NovelToon NovelToon
BAYANG MASA LALU KELUARGA

BAYANG MASA LALU KELUARGA

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia
Popularitas:2.5k
Nilai: 5
Nama Author: biancacaca

Najla anerka ariyani arutama
Nama dia memang bukan nama terpanjang di dunia tapi nama dia terpanjang di keluarga dia
Memiliki 4 saudara laki laki kandung dan 3 saudara sepupu dan kalian tau mereka semua laki laki dan ya mereka sangat overprotektif akhh ingin sekali menukar merek semua

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon biancacaca, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

PART 14

Malam itu berbelok jadi hitam yang lebih pekat. Mereka berpisah—dua kegelapan yang sama-sama tajam. Kenzi berjalan cepat bersama Damar menuju titik ekstraksi, wajahnya tersapu lampu jarak jauh saat mereka menyelinap ke gang sempit. Di tangan Kenzi: dua flashdisk, dua napas bukti yang bakal mengubah permainan. Di kepalanya: rencana enkripsi dan jaringan respawn. Di telefon kecilnya, pesan terakhir dari Arlen berkedip—satu kata: “Lakukan.”

Di bawah, Arlen, Najla, dan Kaelan mengendap lagi ke lubang yang sama. Ventilasi terasa seperti mulut ikan yang menelan mereka utuh. Najla membawa foto Arvella, barcode yang mengarah ke Sanctuary 9: sebuah peta kecil yang kini menempel di pikirannya seperti luka. Kaelan menempelkan wajah ke kisi logam, mendengarkan pola langkah di bawah—ada jeda, ada ritme. Mereka menunggu ritme itu salah.

Mereka menuruni tangga servis yang licin dari uap pendingin. Di lorong servis, dinding-dinding penuh pipa dan label: “Non-akses”. Lampu darurat berkedip-coklat; tiap detik terasa seperti pengukur tumpukan bambu yang siap roboh. Najla mengatur napas. Dia mengingat momen ketika seseorang pernah menolongnya—sepotong kebaikan kecil yang kini terikat pada borgol yang dilihatnya tadi. Itu membuat daktilnya padat, membuatnya tak bisa mundur.

Di halaman gudang, kerumunan berseragam tidak berubah jadi sekedar penjaga—mereka jadi pilar kawasan; wajah-wajah tertutup, gerak mereka robotik. Arlen memerintahkan Kaelan mengalihkan perhatian: dua ledakan kecil, bunyi seperti lemparan ban bekas, lalu suara kaca retak dari seberang gudang. Dua orang bergerak ke sumber, robot patroli mengikuti. Itu celah—celah kecil seperti rahang yang terbuka.

Najla merayap lewat bayang, membekukan setiap otot. Di balik tumpukan drum minyak, dia melihatnya: sosok yang diborgol—bukan pejabat, bukan informan asing—tetapi seseorang yang pernah memberinya selimut di malam hujan. Wajah itu samar di sela asap, tapi ada garis bekas luka yang Najla kenal. Nafasnya menegang. Ini bukan misi statistik—ini misi rasa.

Arlen menghitung langkah. “Saat aku bilang tiga, kita bergerak.” Suaranya datar, tapi matanya menyala. Kaelan melompat lebih dulu—cepat, sunyi—membuka borgol dengan alat kecil yang ia sebut “cicak”. Najla menahan napas saat alat itu bekerja; setiap klik seperti lonceng kecil. Di telinganya, radio kecilnya bergetar: Kenzi—suara terdistorsi—“Link aman siap. Jika kalian perlu off-grid, sekarang.”

Di atas, Damar mengawasi jalan keluar. Dia memberi kode lewat lampu kecil ke Kenzi: jalur bersih, kendaraan hijau siap. Kenzi menatap dua flashdisk yang berkilau di tangan; ia hampir ingin memecahkannya, mengubur bukti itu di tanah jika semua gagal. Namun matanya menangkap sesuatu di layar—sebuah file kecil yang terus berpindah lokasi, seperti bayangan yang tak mau tertangkap. Ada pola: bukan hanya relokasi, tetapi jaringan—anak-anak yang “dipindahkan” bukan sekedar data, mereka dialihkan ke rantai institusi.

Di bawah, pintu belakang gudang akhirnya terbuka dari dalam—Kaelan berhasil. Mereka menyelinap masuk; langkahnya lebih cepat sekarang, naluri mengalahkan rasa takut. Saat Najla memeluk tangan borgol itu, sosok yang ditangkapnya membuka mata—mata itu penuh pengakuan, lalu ia tersenyum samar. “Naj… kau datang,” bisiknya. Suara itu seperti kunci.

Namun kebahagiaan itu singkat. Sirene berubah nada: bukan lagi peringatan, melainkan sinyal eskalasi. Di layar ponsel Kenzi, sebuah notifikasi muncul—feed jadwal Council menampilkan satu nama yang baru: Sanctuary 9. Waktu publikasi: sekarang. Mereka menyadari satu hal yang membuat darah berhenti: Council tidak hanya menyimpan bukti—mereka mengontrol narasi. Segera setelah bukti bocor, Council bisa menandai target dan menempatkan mereka di bawah label kriminal, pasien, atau “pemulihan”.

Najla menatap Arlen. “Kita punya dua pilihan: larikan dia sekarang dan bawa bukti ke publik—atau bawa dia ke Sanctuary 9 dan cari jawaban langsung.” Di wajah Arlen, keputusan berputar. Di luar, lampu kota seperti jarum jam yang berpacu. Najla meraih tangan orang yang pernah menolongnya; ia menarik, kuat. “Kita pulang bawa yang hidup,” katanya. “Kita tidak mau jadi saksi yang tak pernah bicara.”

Mereka berlari—melawan waktu, melawan jaringan yang sedang menutup jalan. Di atas, Kenzi dan Damar menoleh ke jalur pelabuhan; kapal hitam itu bergerak, tanda bahwa permainan sudah berubah skala. Di bawah, Najla mengikat borgol longgar dengan kain, sambil menahan napas. Mereka tahu—sekali mereka keluar, tidak ada lagi ruang abu-abu. Dunia akan melihat, atau Council akan menulis ulang cerita malam ini.

Di detik ketika pintu gudang terbuka ke udara dingin luar, bayang-bayang bergerak. Dari antara asap dan lampu, dua siluet muncul—bukan penjaga, bukan drone—sebuah figur dengan mantel panjang dan rambut putih; Orion, lagi. Di sampingnya, Widya melangkah pelan, senyum dingin menempel di bibir. “Selamat datang kembali,” kata Orion. “Kami menunggu babak selanjutnya.”

Arlen menahan tubuh, nyawa mereka seakan tergantung pada satu tarikan napas. Najla menatap Orion, lalu ke foto kecil di sakunya—Arvella, Sanctuary 9, kode yang belum pernah padam. Di antara gemuruh sirene dan langkah kaki yang mendekat, ia berbisik, “Kalau kita harus jatuh, biarkan itu membuat mereka ingat siapa kita.”

Di ujung lorong, Kenzi menatap ponselnya, menghitung koneksi yang tersisa. Ia menekan satu tombol—transfer publik terpending—sementara di sisi lain, Arlen mengangkat dadanya. Malam belum selesai. Mereka melangkah maju, dan kota menahan napas untuk melihat apakah kebenaran akan meledak menjadi cahaya, atau tersedot habis oleh kegelapan.

Angin di luar gudang bertiup rendah, membawa bau besi dan ozon dari alat-alat Council yang masih aktif. Lampu sorot berpendar seperti mata predator yang berganti berkedip, membuat bayangan bergerak tak karuan.

Orion berdiri seperti pondasi yang sulit digoyah. Tenang. Terlalu tenang.

Widya di sisinya tidak sesantai itu—bahunya turun sedikit, bukan karena kalah, tapi karena siap bergerak. Ia orang yang tidak mengancam. Ia orang yang langsung mengeksekusi.

Arlen maju selangkah, menarik Najla sedikit ke belakang.

Kaelan sudah menyelip di sisi kanan, menunggu titik buta.

Di tangan Arlen tidak ada senjata.

Hanya tekad.

"Kau mau negosiasi?" suara Orion bergema datar.

Najla menjawab duluan, suaranya memotong udara dingin:

"Tidak. Kami mau pulang. Dengan dia."

Ia mengangkat dagu ke arah sandera yang kini setengah tersandar pada Kaelan—lemas, tapi hidup.

Orion menyunggingkan senyum kecil.

"Orang-orang selalu pikir pulang itu keputusan. Padahal itu hak istimewa."

Widya bergerak duluan.

Tidak ada aba-aba.

Tidak ada countdown.

Ia menghilang dari titiknya seperti asap yang ditiup, lalu muncul di dekat Kaelan dalam jarak bunuh.

Kaelan menangkis reflex, dua lengan bertumbuk, suara daging dan tekanan udara—DUK—seperti pintu brankas tertutup.

Kaelan terdorong satu langkah.

Widya tidak maju untuk memukul lagi. Ia maju untuk mengunci sandera.

Najla sadar sekejap:

"Dia bukan ngeincar kita. Dia ngeincar orang yang kita bawa."

Maka Najla bergerak melawan gravitasi rasa takutnya sendiri.

Ia menubruk sisi tubuh Widya, bukan dengan teknik, tapi keberanian mentah. Tubrukan yang tidak indah, tapi cukup untuk menggeser lintasan tangan Widya sejauh 20 cm.

Cukup bagi Kaelan untuk mengunci lengan sang sandera lebih kencang dan memutar tubuhnya ke sudut aman.

---

Arlen vs Orion.

Sementara itu, Orion dan Arlen saling menatap seperti dua senapan yang belum menembak hanya karena menunggu siapa yang kedip duluan.

Lalu Orion melangkah.

Tidak cepat. Tidak lambat.

Pasti.

Telapak tangannya terbuka, bukan mengepal—gaya yang hanya dipakai orang yang yakin pukulan pertama akan langsung melumpuhkan.

Arlen tidak menunggu dihajar.

Ia menabrakkan sikunya lebih dulu ke arah rusuk Orion.

Tapi Orion menangkap sikunya di udara.

Lalu memutar.

Arlen ikut berputar, memakai momentum untuk menendang rendah ke lutut Orion.

Tok. Bukan suara tulang patah. Tapi suara benturan yang setara.

Mereka sadar dalam satu detik yang sama:

Mereka sebaya dalam cara bertarung.

Bedanya cuma satu—

Arlen bertarung karena melindungi.

Orion bertarung karena tugas.

Motivasi membuat sudut serang mereka beda:

Arlen menyerang untuk membuka celah.

Orion menyerang untuk menutup semua kemungkinan.

---

Widya hampir berhasil.

Najla terdorong ke tanah saat Widya menyambar pergelangan sandera.

Tangan Widya sudah menyentuh borgol.

Tinggal satu klik.

Najla menghantam pergelangan Widya dengan ujung radio kecilnya—PRANG—benda itu pecah, tapi cukup membuat jari Widya kehilangan grip.

Widya menoleh.

Untuk pertama kali, emosinya retak.

> "Kamu tidak ngerti apa yang kamu sentuh, anak kecil."

Najla berdiri, lutut berdarah, tapi matanya menyala:

> "Justru karena aku mulai ngerti, aku gak bisa berhenti."

Widya menggeram—bukan marah, tapi karena itu kalimat orang yang berbahaya.

---

Puncak benturan

Orion mendorong Arlen ke container baja, BRAKK, retak kecil muncul di dinding.

Kaelan hampir kalah menahan sandera sambil menjaga jarak dari Widya.

Najla sadar posisi mereka buruk.

Maka ia melakukan hal yang tidak diprediksi siapapun.

Ia berteriak ke arah Orion:

"Lu mau bukti yang lebih besar dari Project Null? Gue orangnya."

Semua berhenti.

Bahkan langkah drone di kejauhan seperti tertahan sinyal.

Orion menoleh pelan.

Arlen langsung menggeram, "Najla, jangan—"

Tapi Najla melangkah maju sendiri.

Jarinya mencengkram foto Arvella, menunjukkannya seperti kartu identitas yang menyala.

> "Nama itu alasan semuanya. Kalian cari aku dari dulu. Nah, aku di sini. Tapi kau sentuh mereka—aku bakar semua kemungkinan damai."

Itu bukan ancaman.

Itu deklarasi perang.

Orion memicing. Senyum tipisnya hilang.

> "Kalau begitu Council tidak butuh mereka lagi. Mereka cuma butuh kamu."

Widya serentak bergerak menuju Najla—

Tetapi Arlen lebih cepat.

Ia menubruk Najla dan sang sandera langsung ke arah Kaelan.

> "Kaelan—pergi. Sekarang."

Kaelan tahu itu bukan permintaan.

Itu perintah terakhir yang boleh dibantah, tapi tidak boleh diingkari.

Ia menarik Najla dan sandera berlari ke gang belakang.

Najla berteriak, "ARLEN—"

Tapi Arlen tidak menoleh.

Ia berdiri menghalangi Orion dan Widya sendirian, jaketnya robek, darah di pelipis, napas berat.

Tapi suaranya tetap tenang ketika berkata:

> "Kalian mau dia? Lewat gue."

Di detik itu, Kaelan, Najla, dan sandera menghilang di balik gelap.

Dan Arlen—sendirian—tinggal di garis pertama.

---

Cut scene ke Najla

Di lorong gelap, Najla jatuh berlutut, tangan gemetar.

Kaelan menahan sandera di bahu, sambil mengatur napas.

Najla melihat kembali ke arah gudang.

Tidak ada ledakan.

Tidak ada suara.

Itu justru yang menakutkan.

Karena pertempuran yang menentukan sedang terjadi tanpa saksi.

Najla menggenggam foto Arvella sampai kusut.

Lalu suara Kenzi masuk via earpiece, garis rusak:

> "Exit point 4 menit. Kalian harus pilih—balik ke Arlen, atau simpan bukti dan sandera."

Najla tak menjawab.

Ia langsung berdiri.

Langit jauh di atas bergemuruh rendah—bukan dari badai, tapi dari pesawat tak berawak Council yang mulai turun.

Kaelan hanya berkata satu hal:

"Aku ikut keputusanmu."

Najla mengusap darah di pipi.

Lalu menoleh ke arah gudang gelap yang menelan abang yang ia andalkan.

> "Gue gak lari dua kali dari orang yang sama."

Dan mereka berbalik.

1
아미 😼💜
semangat update nya thor
Freyaaaa
🤩🤩🤩
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!