"Loh, Mas, kok ada pemberitahuan dana keluar dari rekening aku tadi siang? Kamu ambil lagi, ya, Mas?!"
"Iya, Mai, tadi Panji WA, katanya butuh uang, ada keperluan mendadak. Bulan depan juga dikembalikan. Maaf, Mas belum sempat ngomong ke kamu. Tadi Mas sibuk banget di kantor."
"Tapi, Mas, bukannya yang dua juta belum dikembalikan?"
Raut wajah Pandu masih terlihat sama bahkan begitu tenang, meski sang istri, Maira, mulai meradang oleh sifatnya yang seolah selalu ada padahal masih membutuhkan sokongan dana darinya. Apa yang Pandu lakukan tentu bukan tanpa sebab. Ya, nyatanya memiliki istri selain Maira merupakan ujian berat bagi Pandu. Istri yang ia nikahi secara diam-diam tersebut mampu membuat Pandu kelimpungan terutama dalam segi finansial. Hal tersebut membuat Pandu terpaksa harus memutar otak, mencari cara agar semua tercukupi, bahkan ia terpaksa harus membohongi Maira agar pernikahan ke duanya tidak terendus oleh Maira dan membuat Maira, istri tercintanya sakit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasri Ani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KEPUTUSAN PANDU
Suara bariton menyapa indra pendengaran. Kutatap lekat lelaki yang saat ini berdiri tegap di depan pintu. Ia terlihat melepas blangkon dan beskap luarnya lalu melemparnya asal. Keterkejutan terlihat jelas di wajah lelaki dengan rahang tegas itu.
"Afrizal Pandu Permadi!"
Lirih namun penuh penekanan aku menyebut nama pria yang sudah menjadi bagian dalam hidupku selama tiga tahun belakangan. Ia terlihat mematung, tanpa sepatah kata. Seolah tak percaya dengan apa yang ia lihat sekarang.
Kami saling menatap dalam keheningan yang menjeda.
"Siapa yang melakukan semua ini?"
Setelah beberapa saat, Mas Pandu mengeluarkan suara. Bertanya tanpa mengalihkan pandangannya padaku, bisa kulihat di belakang Mas Pandu juga berdiri ibu beserta viona. Mas Tama, Mbak Rani, dan juga Miranti Sanjaya beserta adik dari Viona juga turut serta. Semua berdiri di belakang Mas Pandu tanpa sepatah kata.
Sorot mata Mas Pandu dipenuhi amarah yang menggebu. Namun, hal itu tak lantas membuat aku tersentuh. Aku justru semakin muak dengan perlakuan yang seolah mencintaiku tanpa syarat. Padahal cinta itu jelas bersyarat, buah hati menjadi yang utama untuknya. Munafik.
"Siapa?! Jawab!"
teriak Mas Pandu untuk yang ke dua kalinya. Karena jawaban tak kunjung ia dengar.
"Sabar, Mas."
Tampak Viona dengan wajah sok perhatian berusaha mengusap lengan Mas Pandu. Seolah dia adalah istri yang paling pengertian dan lembut. Mas Pandu menepisnya. Sandiwara ini kian menjijikkan.
"Ibu, ibu yang melakukannya, Pandu."
Akhirnya, ibu menjawab dengan suara gemetar.
Dada Mas Pandu semakin naik turun setalah mendengar jawaban dari Ibu, napasnya memburu, rahangnya mengeras.
"Maira ...."
Dari belakang Mas Pandu, Arin datang dan berlari ke arahku. Menerjang semua orang yang berdiri di ambang pintu. Dengan membawa serta semua barang yang aku jatuhkan termasuk tasku.
Ia lantas merengkuh dan membawaku dalam dekapannya.
"Maira, kamu nggak papa?"
tanyanya mengusap punggungku.
Aku tergugu dalam dekapan Arin, air mataku kembali tumpah, meluap bersama segala rasa yang entah pada siapa aku bisa membaginya. Arin satu-satunya orang yang aku punya saat ini. Ya, nyatanya aku rapuh, nyatanya benteng ketegaran yang aku bangun begitu kuat sebagai anak yatim piatu runtuh oleh penghianatan yang dirancang begitu sempurna. Penghianatan orang terdekat bahkan paling istimewa.
"Rin...."
Mulutku ingin mengatakan segalanya namun
lidahku kelu, semua hanya bisa terhenti di tenggorokan.
"Aku udah tau, Mai. Kita pergi sekarang, Mai. Kita balas perlakuan mereka."
Aku mengangguk. Lalu Arin membantuku untuk berdiri.
"Arina, lepaskan istri saya, Maira."
Mas Pandu meninggikan suara, membuat Arin sontak melepaskan tanganku dan akhirnya melangkah cepat ke arah Mas Pandu dengan wajah merah padam. Rasanya, ingin sekali aku mencabik-cabik wajah Mas Pandu jika saja tubuhku tak selemah ini.
"Bedebah kamu, Pandu. Masih bisa kamu menyebut Maira istri?! Lihat apa yang sudah kamu perbuat. Dan kamu, Ja lang! Ini rupanya penyebab kamu mengundurkan diri? Karena kamu menikah dengan suami sahabatmu sendiri? Menjadi duri dalam daging sahabatmu?! Di mana otakmu, Viona? Kamu nggak pantes disebut sahabat! Kamu serigala berbulu doma. Pelakor nggak pantas menjadi Ibu,"
cecar Arin pada Mas Pandu lalu beralih pada Viona.
"Arina!"
bentak Viona tak terima.
"Cukup! Arina, jangan ikut campur dan keluar dari tempat ini. Semua keluar dari sini,"
kata Mas Pandu seraya mencekal lengan Arin, kemudian mendorongnya ke arah ibu dan yang lain.
"Jangan sakiti Arin, Pandu!"
Sekuat tenaga aku berusaha mengeluarkan suara dengan nada sekeras mungkin.
"Semua keluar! Tinggalkan aku dan Maira. Keluar!"
Dengan kasar Mas Pandu mendorong semua yang ada di sana termasuk Viona.
"Pandu, jangan kasar, Viona sedang mengandung anak kamu,"
tegur ibu pada Mas Pandu.
"Kalau begitu bawa semua keluar, Bu. Maira akan tetap di sini bersamaku."
"Pandu, ini nggak bener, ini acara Viona. Jangan bikin Viona stress."
Mbak Rani berujar, aku tersenyum getir. Viona, Viona, Viona terus yang mereka pikirkan. Bahkan mereka tak memikirkan wanita yang sudah rusak hatinya ini. Mamuakkan.
"Keluar!"
Suara Mas Pandu yang menggelegar akhirnya mampu membuat semua orang terdiam.
"Keluar semua."
Pada akhirnya Mas Tama turun tangan, mengajak semua untuk keluar.
"Mai,"
seru Arin dengan raut bingung. Aku tahu, apa yang Arin sedang pikirkan. Dia tak bisa meninggalkan aku sendirian. Ia ingin segera membawaku pergi agar luka tak semakin menjadi. Namun, ia juga merasa takut dengan kemarahan Mas Pandu yang sudah tak ada lagi yang bisa mengendalikannya termasuk ibu.
"Pergilah, Rin. Masalahku akan selesai hari ini juga. Percayalah. Aku mampu,"
ucapku meyakinkan. Tak peduli sehancur apa jiwa dan ragaku, masalah harus tetap aku hadapi dan tak akan aku libatkan Arin di dalamnya.
Patah-patah Arin mengangguk.
"Aku tunggu kamu di luar."
"Rin."
"Ya."
"Letakkan tasku di situ saja,"
ujarku seraya menunjuk nakas sebelah Arin.
Ia kembali mengangguk dan segera melakukan permintaanku.
"Sekarang semua keluar!"
tegas Mas Pandu begitu tak sabar.
"Tapi, Mas. Tamu masih menunggu."
Wanita tak tahu malu dengan segala muslihatnya itu kembali bersuara. Bahkan, tanpa rasa bersalah.
"Acara selesai, Viona. Sekarang, keluar sebelum aku kehilangan kendali,"
jawab Mas Pandu tanpa menatap wajah istri ke duanya seraya mengangkat tangan ke arah pintu.
Lagi-lagi sikap sok pedulinya itu membuat aku
menggelengkan kepala dan tersenyum jijik.
Meski berat, akhirnya Viona dan Arin mengikuti yang lain keluar. Mas Pandu bergegas menutup dan mengunci pintu dari dalam.
Kini hanya ada aku dan Mas Pandu di dalam sini. Ia berbalik ke arahku. Matanya berubah sendu. Namun tak akan mampu meluluhkan hatiku yang sudah membatu.
"Maira, Sayang,"
lirihnya menghampiriku.
"Berhenti. Aku jijik dengan semua yang ada padamu, Mas. Aku jijik. Jangan pernah mendekatiku."
Aku berkata seraya mengangkat tangan lalu memeluk ke dua lututku sebagai bentuk penolakan. Jangankan disentuh, didekatinya saja aku tak akan sudi lagi.
"Kita obati dulu luka kamu, Mai."
Ia masih begitu tenang padahal aku sudah sangat geram. Apa dia benar-benar sudah gila? Sikap ini membuatku semakin membencinya.
"Sudah berapa lama kalian bermain di belakangku?"
"Mai, kita bicara, setelah kita obati lukamu, ya."
"Luka ini tak ada artinya dibandingkan luka yang kau goreskan di dalam sini, Mas."
Napasku sesak menahan isak. Mata itu pun mulai mengembun. Lalu ia beringsut mendekat dan tanpa ijin ia langsung membawaku dalam pelukan, ia mendekapku, erat.
"Maira, maafkan, Mas, Mai. Mas khilaf, Mai. Mas Khilaf,"
ujarnya dengan air mata yang mengalir deras. Aku tersenyum getir. Khilaf? Khilaf hingga berbadan dua? Omong kosong.
"Lepaskan, aku, Mas. Sudah kubilang Jangan menyentuhku. Aku jijik."
Sekuat tenaga aku berusaha mengurai, mendorong, mencakar, hingga memukulnya berkali-kali, tapi kekuatanku tak ada apa-apanya dibanding kekuatan Mas Pandu. Ia justru semakin erat memelukku.
"Jangan seperti ini, Mai. Mas cuma cinta sama kamu, Mai."
"Beginikah caramu membalas semua yang sudah aku lakukan untukmu selama ini, Mas? Aku berjuang mati-matian, kamu asik dengan wanita lain di belakang? Di mana nuranimu, Mas? Dimana!"
Sekuat tenaga aku melawan, akhirnya amarah yang
memuncak mampu membuatnya melepaskan aku. Ia tersentak dan jatuh terjengkal.
Aku bangkit
."Kejam kamu, Mas. Kalian semua nggak pantas disebut keluarga. Kalau nggak terima dengan keadaanku, kenapa nggak menceraikan aku, Mas?"
"Maaf, Mai. Mas mohon maafkan, Mas,"
ujarnya dengan nada penuh permohonan. Namun, ketika hati sudah rusak, kata maaf tak akan ada artinya lagi.
"Masih ingat kamu perjanjian kita?"
Kuambil napas dalam-dalam lalu mengeluarkannya secara perlahan untuk melonggarkan sesak di dada, sebab, masih banyak yang harus aku katakan pada lelaki sialan ini.
"Aku nggak akan menyuruh kamu untuk memilih aku atau Viona. Nggak, tenang lah."
"Justru itu, Mai. Kenapa Mas menyembunyikan ini semua dari kamu, karena Mas nggak mau kehilangan kamu, Mai. Mas nggak mau. Mas tau, Mas salah. Kesalahan Mas ini fatal. Tapi, jangan memaksa untuk berpisah. Mas nggak akan mau, Mai. Cuma kamu wanita yang ada dalam hati, Mas."
Ia bangkit dan kembali mendekatiku.
Aku tertawa sunbang seraya bertepuk tangan.
"Cinta? Cinta tak semenyakitkan ini, Mas. Bagiku saling melengkapi, menerima kekurangan satu sama lain, dan cinta cukup berdua tanpa ada yang ke tiga. Karena kita hanya manusia biasa."
Ia hanya bisa diam seribu bahasa. Merangkai kata untuk memberi penjelasan saja tampaknya sudah tak
mampu. Bagaimana bisa melaksanakan jika teori saja tak mampu ia sampaikan.
"Kamu tau benar, kan, Mas. Apa yang terjadi jika sampai hal ini terjadi? Kita sudah sepakat bahkan sebelum menikah. Jangan lupa dengan janjimu. Kamu sudah melempar kotoran ke wajahku, dengan sahabatku sendiri. Jadi, aku harap kamu masih punya harga diri dengan tidak menjilat ludahmu sendiri. Ada orang ke tiga berarti semua berakhir!"
"Nggak, Mai, aku sayang sama kamu. Tunggu sebentar saja, Mai."
Dahiku mengerut, mendengar ucapan itu.
"Viona mengandung anakmu. Jangan menambah dosamu dengan meninggalkan anakmu demi aku karena aku tak Sudi dimadu dan karena aku sudah tak bisa lagi menampung laki-laki pendusta sepertimu."
"Mai, Mas bisa menjelaskan."
"Simpan saja penjelasanmu di pengadilan."
Aku sudah tak mau dan tak ingin tahu bagaimana awal cerita mereka dimulai, bagiku semua tak penting lagi. Semua sudah terlanjur, bagaimanapun ceritanya tak akan mengubah semua seperti semula. Mas Pandu akan menyandang gelar ayah dari anak perempuan lain dan suami bagi perempuan lain juga. Jika berbagi sesuatu yang tampak saja kadang sulit lalu bagaimana berbagi hati yang tak kasat mata.
Kini yang terpenting bagiku hanyalah memikirkan diriku sendiri, menjaga kewarasanku, karena ini bukan drama. Di mana istri pertama siap menderita hanya demi kebahagiaan suaminya yang mendambakan buah hati yang tak bisa diberikan oleh istri pertamanya atau istri pertama yang siap menyiksa batinnya sendiri hanya karena kekurangan yang dia miliki. Bukankah semua yang terjadi termasuk penyakit ini, Tuhan yang memberi? Lalu untuk apa aku harus menggantungkan kebahagiaanku pada manusia-manusia yang tak takut akan Tuhan ini.
Ini juga bukan cerita novel yang sedang viral dan diminati banyak ibu rumah tangga. Di mana istri pertama mampu menyimpan luka sedemikian rupa lalu menyusun siasat dan rencana untuk membalas perbuatan sang madu beserta suaminya. Karena nyatanya rasa sakit yang tak terperi ini tak akan mampu kusimpan sendiri.
"Apa? Pengadilan? Jangan pernah bermimpi untuk ke pengadilan, Maira. Karena kamu dan Viona akan tetap menjadi istriku. Kamu istriku sedangkan Viona ibu dari anakku. Kau paham, Humaira?!"
Raut wajah Mas Pandu yang sebelumnya terlihat sendu dan mengharu biru berubah murka seketika.
"Apa yang kamu lakukan adalah hakmu dan apa yang aku lakukan adalah hakku. Jadi, jangan urusi hakku dan aku nggak akan mengurusi hakmu."
"Dalam hak istri ada hak suami, Maira. Kamu berhak marah atas hal ini. Silahkan, tapi seorang istri harus mentaati suami. Agama tidak melarang lelaki memiliki istri lebih dari satu selama suami bisa berlaku adil. Mas akan adil pada kalian."
Luar biasa, kini dia mulai mengeluarkan dalil agama padahal apa yang ia lakukan sama sekali tidak selayaknya orang yang beragama. Menikah tanpa ijin, nafkah pun tak pernah adil.
"Adil?! Adil kamu bilang, Mas?!"
Kuambil tas yang diletakkan Arin di atas nakas lalu kubuka dan kuambil semua bukti mutasi rekening pemberian Panji. Detik selanjutnya, kulempar dengan kasar semua kertas itu ke muka Mas Pandu yang tak tahu malu hingga berserakan.
"Itu yang kamu bilang adil, Mas? Aku bekerja keras membiayai pengobatan, makanan, biaya rumah tangga dan kamu... kamu justru melapangkan nafkah istrimu yang lain. Di belakangku! Kamu bahkan melakukan permainan busuk seperti itu, Mas. Bersandiwara menipuku. Apa yang sudah kamu lakukan ini benar-benar keterlaluan, Mas. Dan kalian bersekongkol, menganggap aku seolah aku ini orang bodoh!"
Setelah memungut beberapa lembar dan membacanya, ia pun meremas kuat kertas tersebut.
"Dari mana kamu dapat ini, Mai? Panji?!"
"Nggak penting aku dapat dari mana, yang perlu kamu katakan hanyalah dari mana kamu mendapatkan uang sebanyak itu untuk menafkahi Viona? Apa yang kamu sembunyikan lagi dariku selama ini, Mas? Atau jangan-jangan rumah baru ini juga kamu yang memberikannya? Hah? Iya, Mas?"
Akhirnya aku mengeluarkan apa yang menjadi tanda tanya besar di dalam kepala.
Ia tak menjawab.
"Jadi benar?! Ini rumah kamu? Istri yang sudah 3 tahun bersama, kamu tempatkan di rumah yang bahkan seperti rumah pembantu jika dibandingkan dengan rumah ini? Dan istri mudamu kamu tempatkan di istana megah? Inikah keadilan bagi seorang Pandu?!"
"Iblis!"
Aku melangkah meninggalkan Mas Pandu yang masih mematung. Jantungku berdentam kuat. Kenyataan ini membuatku semakin mantap untuk melepaskan diri dari pria biadab yang kuanggap seperti dewa, yang lebih pantas disebut malaikat pencabut nyawa itu.
"Maira, berhenti, Mai."
Mas Pandu tiba-tiba berdiri menghadang pintu, membuat langkahku tersendat.
"Minggir."
Aku berusaha menyingkirkan Mas Pandu dari hadapan.
"Nggak, Mai. Kamu akan tetap di sini. Bersama Mas.
Tinggal lah di sini."
"Gila kamu, Mas!"
"Aku akan benar-benar gila jika harus kehilangan kamu, Mai." Dengan cepat ia meraih tanganku setelah menarik kunci dari pintu dan menyimpannya di saku.
"Kamu ini apa-apaan, Mas?!"
Mas Pandu memaksaku untuk duduk di tepi ranjang. Detik selanjutnya, kabel telepon yang ada di kamar itu diputus olehnya. Lalu merampas tas dari tanganku. Aku tak percaya dia bisa melakukan ini semua.
"Kamu akan tetap di sini, Mai. Sampai Mas kembali."
"Mas, jangan gila kamu, Mas. Kembaliin tasku."
"Enggak, Mai. Semua akan Mas jelaskan setelah Mas kembali, yang pasti hal ini tidak seperti yang kamu bayangkan sepenuhnya."