"Apakah kamu sudah menikah?" tanya Wira, teman satu kantor Binar. Seketika pertanyaan itu membuatnya terdiam beberapa saat. Di sana ada suaminya, Tama. Tama hanya terdiam sambil menikmati minumannya.
"Suamiku sudah meninggal," jawab Binar dengan santainya. Seketika Tama menatap lurus ke arah Binar. Tidak menyangka jika wanita itu akan mengatakan hal demikian, tapi tidak ada protes darinya. Dia tetap tenang meskipun dinyatakan meninggal oleh Binar, yang masih berstatus istrinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Me Akikaze, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mulai Gelisah
Pantri sepi kembali sepeninggal Binar keluar dari sana, hanya Tama yang masih mematung sambil tersenyum datar. Dia merasa Binar sedang melakukan pembalasan terhadapnya dengan cara mendekati Aksa. Tama meneguk minumannya dan menaruh gelasnya di sana. Melirik jam tangannya, sudah hampir jam 10. Dimana dia akan rapat bersama dengan Aksa dan beberapa divisi.
Tama keluar dari pantri.
"Ah manten baru," sapa Wira yang kebetulan juga akan rapat di lantai ini. "Sudah di sini aja, ngopi?" tanyanya.
"Iya," jawab Tama santai.
"Oh ya, apa kamu akan tetap berada di sini? ehm maksudku kerja di sini, sementara nyonya besar kan juga ada perusahaan," apa yang dikatakan Wira tidak salah, hanya saja dia selalu suka kepo dengan urusan orang.
"Sementara masih nyaman di sini." jawab Tama santai, ya dia masih nyaman berada di sini, merasa karirnya bagus. Belum tentu juga kalau dia berada di naungan perusahaan istrinya sekarang akan bisa nyaman seperti di sini. Oh tidak, tapi itu juga belum tentu menjadi alasan Tama. Gegara nyaman dengan karirnya atau yang lain.
"Lihat noh, gebetan barunya si bos," Wira mengedikkan dagunya saat Binar berjalan dari kejauhan menuju ruang rapat yang nampak dari pintu pantri. "Cantik,"
"Gebetan,?" Tama menatap Wira dengant tatapan menyelidik.
"Yoi, denger-denger sih begitu, kemarin katanya nyusul ke rumah sakit jengukin Ibunya Binar,"
Tama terdiam, menatap Binar sekelebat sebelum dia masuk ke ruang rapat. Benarkah Aksa menjenguk mantan Ibu mertuanya?
"Cocok aja si, bawahan dan pimpinan, bawahannya cantik, pimpinan single. Iya nggak Tam?" Wira meminta pendapat dari Tama. Namun yang dimintai pendapat diam saja, seolah sedang memikirkan hal lain. "Oh ya, gimana...nggak honeymoon kemana gitu?" Wira mengalihkan pembicaraan. Tama sama sekali tidak tertarik memikirkan hal itu. Wira keluar dari pantri meninggalkannya.
Tama menghembuskan napas pelan. Kata-kata Wira barusan terus berputar di kepalanya, lebih bising daripada suara mesin kopi di pantri. Ia merapikan jasnya, lalu melangkah menuju ruang rapat dengan langkah yang lebih berat dari biasanya.
Begitu pintu kaca dibuka, beberapa orang sudah duduk di sana. Aksa berada di ujung meja, fokus pada tablet di tangannya. Di sisi lain, Binar duduk tenang sambil membuka laptop, seolah pertemuan mereka di lift dan pantri tadi tak pernah terjadi.
“Silakan duduk, Pak Tama,” ujar Aksa singkat saat melihatnya masuk. Hanya sekilas dia melihat ke arah Tama, lalu kembali menatap layar tabletnya. Mencoba ke keadaan di mana dia tahu Tama itu bukan bagian dari hidup Binar.
Tama mengangguk dan mengambil kursi yang berhadapan langsung dengan Binar. Pandangan mereka sempat bertemu sepersekian detik. Tidak ada senyum, tidak ada sapa. Hanya tatapan singkat yang dingin, namun cukup untuk menyalakan sesuatu yang belum padam di dada Tama.
Rapat dimulai. Aksa memaparkan agenda dengan lugas, sesekali meminta pendapat tiap kepala divisi. Saat giliran Binar menyampaikan laporan, suaranya terdengar stabil, terukur. Tama menyimak, namun pikirannya terus melompat pada satu fakta yang baru saja ia dengar.
Aksa ke rumah sakit. Menjenguk Ibu Binar.
Tama menautkan jari-jarinya di atas meja. Ada rasa asing menyusup, campuran antara tidak percaya dan… terusik. Dia tahu kondisi Ibu Binar, tahu betul seberapa besar luka yang dia tinggalkan dulu. Dan kini, Aksa berada di sana, di ruang yang seharusnya tak pernah lagi dia masuki.
“Pak Tama?”
Suara Aksa menariknya kembali. “Pendapatmu soal timeline ini?”
Tama berkedip sekali, lalu mengangguk kecil. “Menurut saya masih realistis, tapi ada risiko di bagian distribusi. Perlu tambahan waktu.”
“Setuju,” kata Aksa singkat.
Rapat berlanjut, namun bagi Tama waktu terasa berjalan lambat. Setiap kali Aksa dan Binar berdiskusi, bertukar pandang, atau sekadar menyepakati satu poin, ada sesuatu yang mengeras di rahangnya.
Usai rapat, orang-orang mulai membereskan barang. Binar menutup laptopnya dan berdiri lebih dulu.
“Terima kasih semuanya,” ucapnya singkat, lalu melangkah keluar.
Tama menatap punggung itu beberapa detik lebih lama sebelum akhirnya ikut berdiri. Aksa menghampirinya.
“Kamu kelihatan nggak fokus hari ini,” kata Aksa tanpa basa-basi.
Tama tersenyum tipis. “Kurang tidur, mungkin.”
Aksa menatapnya sejenak, seolah ingin mengatakan sesuatu, namun akhirnya hanya mengangguk. “Kalau begitu, istirahatlah.”
Tama keluar ruangan. Di lorong, langkahnya terhenti saat melihat Binar berdiri sendirian di dekat jendela. Dia ragu sejenak, lalu melangkah mendekat.
“Bi,” panggilnya pelan.
Binar menoleh, ekspresinya kembali datar. “Ada apa, Pak Tama?”
Nada itu. formal tapi berjarak
“Kudengar… Pak Aksa ke rumah sakit,” ujar Tama akhirnya.
Binar terdiam sejenak, lalu mengangguk singkat. “Iya. Dia baik.”
Hanya itu. Dua kata yang terasa seperti pisau kecil. “Aku senang kalau Ibu… ada yang menjenguk,” lanjut Binar. “Permisi.”
Meninggalkan Tama sendiri di lorong yang mendadak terasa lebih sempit. Ia berdiri kaku, menatap pantulan dirinya di kaca jendela.
Untuk pertama kalinya sejak lama, Tama sadar pembalasan itu mungkin bukan sekadar dugaan. Dan kali ini, dia tidak lagi yakin berada di posisi yang aman.
Binar sampai di ruangannya, tak berapa lama Aksa mengetuk pintu dan menampakkan dirinya di depan Binar.
"Saya belum makan," ucap Aksa tanpa basa-basi.
"Bapak mau makan apa? saya akan menyiapkan." Sesekali Binar menyiapkan makanan yang ingin dimakan Aksa, biasanya dia akan memesan lewat aplikasi.
Aksa menggeleng, Binar mengerutkan dahinya. "Kamu juga belum makan, jadi kita cari makan berdua,"
"Saya?" Binar menunjuk dirinya.
"Iya, siapa lagi?" Aksa balik bertanya. Binar memang belum makan sejak pagi, tapi rasanya aneh saja harus makan berdua dengan atasannya.
"Ayo, sudah tidak ada jadwal kan setelah ini?"
Binar ingat dengan apa yang dia tulis, setelah ini tidak ada agenda penting lagi. Hanya menanda tangani beberapa berkas dan mengeceknya saja. Aksa menutup pintu dan menunggu Binar di depan lift. Binar mengambil ponsel dan juga dompetnya tanpa membawa tasnya.
Binar bergegas keluar dari ruangannya, dilihatnya Aksa masih menunggunya di depan pintu lift. Kemudia mereka masuk ke dalam lift, hanya mereka berdua.
Aksa melihat Binar dari pantulan di dinding lift, wanita itu diam saja. Tidak tahu apa yang sedang dirasakannya.
Pintu lift terbuka, beberapa pasang mata memperhatikan kedatangan mereka berdua. Binar merasa menjadi sorotan, namun berusaha profesional seperti biasanya. Karena dia juga sering seperti ini dengan Aksa sebelumnya, tapi entah kenapa kali ini terasa berbeda.
Uh..
Aksa mengemudi sendiri, Binar diminta duduk di sampingnya.
"Pak Putra kenapa tidak ikut, Pak?" Binar akhirnya buka suara.
"Karena dia ada kerjaan luar setelah rapat tadi," jawab Aksa enteng. Pantesan saja Binar melihat Putra terburu-buru keluar dari ruang rapat tadi.
"Kita mau kemana, Pak?"
"Makan, kan lapar," jawab Aksa santai, hari ini perasaannya antara baik dan tidak baik.
Bodoh juga rasanya Binar menanyakan hal itu, sudah jelas-jelas tadi bosnya mengatakan mengajak dia makan.