NovelToon NovelToon
THE SMILING KILLER : Faces Of Mercy

THE SMILING KILLER : Faces Of Mercy

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Action
Popularitas:518
Nilai: 5
Nama Author: Firmanshxx969

Di tengah gemerlap kota, kegelapan purba bangkit.

​Satu per satu, para elite yang telah "bertobat" ditemukan tewas dalam ritual penyiksaan yang mengerikan. Mantan preman, pengusaha licik, semua yang kini dermawan, tubuhnya dipajang sebagai altar dosa masa lalu mereka.

​Sang pembunuh tidak meninggalkan sidik jari. Hanya sebuah teka-teki teologis: ayat-ayat Alkitab tentang murka dan penghakiman yang ditulis dengan darah.

​Media menjulukinya: "Sang Hakim".

​Ajun Komisaris Polisi (AKP) Daniel Tirtayasa, detektif veteran yang hidupnya ditopang oleh iman, ditugaskan memburu bayangan ini.

​Namun, perburuan kali ini berbeda. Sang Hakim tidak hanya membunuh; ia berkhotbah dengan pisau bedah, memutarbalikkan setiap ayat suci yang Daniel pegang teguh. Setiap TKP adalah kapel penghujatan yang menantang eksistensi pengampunan.

​Kini, perburuan ini menjadi personal.

​Mampukah Daniel menangkap Sang Hakim sebelum imannya sendiri hancur berkeping-keping?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Firmanshxx969, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 21

Bau disinfektan dan parfum mahal yang basi, kombinasi aneh yang selalu menyambut Daniel di TKP orang kaya. Tapi kali ini, ada tambahan aroma tembaga tipis yang familier. Darah.

"Sial," gumam Iptu Hasan, suaranya serak dan penuh kelelahan. "Tempat ini lebih mirip museum daripada apartemen. Dan baunya sama."

AKP Daniel Tirtayasa tidak menjawab. Ia melangkah melewati pita kuning yang membentang di pintu penthouse baja yang telah dibuka paksa. Perasaannya: dingin. Bukan dingin karena AC di lobi yang disetel rendah. Dingin karena kemarahan yang membeku.

Dua hari.

Baru dua hari lalu Sang Hakim mengiriminya video Nadia di ayunan. Video itu adalah sebuah distraksi. Sebuah manuver psikologis yang dirancang dengan brilian untuk membuat seluruh Satgasus panik, memecah fokus mereka, dan membuat Daniel, sang Gembala, sibuk mengamankan kandangnya sendiri.

Dan itu berhasil.

Sementara Daniel sibuk mengatur pengawasan rahasia untuk rumahnya, berbohong pada istrinya, dan membiarkan Dr. Maya membedah ancaman personal itu... Sang Hakim, dengan ketenangan seorang ahli bedah, melanjutkan agendanya.

Dia tidak mengubah rencananya. Dia tidak terburu-buru. Dia hanya membuat Daniel sibuk mengejar bayangannya sendiri.

Daniel merasa dibodohi. Dan rasa itu, bagi seorang detektif, terasa seperti racun. Itu adalah kegagalan profesional yang menusuk jauh lebih dalam daripada ancaman fisik.

"Di sana, Ndan." Ipda Adit menunjuk dengan dagu. Wajahnya pucat, tapi kali ini ia tidak membuang muka. Setelah video Nadia, kasus ini telah berubah bagi seluruh tim. Kini ada kemarahan kolektif yang tumpul. Adit memaksa dirinya melihat.

Di sanalah ia. Ahmad Sahroni. Korban ketiga.

Daniel berjalan mendekat, kakinya terasa berat di atas lantai marmer Italia. TKP ini adalah sebuah pernyataan arogansi.

Sahroni tidak duduk di kursi. Ia tewas di lantai, persis di depan jendela raksasa yang menampilkan panorama Jakarta. Posisinya adalah gema yang mengerikan dari Lukas dan Riana: berlutut, kepala tertunduk, tangan tergenggam di depan dada. Seolah sedang berdoa, memohon pengampunan dari kota yang pernah ia kuasai.

"Dia melakukannya lagi," bisik Daniel, lebih pada dirinya sendiri.

Luka-lukanya identik. Ratusan tusukan kecil yang presisi. Skalpel nomor 11. Tidak ada darah berceceran. Bersih. Ritualistik. Sebuah signature yang rapi.

Tapi ada yang berbeda. Sebuah variabel baru dalam persamaan yang mematikan ini.

Di sekeliling tubuh Sahroni, berserakan ratusan lembar kertas. Seperti karangan bunga yang membusuk. Daniel berjongkok, tidak menyentuh. Di setiap lembar, ia membaca: REFORMASI... KEBANGKITAN... PENEBUSAN BANGSA...

"Pidato kampanyenya," kata Hasan, ikut berjongkok di jarak yang aman. "Pelakunya menempatkannya di sini. Dia mengejeknya."

"Dia tidak hanya mengejeknya," koreksi Daniel, matanya menajam. Ia menunjuk ke wajah Sahroni yang membiru. Mulutnya sedikit terbuka dalam ekspresi ngeri yang abadi.

Benda itu hilang.

"Ya Tuhan," bisik Adit, akhirnya menahan rasa mual. "Dia mengambil lidahnya."

Daniel mengangguk, rasa dingin itu semakin menusuk. Sebuah pola yang lebih spesifik kini terbentuk.

Lukas, si pemeras dan preman, kehilangan "tangannya" (disiksa dengan ratusan luka).

Riana, si penipu, kehilangan "wajahnya" (citranya).

Dan Sahroni, sang orator ulung, politisi yang senjatanya adalah kata-kata... kehilangan lidahnya.

Di atas meja kopi di dekatnya, kotak kayu eboni itu masih terbuka, memamerkan pasir pantai dan koin perak kusam. Dosa spesifiknya.

"Pagi, Detektif."

Suara itu memecah keheningan. Tenang, berwibawa, dan familier.

Daniel berbalik. Dari pintu lift pribadi, melangkah masuk Dr. Samuel Adhinata. Seperti biasa, penampilannya tanpa cela. Setelan charcoal grey yang dijahit sempurna, kemeja putih seputih salju. Dia tidak terlihat seperti seseorang yang baru saja dipanggil ke TKP pembunuhan brutal. Dia terlihat seperti akan memimpin rapat dewan.

Dia adalah anggota inti Satgasus. Dia memiliki akses penuh. Dia tidak perlu menunggu di luar.

"Sam," sapa Daniel singkat. Dia mengamati wajah Samuel, mencari... sesuatu. Reaksi. Keterkejutan. Apa saja. Tapi di sana tidak ada apa-apa selain profesionalisme yang dingin.

Samuel langsung bekerja. Dia memindai ruangan, matanya menyerap setiap detail seolah sedang mengkatalogisasi sebuah pameran. Dia berjalan mendekati mayat itu, gerakannya anggun, tidak terganggu oleh kengerian di depannya.

"Ahmad Sahroni," kata Samuel. "Luka tusukan multipel, konsisten dengan dua korban sebelumnya. Skalpel. Presisi yang sama."

Ia kemudian berjongkok di dekat tumpukan pidato yang berserakan.

"Tapi... ini baru," lanjutnya, menunjuk kertas-kertas itu. "Dan lidahnya... diambil. Sangat... teatrikal."

"Ini motif teologis," kata Adit, mengulangi pelajaran dari Dr. Maya. "Dia menghukum si pendosa sesuai dosanya. Dosa lidah, dihukum di lidah. Ini memperkuat profil Dr. Maya."

Samuel terdiam sejenak. Dia berdiri, menatap Adit, lalu menatap Daniel.

"Mungkin," kata Samuel pelan. "Analisis teologis itu memang menggoda, Ipda Adit. Sangat... puitis. Sangat sesuai dengan profil Maya. Tapi itu juga bisa menjadi tirai asap yang sempurna."

Daniel menajamkan pendengarannya. "Apa maksudmu, Sam?"

"Maksudku," kata Samuel, berjalan ke arah meja kopi, mengambil pulpen dari sakunya dan menggunakannya untuk menunjuk tumpukan pidato. "Bahwa kita mungkin terlalu fokus pada 'kenapa' yang abstrak, dan melupakan 'kenapa' yang sangat konkret."

Dia mengetuk-ketuk lembaran kertas itu.

"Sahroni adalah seorang politisi. Tapi dia juga seorang pembicara. Seorang komunikator. Senjatanya bukan hanya UU, tapi kata-kata. Dia membungkam lawan-lawannya di mimbar. Dia menghancurkan reputasi dengan satu wawancara. Dia memanipulasi opini publik dengan satu pidato."

Samuel berbalik, kini menatap lurus ke arah Daniel dan Adit.

"Lupakan dulu soal 'Hakim' yang agung atau 'luka trauma' masa lalu. Mari kita pikirkan sesuatu yang lebih mendasar. Balas dendam."

Dia mengangkat satu jari. "Pelaku kita sangat tahu media. Dia menyebarkan pidato-pidatonya. Dia ingin kita melihat ini. Dia ingin kita tahu ini semua tentang komunikasi."

Jari kedua diangkat. "Dia mengambil lidahnya. Bukan untuk simbolisme 'dosa' yang abstrak. Tapi untuk simbolisme pembungkaman yang sangat harfiah."

Jantung Daniel berdebar sedikit lebih cepat. Logika Samuel, seperti biasa, sangat runut, bersih, dan memikat.

"Jadi, kau bilang ini bukan Sang Hakim?" tanya Adit, bingung.

"Oh, bisa jadi itu nama samarannya. Tapi motifnya," Samuel tersenyum tipis, senyum yang tidak pernah sampai ke matanya, "mungkin jauh lebih sederhana. Bukan teologi. Tapi kompetisi profesional."

Dia berjalan ke arah Daniel. "Aku sarankan kalian jangan buang waktu terlalu banyak mengejar hantu teologis yang disodorkan Dr. Maya. Profil psikologis itu elegan, tapi itu hanya akan membawamu mengejar trauma yang tidak bisa diukur."

Dia menepuk bahu Daniel pelan, sebuah gestur yang terlalu intim untuk sebuah TKP.

"Pelakumu bukan pendeta yang marah, Daniel. Dia adalah seorang praktisi media yang tersakiti. Seseorang dari lingkarannya sendiri. Jurnalis yang karirnya dia hancurkan. Juru bicaranya yang dia pecat. Lawan politik yang dia bungkam dalam debat. Seseorang yang ingin membungkam Sahroni, secara harfiah. Kejar petunjuk itu."

Samuel melirik jam tangannya. "Aku harus kembali ke lab. Menganalisis sisa-sisa pasir dan koin perak yang kalian temukan di meja itu. Ironis, dia masih meninggalkan jejak teologisnya. Dia seperti seniman yang tidak bisa memutuskan alirannya. Atau mungkin," tambahnya, "dia ingin kita berpikir dia seorang teolog."

Dengan itu, Samuel Adhinata berbalik dan berjalan keluar dari penthouse itu, meninggalkan keheningan yang lebih berat di belakangnya.

Adit langsung membuka tabletnya. "Itu... sangat masuk akal, Ndan. Jauh lebih konkret daripada profil psikologis. Kita harus segera menarik data tim komunikasi Sahroni."

Daniel mengangguk, tapi matanya masih terpaku pada mayat Sahroni.

"Lakukan," kata Daniel.

Adit bergegas pergi untuk memberi perintah.

Daniel ditinggal sendirian dengan si mayat. Analisis Samuel sangat logis. Sempurna.

Dia baru saja menghancurkan profil psikologis Dr. Maya dengan logika forensik yang dingin. Dia mengarahkan mereka menjauh dari teologi (yang mengarah ke trauma) dan mendekat ke dunia media (sebuah jalan buntu baru yang sempurna).

Dan Daniel... Daniel sadar apa yang baru saja terjadi.

Dia menatap Samuel yang melangkah masuk ke lift.

Dia tidak suka ada ahli lain di ruangannya, pikir Daniel, teringat pada egonya saat berdebat dengan Maya.

Tapi kemudian, sebuah pikiran yang lebih dingin melintas.

Atau...

Dia tidak suka Maya. Karena Maya benar.

Daniel menatap kabel mikrofon yang terpasang di sound system mewah Sahroni di sudut ruangan.

Kenapa dia tidak pakai itu? batin Daniel. Lebih mudah. Lebih cepat. Lebih 'media'.

Tapi dia memilih skalpel. Dia memilih ritual. Dia meninggalkan pasir dan koin.

Samuel salah, pikir Daniel. Dia berbohong.

Dia tidak hanya salah. Dia secara aktif mengarahkan mereka ke arah yang berlawanan dari bukti. Dia menggunakan pidato itu sebagai pengalih perhatian, sama seperti dia menggunakan video Nadia sebagai pengalih perhatian.

Dia sengaja mengabaikan ritual skalpel dan pasir itu. Dia mengarahkan kami pada kabel mikrofon yang bahkan tidak dia gunakan.

Kenapa?

Untuk pertama kalinya, Daniel menatap punggung Samuel yang menghilang di balik pintu lift, dan dia tidak lagi melihat seorang "ahli". Dia melihat sebuah tanda tanya besar.

1
Haruhi Fujioka
Wow, endingnya bikin terharu.
Si Hibernasi: mampir kak, judulnya Iblis penyerap darah, mungkin saja suka🙏
total 1 replies
Gohan
Ceritanya bikin merinding. 👻
naotaku12
Dapet pelajaran berharga. 🧐📝
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!