Gunawan, penjual rujak bumbu yang pendiam, dan Dewi, pemilik seblak pedas yang independen, terjebak dalam perjodohan paksa setelah gerobak mereka bertabrakan, menciptakan kekacauan di lapak. Warga, di bawah arahan Pak RT, menghukum mereka dengan pernikahan untuk menjaga reputasi lapak. Awalnya, mereka sepakat untuk menjalani 'kontrak pacaran palsu', penuh kecanggungan dan konflik komedi. Namun, seiring waktu, serangkaian tantangan publik—mulai dari "Love Brigade" yang selalu mengawasi, drama keluarga, hingga sabotase pesaing—memaksa mereka bekerja sama. Tanpa disadari, sandiwara tersebut mulai menumbuhkan perasaan nyata, hingga akhirnya mereka harus memutuskan apakah akan tetap berpegang pada janji palsu atau jujur pada hati mereka, yang berarti menghadapi konsekuensi dari komunitas yang pernah memaksa mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Laila ANT, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ancaman dari Luar Kota
Kru televisi akhirnya membongkar panggung dadakan di depan lapak mereka. Menyisakan keheningan yang terasa lebih berat dari sebelumnya. Senyum palsu yang menempel di wajah Gunawan dan Dewi akhirnya luntur, digantikan oleh kepucatan dan sorot mata kosong.
“Ini… ini serius, Gun,” bisik Dewi, suaranya nyaris tak terdengar, seolah takut suaranya akan pecah jika ia berbicara lebih keras. “Kampung halamanmu? Masa lalu kamu? Bagaimana kalau… kalau rahasia kita terbongkar di sana?”
Gunawan hanya bisa menggelengkan kepala. Rahasia mereka? Rahasia dia, lebih tepatnya. Rahasia yang bahkan dirinya sendiri tidak ingat. Bayangan wanita sinis di foto WhatsApp semalam kembali menari-nari di benaknya, diiringi pertanyaan tak terjawab yang menusuk-nusuk.
Siapa wanita itu? Dan apa hubungannya dengan dirinya, dengan masa lalu yang terhapus dari ingatannya? Pertanyaan itu terasa seperti jarum es yang menembus otaknya, membuat seluruh tubuhnya dingin.
“Aku juga nggak tahu, Wi,” jawab Gunawan, suaranya serak.
Ia menatap gerobak rujaknya yang kini terlihat lebih kecil, lebih rapuh di bawah bayangan ancaman yang membayangi. Dulu, gerobak ini adalah bentengnya, tempat ia merasa paling aman. Kini, bahkan benteng itu pun terasa seperti jebakan.
“Tapi kita nggak bisa menolak, kan? Mbak Rina sudah bilang, ini bagian dari kontrak.”
Dewi menghela napas berat, menyandarkan punggungnya ke gerobak seblak, matanya menerawang jauh.
“Dulu aku paling anti sama yang namanya komitmen, Gun. Paling nggak suka diatur-atur. Tapi sekarang… rasanya kita ini kayak boneka yang diikat benang, ditarik sana-sini sama semua orang. Sama Pak RT, sama Love Brigade, sekarang sama TV, sama… masa lalu kamu yang misterius itu.”
Ia menoleh ke arah Gunawan, tatapannya menyiratkan campuran frustrasi dan ketakutan yang mendalam.
“Aku nggak tahu apa yang ada di sana, Gun. Aku nggak tahu siapa wanita di foto itu. Tapi firasatku bilang, ini bukan cuma soal sandiwara kita. Ini soal… bahaya yang lebih besar.”
Gunawan merasakan ucapan Dewi menohoknya. Dewi benar. Ini bukan lagi sekadar sandiwara yang mereka mainkan demi lapak. Ini adalah pertarungan untuk mempertahankan seluruh eksistensi mereka, bahkan identitas Gunawan sendiri. Ia merasa dirinya seperti berdiri di tepi jurang, dengan kabut tebal di bawahnya, dan seseorang dari masa lalunya siap mendorongnya jatuh.
“Tapi kita nggak bisa mundur, Wi,” kata Gunawan, mencoba meyakinkan dirinya sendiri, lebih dari sekadar meyakinkan Dewi.
Ia meraih tangan Dewi, menggenggamnya erat. Tangan Dewi dingin, tapi genggaman itu memberikan sedikit kekuatan padanya.
“Kita sudah terlalu jauh. Lapak kita, program TV ini, semua mata yang ngawasin kita. Kalau kita mundur sekarang, semua hancur.”
Dewi membalas genggaman itu, matanya menatap Gunawan dalam-dalam. Ada sedikit rasa lega di sana, melihat Gunawan, si pendiam yang pasrah, kini menunjukkan tekad untuk bertahan.
“Aku tahu. Jadi, apa pun yang ada di sana, kita hadapi bareng-bareng, ya?”
Gunawan mengangguk.
“Bareng-bareng.”
Tiba-tiba, mata Gunawan tertumbuk pada sesuatu yang terselip di antara tumpukan mangkuk kosong di gerobak rujaknya. Sebuah amplop putih, polos, tanpa nama pengirim, teronggok di sana. Itu bukan amplop biasa dari pelanggan atau vendor. Amplop itu terlihat… asing. Sebuah firasat buruk merayapi punggungnya.
“Wi, lihat ini,” Gunawan menunjuk amplop itu.
Dewi mengerutkan kening, mendekat.
“Amplop apa itu? Jangan-jangan surat cinta dari penggemar kamu, Gun?” Ia mencoba bercanda, tapi suaranya terdengar tegang.
Gunawan meraih amplop itu. Kertasnya terasa tebal, mahal, jauh berbeda dari kertas yang biasa mereka pegang. Tidak ada perangko, tidak ada alamat pengirim. Hanya nama ‘Gunawan’ yang tertulis dengan tulisan tangan rapi, nyaris sempurna, seolah dicetak. Seolah bukan tulisan tangan manusia biasa.
Perlahan, Gunawan membuka amplop itu. Di dalamnya, ada selembar kertas yang juga tebal, dengan tulisan yang sama rapi dan dingin. Ia mulai membaca, dan setiap kata yang ia baca terasa seperti kepingan es yang menancap di dadanya.
Dewi melihat perubahan ekspresi di wajah Gunawan. Matanya membelalak, bibirnya menipis, rahangnya mengeras. Ketakutan yang tadi sempat mereda, kini kembali membuncah lebih kuat.
“Ada apa, Gun? Surat apa itu?” desak Dewi, suaranya tercekat. Ia meraih kertas dari tangan Gunawan, ikut membaca.
Isi surat itu singkat, padat, dan menusuk:
Selamat atas kemenangan Anda yang… ‘fenomenal’ itu, Gunawan.
Sebuah pertunjukan yang cukup menghibur, kami akui. Tapi jangan lupakan, kemenangan di panggung kecil ini tidak akan mengubah kenyataan.
Anda adalah pewaris nama besar. Bukan badut yang menjual makanan di kaki lima, berpasangan dengan wanita dari… ‘lapak tetangga’ yang tidak memiliki martabat.
Kami memberi Anda satu kesempatan terakhir. Tinggalkan lapak itu. Tinggalkan wanita itu. Kembali ke kota besar, cari pekerjaan yang lebih layak, sesuai dengan status Anda.
Jika tidak, kami akan pastikan ‘kisah cinta’ Anda yang palsu itu akan berakhir dengan kehancuran yang sesungguhnya. Dan kami akan pastikan Anda tidak akan pernah bisa kembali ke mana pun.
Pikirkan baik-baik. Jam sudah mulai berdetak.
Dari Seseorang yang Peduli dengan Masa Depan Anda.
Dewi menyelesaikan membaca surat itu, tangannya gemetar hebat. Ia menjatuhkan kertas itu, yang melayang perlahan ke lantai lapak yang kini sepi. Matanya menatap Gunawan, dipenuhi kengerian dan kemarahan yang bercampur aduk.
“Apa-apaan ini, Gun?!” seru Dewi, suaranya meninggi, memecah keheningan lapak.
“Pewaris nama besar? Badut? Wanita tidak bermartabat?! Siapa yang berani ngomong kayak gini?!”
Gunawan hanya bisa menatap kosong ke depan. Surat itu… bukan hanya ancaman. Itu adalah serangan personal, menghina dirinya, pekerjaannya, dan yang paling penting, Dewi. Kata-kata ‘pewaris nama besar’ dan ‘kota besar’ itu berkelebat di benaknya, mencoba memicu sesuatu, tapi hanya ada kekosongan. Namun, ada sesuatu dalam nada surat itu, dalam kesombongan dan tuntutannya, yang terasa… familiar. Sebuah gema dari tekanan yang ia rasakan sepanjang hidupnya, meski ia tidak bisa menunjuk asal-usulnya.
“Aku… aku nggak tahu, Wi,” kata Gunawan, suaranya bergetar.
“Tapi… ini pasti ada hubungannya sama keluargaku. Sama masa lalu yang nggak aku ingat itu.”
Dewi mengambil kembali surat itu, membacanya lagi dengan mata menyipit.
“Seseorang yang peduli dengan masa depan Anda? Omong kosong! Ini jelas-jelas ancaman! Dan mereka… mereka tahu segalanya tentang kita, Gun! Tentang kemenangan kita, tentang lapak, bahkan tentang… kebohongan kita!”
Ia melirik Gunawan, ada kilatan amarah di matanya.
“Mereka bilang kita badut! Mereka menghina aku! Mereka pikir mereka siapa?!”
Gunawan merasakan kemarahan yang sama mengalir dalam darahnya. Selama ini, ia selalu pasrah, selalu mencoba menghindari konflik. Tapi kali ini, penghinaan itu menargetkan Dewi, dan itu membangkitkan sesuatu yang selama ini terpendam dalam dirinya. Sebuah insting untuk melindungi.
“Ini… ini pasti ada hubungannya sama kunjungan ke kampung halaman besok, Wi,” Gunawan menyimpulkan, otaknya berputar cepat.
“Mereka pasti tahu kalau tim TV akan ke sana. Mereka mau memastikan aku… pulang. Atau, kalau aku nggak pulang, mereka akan… akan bikin ulah.”
Dewi menghela napas, napasnya tersengal-sengal.
“Jadi, ini bukan cuma soal sandiwara kita yang terancam. Ini soal… Gunawan, kamu punya rahasia keluarga yang besar banget, ya?”
Gunawan menatap Dewi, matanya dipenuhi rasa bersalah. Ia tidak tahu apa rahasia itu, tapi ia tahu ini akan menyeret Dewi ke dalam masalah yang jauh lebih rumit daripada sekadar perjodohan paksa.
“Aku minta maaf, Wi,” bisik Gunawan, suaranya parau.
“Aku nggak tahu ini semua akan sejauh ini. Aku nggak tahu siapa mereka, aku nggak ingat apa-apa.”
Dewi menatap Gunawan, amarahnya perlahan mereda, digantikan oleh kekhawatiran yang mendalam. Ia melihat kejujuran di mata Gunawan, ketakutan yang sama yang ia rasakan. Ini bukan lagi Gunawan si penjual rujak yang pasrah. Ini adalah Gunawan yang terpojok, yang menghadapi bayangan masa lalu yang tak dikenal.
“Ini bukan salah kamu, Gun,” kata Dewi, suaranya melunak. Ia menggenggam tangan Gunawan lagi, kali ini lebih erat, seolah ingin menyalurkan kekuatannya.
“Tapi sekarang, kita punya masalah yang lebih besar dari sekadar ‘Cinta di Kaki Lima’. Kita punya musuh, Gun. Musuh yang ada di luar kota, yang tahu segalanya tentang kamu, dan yang ingin menghancurkan kita. Dan besok… besok kita harus pergi ke sarang mereka.”
Gunawan menatap surat di tangan Dewi, lalu ke arah jalanan lapak yang mulai gelap. Kata-kata "jam sudah mulai berdetak" terus bergema di telinganya. Ini bukan hanya tentang menyingkap rahasia. Ini adalah hitungan mundur. Hitungan mundur yang akan menentukan… apakah mereka akan hancur atau justru menemukan kekuatan yang lebih besar di tengah badai yang diciptakan oleh masa lalu… dan keluarga yang tak ia kenal itu.
Ia merasakan cengkeraman Dewi mengerat, dan Gunawan tahu, apa pun yang akan terjadi besok, mereka akan menghadapinya bersama. Tapi, jauh di lubuk hatinya, ia bertanya-tanya: apakah Dewi benar-benar siap menghadapi kegelapan yang mungkin akan terkuak dari masa lalu… Gunawan? Dan apakah ia sendiri sanggup mengingat semua yang telah ia lupakan, semua yang kini datang untuk menghancurkannya? Pertanyaan itu menggantung di udara, berat dan menakutkan, ketika sebuah mobil hitam mewah tanpa plat nomor, yang sedari tadi terparkir jauh di ujung jalan, menyalakan mesinnya dan perlahan… bergerak mendekat.