Jika bukan cinta, lalu apa arti ciuman itu? apakah dirinya hanya sebuah kelinci percobaan?
Jelas-jelas Satya menyayangi Hanin hingga pernah menciumnya, tapi setelah suatu kebenaran terungkap dia justru menghindar dan menjauh.
Satya berubah menjadi sosok kakak yang dingin dan acuh, bahkan memutuskan meninggalkan Hanin.
Apakah Hanin akan menyerah dengan cintanya yang tak berbalas dan memilih laki-laki lain?
Ataukah lebih mengalah dengan mempertahankan hubungan persaudaraan mereka selama ini asalkan tetap bersama dengan Satya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dwi Asti A, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertemuan
“Untuk waktunya papa akan bicarakan terlebih dahulu dengan Pak Pramana. Persiapkan saja dirimu Sabtu sore,” pesan Elvan. Kemudian Ia beranjak, diikuti Miranda yang tampaknya masih keberatan dengan rencana Elvan. Satya sempat mendengar Miranda meminta Elvan untuk memikirkan kembali rencana itu.
Setelah Miranda dan Elvan pergi menuju kamar mereka, Satya menyandarkan punggungnya pada sofa, lalu memejamkan matanya. Hanin menghampiri.
“Apa Kakak akan pergi?” tanya Hanin tiba-tiba.
“Tidak tahu,” jawab Satya singkat dan ketus, masih dengan kedua mata yang terpejam.
“Hanin pikir ...,”
“Tidak perlu ikut memikirkannya, pergilah ke kamar!” perintah Satya.
Mendengar suara Satya yang dingin, Hanin tak berani mengatakan apa pun. Dia berjalan pergi meninggalkan Satya dengan berat hati. Dia merasa ada sesuatu yang salah yang disebabkan olehnya.
Hanin kembali ke kamarnya tak bisa seketika memejamkan matanya. Usai membersihkan diri dia duduk termenung di sisi tempat tidur sambil memeluk bantal guling.
Rencana membuat Satya memiliki pacar adalah ide dirinya, tak disangka Orang dewasa seperti Elvan dan temannya itu berpikiran sama. Namun, Hanin merasa tidak terlalu senang dengan rencana mereka, padahal tujuannya pun sama.
Tiba-tiba pintu dibuka dari luar. Ya , kebiasaan Hanin tak pernah mengunci kamarnya saat tidur. Satya muncul dibalik pintu itu, tanpa meminta izin Satya langsung masuk menghampirinya. Berdiri di hadapannya.
“Puas! Gara-gara idemu ini kakak dijodohkan dengan perempuan yang tak jelas.” Satya berbicara sambil membungkukkan badannya hingga wajahnya begitu dekat dengan Hanin.
Hanin mundur menghindar.
“Ha ..., Hani mana tahu Kak,” balas Hanin gugup. Sepasang manik matanya bergerak-gerak gelisah.
“Kau yang mengusulkannya dari awal, kalau tidak papa mungkin tidak akan menyinggung soal itu.”
“Kakak tidak suka?” tanya Hanin.
Satya terdiam berpikir.
“Karena ini ide darimu, Sepertinya kakak tidak bisa menolaknya, Hani.” Setelah mengungkapkan hal itu, Satya berlalu dari kamar Hanin.
Tak bisa dipastikan apa yang sebenarnya ada dalam pikiran kakaknya, Satya terlihat marah, tapi dia menyetujui rencana itu.
••
(Sabtu sore di Kafe Hati)
Satya dan keluarganya tiba di kafe terlambat lima menit. Pak Pramana dan istrinya sudah berada di sana lebih awal. Di samping mereka duduk seorang perempuan cantik, tinggi dan ramping, mengenakan pakaian kebaya berwarna kulit dan rok batik yang melekat sempurna mencetak tubuhnya. Sangat anggun dan menawan.
“Maaf Pak Pramana ada sedikit keterlambatan, biasa perempuan,” kata Elvan basa-basi.
“Tidak apa-apa, pertemuan hari ini tidak terlalu resmi jangan sungkan,” balas Pramana.
Pramana kemudian memperkenalkan putrinya. Nama gadis itu Larasati. Dia kuliah di luar negeri dan hari itu dia sedang libur. Setelah itu bergantian Elvan memperkenalkan Satya dan juga Hanin pada keluarga Pramana.
Ketika obrolan orang tua berlangsung, Satya, Hanin dan Larasati hanya diam menyimak. Cukup lama, kedua orang tua justru membahas urusan bisnis dan pekerjaan. Hanin sampai merasa bosan mendengarnya dan duduk terlihat mulai gelisah.
Pada saat itu tak sengaja Hanin melihat ke arah Larasati. Gadis itu tersenyum dan tetap duduk dengan anggun, sama sekali tak terlihat gelisah dengan situasi itu. Hanin yang pada akhirnya merasa iri dan minder. Karena perempuan yang akan dijodohkan dengan Satya tampak begitu sempurna, tak ada cacat sama sekali. Dia mirip putri keraton dari penampilan dan sikapnya, yang membuat perempuan itu terlihat dewasa. Sementara dirinya hanya anak kecil manja yang jauh dari karakter pilihan Satya.
“Satya, Larasati, hari ini sifatnya hanya perkenalan, kalian bisa mengobrol dengan santai, kami ada di ruang jamuan. Jika sudah selesai kalian bisa menyusul,” kata Pramana.
Larasati mengangguk dengan lembut. Kemudian Elvan dan yang lainnya termasuk Hanin pergi meninggalkan mereka berdua menuju ruangan lain tak jauh dari tempat itu.
Dari tempat yang berjarak beberapa meter, pandangan Hanin tak lepas dari tempat Satya dan Larasati berada. Dilihatnya mereka masih diam duduk di tempat yang sama saling berhadapan hanya dibatasi meja yang menjadi jarak mereka.
“Hani kau sedang lihat apa, jangan melamun,” kata Miranda menyenggol Hanin untuk segera mengambil makanan.
“Iya, Mah,” sahut Hanin.
Mereka duduk mengitari meja besar yang penuh dengan aneka makanan khas Yogya dan juga beberapa makanan luar negeri. Tersaji dengan cantik dan menarik.
Meskipun tengah makan pun Hanin masih sempat melihat ke arah Satya dan Larasati. Hanin penasaran apa yang mereka berdua bicarakan dan mengapa lebih banyak diamnya. ‘Apa jangan-jangan mereka memang tidak cocok, akhirnya pembicaraan tidak nyambung.’ Pikiran Hanin.
Dari perkataan Pramana, Larasati selain cantik juga pintar dan berprestasi, hal itu semakin membuat Hanin tak bisa dibandingkan dengannya. Larasati dan Satya pasti cocok karena sama-sama pintar.
‘Ih ada apa dengan otakku, semenjak tadi selalu membandingkan diri sendiri, aku ini adiknya dan Larasati itu calon kakak ipar, mengapa aku harus iri?’ Hanin berusaha membuang pikirannya yang ngelantur ke mana-mana.
Ternyata apa yang Hanin pikirkan salah. Beberapa waktu kemudian Satya dan Larasati berjalan menuju tempat mereka, wajah mereka terlihat ceria dan bahagia, dan kelihatannya mereka sudah tak sungkan lagi berbicara satu sama lain. Satya juga perhatian menarik kursi untuk Larasati yang kemudian diduduki gadis itu.
“Terima kasih, Satya,” ucap Larasati.
“Kembali,” sahut Satya.
Satya dan Larasati duduk bersebelahan, sementara Hanin di sisi lain tak jauh dari Satya, membuatnya bisa dengan jelas melihat keduanya yang tampak begitu serasi.
“Kok cepat banget kalian sudah kemari, makanan kami bahkan belum habis separuh pun,” kata Saraswati, istri Pramana.
“Sudah, Bunda, kami sudah ngobrol cukup kok. Lagi pula seperti kata ayah hanya perkenalan saja,” jawab Larasati.
“Mau kenal lebih jauh juga tidak apa-apa,” imbuh Pramana.
Mereka semuanya tersenyum bahagia. Hanin bisa melihat acara hari itu sepertinya berjalan dengan lancar tanpa masalah apa pun. Itu tandanya ke depannya juga semuanya pasti berjalan dengan lancar dan mudah. Hanya satu hal yang membuat Hanin tanda tanya, apa Satya dan Larasati sudah mengungkapkan perasaan mereka masing-masing? Apa mereka sudah jadian? Pertanyaan itu begitu mengganggu di pikiran Hanin. Selama acara makan berlangsung Hanin maju mundur antara mengutarakan pertanyaan itu atau tidak.
“Pak Elvan, putri Anda itu saat istri Anda melahirkan kok kami tidak tahu ya, atau kami memang tidak diundang waktu itu?” celetuk Pramana menunjuk dengan dagu ke arah Hanin.
Pertanyaan itu membuat Elvan dan Miranda saling berpandangan, juga gugup.
“Kami memang tidak mengadakan syukuran besar, hanya tetangga dekat saja,” jawab Elvan.
“Oh begitu, pantas. Aku pikir putramu itu cuma satu, ternyata ada dua ya.”
“Aku juga tidak pernah melihat kehamilan Bu Mira, atau memang karena kita jarang bertemu?” Kali ini Saraswati yang berbicara.
“Saat istriku mengandung dia memang tidak senang pergi ke mana-mana, di rumah terus, jadi wajar saja Bu Saras tidak mengetahuinya,” jelas Elvan. Saraswati dan Pramana pun memahaminya. Hanin hanya diam mendengarkan. Dirinya yang sedang dibicarakan mana tahu apa yang terjadi saat bayi.
“Tapi dia itu cantik dan manis, mirip-mirip artis di drama Turki itu loh,” ujar Saraswati.
“Masa si Bu Saras, jadi dia tidak mirip denganku?” Miranda berkelakar.
“Ada, tapi dikit,” jawab Saraswati.
“Ehem ..., ehem ...!” Pramana berdehem, menghentikan pembicaraan Saraswati dan Miranda. Sekaligus pria itu kemudian menyampaikan terima kasih untuk mengakhiri pertemuan hari itu.
“Ini nomor kontakku, Satya, simpan ya,” kata Larasati sebelum mereka berpisah di tempat parkir.
“Oke.”
Di sepanjang perjalanan pulang, Hanin duduk di belakang di samping Satya lebih banyak diam. Sementara Satya entah tengah sibuk berkirim pesan dengan siapa terlihat serius dan senang. Tak ada obrolan di antara mereka di perjalanan pulang. Hanin yang merasa bosan akhirnya tertidur.
Satya menoleh karena kaget kepala Hanin bersandar di bahunya. Satya sedikit mendekat untuk membuat posisi duduknya lebih nyaman.
“Jadi bagaimana, Satya, Larasati itu gadis yang menarik bukan? Selain cantik dia juga pintar.”
“Bagaimana apanya, Pah?” balas Satya.
“Kau menyukai gadis itu?” tanya Elvan.
“Papa bilang hanya perkenalan, kenapa bertanya seperti itu,” jawab Satya dingin.
“Iya, tapi kau bisa menjawab pendapatmu tentang gadis itu.”
“Papa jangan mendesak Satya seperti itu, bagi mama, meskipun cantik dan pintar, tapi mereka itu dari keluarga ningrat. Mama merasa minder, Pah.” Miranda menyampaikan pendapatnya.
“Apa yang harus aku katakan, Pah. Dia itu sempurna,” jawab Satya tanpa penjelasan apa pun lagi.
sepuluh menit kemudian mereka tiba di rumah. Miranda dan Elvan begitu turun dari mobil langsung masuk ke dalam rumah, tak sekalipun mengecek Hanin yang masih tertidur di mobil.
Satya ingin membangunkannya, tapi dia tidak ingin membuat Hanin yang tidur dengan lelap menjadi terganggu. Dia lantas mengangkat tubuh Hanin dan membawanya hingga ke kamar.
“Dia sangat cantik, aku tidak sebanding dengannya,” gumam Hanin.
Satya sudah beranjak siap melangkah pergi, mendengar ucapan Hanin dia berhenti dan menoleh.
‘Apa yang sedang dipikirkannya?’ batin Satya penuh tanda tanya.