. Dia hanya menatap ke dinding hitam di depannya, di mana dia tahu sigil itu berada.

"Aku tidak mengganggu desainnya," bisik Rania ke dinding, suaranya sendiri terdengar asing, dingin, dan penuh dengan gema matematis.

"Aku sedang membacanya."

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!