zaira Kalya , gadis bercadar yang bernasib malang, seolah cobaan terus mendatanginya. Setelah Tantenya-tika Sofia-meninggal, ia terpaksa menerima perjodohan dengan albian Kalvin Rahardian-badboy kampus-yang begitu membencinya.
Kedua orang tua ziara telah meninggal dunia saat ia masih duduk dibangku sekolah menengah pertama, hingga ia pun harus hidup bersama tika selama ini. Tapi, tika, satu-satunya keluarga yang dimilikinya juga pergi meninggalkannya. tika tertabrak oleh salah satu motor yang tengah kebut-kebutan di jalan raya, dan yang menjadi terduga tersangkanya adalah albian.
Sebelum tika meninggal, ia sempat menitipkan ziara pada keluarga albian sehingga mereka berdua pun terpaksa dinikahkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon chayra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 11
Ziara masih memperhatikan dua pemuda di depannya secara bergantian sebelum ia memilih salah satu jaket milik mereka. Gadis dengan cadar putih itu ragu untuk mengambil salah satu jaket di depannya. Tapi, kini ia butuh untuk menutupi bagian dadanya yang basah.
Sementara albian sudah tersenyum angkuh sejak beberapa saat lalu dengan keyakinan penuh kalau ziara akan mengambil jaket miliknya. Secara, albian itu suaminya. Dan dengan begitu, ia akan membuat vino malu atas kekalahannya kesekian kalinya.
“Bismillahirrahmanirrahim. Aku pinjam jaket ini ya,” ucap ziara mengambil salah satu jaket di depannya.
Mata albian terbelalak, sedangkan wajah vino berbinar dengan senyuman penuh kemenangan.
Ziara lebih memilih mengambil hoodie milik Davino dari pada jaket jeans milik albian. Selain tak ingin semua orang curiga pada hubungannya dengan qlbian, ia rasa hoodie milik vino jauh lebih nyaman.
Ziara bisa mengganti atasannya dan mengenakan hoodie yang dipinjamkan vino padanya.
“Lo ganti baju aja dulu sama hoodie gue sebelum pergi sholat. Hoodie-nya masih bersih kok. Baru gue pake tadi waktu di kelas karena gue tak tahan AC kalo pagi,” ucap vino dengan seulas senyuman.
Albian menatap tajam vino dengan amarah yang tertahan, bahkan melihat vino tersenyum saja sudah berhasil membuatnya naik darah. “Mulut lo gak pegel apa dari tadi meringis mulu? Gue yang ngeliat aja capek rasanya,” ucapnya marah-marah.
Lalu tatapannya beralih pada ziara yang sudah memeluk hoodie hitam milik rivalnya tadi.
“Udah bagus gue nawarin lo jaket tadi, malah lo ambil jaket punya dia. Dasar gak tau bersyukur lo!” sungut albian kesal. “Tangan gue sampe pegel megangin nih jaket biar lo pake. Lo pasti gak tau kan? Nyesel gue udah berusaha baik sama lo,” sambungnya.
“Maaf, bian. Tapi, aku Cuma-“
Albian berlalu pergi dari hadapan ziara sebelum gadis itu menyelesaikan kalimatnya.
Pemuda itu tak tahan berada di sana melihat tatapan angkuh vino yang berhasil unggul darinya kali ini.
Dengan kedua tangan yang terkepal albian berjalan sambil terus menggerutu sebal. “Awas aja ya lo, zia. Udah bagus gue mau pinjemin jaket tadi. Malah lo ambil jaket cowok lain. Padahal gue Cuma gak mau sampe kena omel Mama kalo diem aja liat baju dia basah.”
Ziara menatap punggung albian yang semakin menjauh dan menghilang setelah melewati belokan menuju kantin fakultas ekonomi. Ada rasa bersalah dibenaknya pada albian yang sudah berusaha baik padanya. Tapi, ia tak ingin membuat banyak orang curiga, terlebih semua orang tahu kalau albian tidak cukup akur dengannya.
“Lo berdua cocok loh,” ucap Brigita sambil berjalan mendekati ziara, menatap gadis bercadar itu dan vino secara bergantian. “Kenapa lo gak ta’aruf aja sama zia, vin? Dia pasti gak mau deh kalo diajak pacaran, secara kan dia sok alim,” sambungnya dengan tawa menguar.
Sebagai satu-satunya orang yang tahu mengenai pernikahan albian dan ziara, Brigita sengaja merahasiakannya. Gadis itu justru menggunakan kesempatan ini agar Davino masuk menjadi orang ketiga dalam pernikahan mereka. Apalagi vino kelihatannya begitu perhatian pada albian.
“Emang ziara mau ta’aruf sama gue?” tanya vino dengan senyuman tipis yang tercetak di wajah tampannya yang dingin itu.
Mata ziarq terbelalak mendengarnya. “Aku gak lagi gak pengen bercanda, vin,” sahutnya. “Kayaknya aku harus segera ganti baju dulu. Aku sama eline mau ke masjid untuk sholat dzuhur,” sambungnya menghindari percakapan yang lebih jauh.
“Ya udah. Lo buruan ganti dulu sana. Pasti udah gak nyaman banget pake baju basah kayak gitu,” balas vino yang membiarkan ziara pergi.
“Assalamualaikum,” ucap ziarq sebelum berlalu pergi sambil menggandeng lengan Adeline yang pasrah saja ditarik olehnya.
Vino menatap punggung ziara sambil mengulas senyuman. “Waalaikumsalam, zia,” balasnya.
Brigita tersenyum miring melihatnya. “Lo beneran suka ya sama tuh cewek burik?” tanya Brigita tiba-tiba, dan berhasil membuat wajah vino yang awalnya terlihat ramah berubah garang.
“Gue suka atau enggak sama ziara, itu bukan urusan lo!” ucap vino tegas. “Lo pasti sengaja kan tadi numpahin es teh ke bajunya zia? Masalah lo apaan sih sama dia? Perasaan lo kayaknya gak suka banget sama dia.”
Felicia yang tadinya berdiri di belakang, berjalan mendekat. “Emangnya di kampus ini siapa yang suka sama ziara? Cewek sok alim yang Cuma nutupi wajah buriknya biar gak malu kayak dia, kayaknya wajar kalo dibenci banyak orang.”
“Lo gak ada kaca di rumah?” tanya vino pada Felicia. “Dibandingkan sama Zivana, lo jauh lebih buruk, Fel. Siapa yang gak pernah nyobain tubuh lo di fakultas ini? Coba lo sebutin!”
Felicia langsung dibuat kicep oleh vino. Gadis itu ingin marah padanya, tapi ucapan vino tak sepenuhnya salah. Cara Felicia mencari tambahan uang sakunya dengan cara yang terbilang murahan. Bukan Cuma yang seumuran, tapi om-om pun tak jadi masalah baginya.
“Sebelum lo bertiga nge-judge orang lain, mending lo ngaca dulu masing-masing di rumah. Kalo gak punya, bilang aja sama gue.
Biar gue beliin kaca yang besar biar mata lo bertiga kebuka,” ucap vino, lalu melenggang pergi dari sana.
Brigita mengepalkan kedua tangannya kuat. “Sialan! Kenapa sih semua orang malah ngebelain tuh cewek munafik? Apa coba bagusnya dia?”
Setelah semua kelasnya hari ini selesai, albian yang selama seharian ini tidak bisa fokus mengikuti perkuliahan berniat segera pulang tanpa mengajak ziara pulang bersama.
Pemuda itu masih sangat kesal pada ziara yang tak memilih jaketnya tadi. Tapi, justru memilih hoodie milik vino.
Dengan langkah lebar, albian berjalan keluar dari kelasnya menghiraukan dua sahabatnya yang masih mengobrol di dalam.
Melihat albian keluar duluan, Brigita segera mengejar. Gadis itu masih belum juga kapok meski sudah dibentak kasar oleh albian.
“bian... Tunggu! Bian...,” panggil Brigita sambil berlari mengejar albian.
Meski mendengar namanya dipanggil, albian tetap melanjutkan langkahnya dan tak berniat untuk berhenti meski sebentar.
Brigita terlihat kewalahan menyeimbangkan langkah kaki albian yang begitu cepat dan lebar. Tapi, gadis itu tak mau menyerah begitu saja.
"Bian, gue perlu ngomong sama lo," ucap Brigita dengan wajah memelas. "Lo gak bisa giniin gue, bian. Kita ini temenan gak sebentar. Kalo gue ada salah, harusnya lo ngomong dong."
Langkah albian mendadak terhenti. Lalu menoleh cepat pada Brigitan yang berdiri di sampingnya.
"Lo masih belum tau salah lo apaan?" tanya albiain dingin.
Brigita menggelengkan kepalanya pelan. "Enggak," jawab Brigita bingung.
"Gue gak suka sama sikap lo yang terlalu nempel-nempel sama gue, Git," ucap albian tegas. "Selama ini gue sering kasih lo peringatan kecil, tapi lo gak pernah anggep peringatan dari gue dan lo malah sentuh gue sesuka hati lo."
Albian mencondongkan tubuhnya mendekati Brigita dan berbisik di samping telinga gadis dengan rambut blonde itu.
“Sekarang lo kan tau kalo gue udah nikah. Jadi, mestinya lo bisa jaga sikap.”
Mata Brigita terbelalak dengan mulut yang menganga. “Lo terima cewek itu sepenuhnya, bian? Gue gak nyangka lo semudah itu ngebuang rasa benci lo sama dia?
Pantes aja tadi lo bela-belain kasih jaket lo ke dia di hadapan semua orang.”
Rahang Alzian mengeras mendengarnya. Ia menarik lengan Brigita kasar hingga mendekat ke arahnya. “Gue emang belum bisa terima zia sebagai istri dan gue juga terpaksa nikahin dia. Tapi, gue gak mau dicap sebagai cowok brengsek yang main sama cewek lain disaat status gue masih suami orang. Paham lo?!” Ia hempaskan lengan Brigita dengan dorongan kasar.
“Lagian lo kan bisa nolak kemauan Nyokap lo. Kenapa lo harus nurut segala sih? Lo kayak bukan albian yang gue kenal tau gak? Lo jadi anak Mama sekarang,” balas Brigita tak mau kalah.
“Terserah lo mau ngomong apa. Tapi, yang jelas jangan sampe hal ini kesebar karena Cuma lo yang tau masalah ini.” albian menunjuk wajah Brigita dengan tatapan garang.
“Dan satu lagi, jangan lagi lo gangguin zia. Karena Cuma gue yang boleh gangguin dia. Gue tau yang tadi itu lo sengaja numpahin es teh ke bajunya dia.”