Dulu, Kodasih adalah perempuan cantik yang hidup dalam kemewahan dan cinta. Namun segalanya telah lenyap. Kekasih meninggal, wajahnya hancur, dan seluruh harta peninggalan diambil alih oleh negara.
Dengan iklas hati Kodasih menerima kenyataan dan terus berusaha menjadi orang baik..
Namun waktu terus berjalan. Zaman berubah, dan orang orang yang dulu mengasihinya, setia menemani dalam suka dan duka, telah pergi.
Kini ia hidup dalam bayang bayang penderitaan, yang dipenuhi kenangan masa silam.
Kodasih menua dan terlupakan..
Sampai suatu malam...
“Mbah Ranti... aku akan ke rumah Mbah Ranti...” bisik lirih Kodasih dengan bibir gemetar..
Mbah Ranti adalah dukun tua dari masa silam, penjaga ilmu hitam yang mampu membangkitkan apa pun yang telah hilang: kecantikan, harta, cinta... bahkan kehidupan abadi.
Namun setiap keajaiban menuntut tumbal..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arias Binerkah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 7.
Malam menyusut perlahan, diganti embun dini hari. Lalu embun itu mengering menjadi siang; dan siang meredup kembali menjadi malam lain yang tak sama. Hari hari terus datang dan pergi seperti helai kain yang ditenun tanpa jeda.
Dan tanpa ada satu pun yang menyadarinya, waktu terus berlalu… Setiap hari demi hari, satu per satu wajah wajah baru mulai muncul menapaki halaman rumah Joglo Kodasih.
“Untung masih ada Nyi Kodasih, tempat kita minta pertolongan. Mbah Jati sudah tiada… dan Kang Arjo sudah pindah jauh…” ucap salah satu warga dusun pada suatu sore yang gerimis rintik.
Yang lain menimpali pelan, “Iya… kalau tidak ada Nyi, entah bagaimana kita.”
Musim demi musim berganti. Buah kopi memerah dan daun menguning… berganti tunas baru lalu muncul kuncup bunga baru lagi… tumbuh dan luruh, saling berganti...
Tanpa tanda yang mencolok, hanya lewat perubahan perubahan kecil yang terkumpul dalam diam. Tahun tahun pun berlalu di lereng Merapi.
Anak anak yang dulu digendong kini telah tumbuh dewasa. Orang-orang yang dulu renta kini telah berpindah alam...
Kabut masih turun setiap pagi, setia seperti dulu...
Tetapi dari kejauhan kini terdengar bunyi lain. Bunyi yang tak pernah ada saat Kodasih pertama menyalakan pelita itu di joglo. Derum sepeda motor, peluit petugas kesehatan, dan suara mobil yang membawa papan bertuliskan “Puskesmas Pembantu Dusun Akar Wangi.”
Mbok Piyah yang sudah janda, rambut nya telah memutih semua, berjalan tertatih tatih dengan tongkat kayunya. Meski pun anak cucunya akan menjemput dirinya . Namun ia masih tidak tega meninggalkan Kodasih majikannya..
“Nyi… kata Sanah di dusun bawah akan ada rumah sakit kecil. Huk… huk… hukk…” Suara serak Mbok Piyah diselingi batuk tua yang terdengar berat.
Sanah yang sedang membantu mengemas barang barang Warastri menjawab sambil membetulkan letak koper kayu, “Bukan rumah sakit, Mbok… kata orang orang nama nya Puskesmas.”
“Pus.. ke.. smas…” Mbok Piyah mengulang sambil mengernyit, “Wah, zaman kok aneh aneh sekarang…”
Kodasih duduk diam di serambi, pandangan mata nya tampak kosong. Ia belum begitu memikirkan hadir nya puskesmas atau rumah sakit kecil seperti yang dibilang Mbok Piyah. Tetapi hati nya sedih, karena Warastri akan bekerja di kota.
Angin dari lereng membawa bau tanah lembap, menyusup di antara tiang tiang joglo yang mulai keropos dimakan usia. Kodasih menarik napas pelan; udara pagi yang dulu terasa jernih kini membawa sedikit aroma bensin dari kendaraan yang lewat.
“Zaman berubah, Nyi…” gumam Mbok Piyah lirih, seolah membaca isi hati Kodasih. Lalu duduk tidak jauh dari Nyi Kodasih.
Kodasih hanya mengangguk. Rambut nya yang sudah dua warna, digelung sederhana… terlepas beberapa helai tertiup angin. Dalam diam ia merasakan sesuatu yang tak bisa ia sebut... kehilangan yang tidak sepenuhnya kehilangan, tetapi juga bukan sepenuhnya kehadiran.
Sesaat kemudian Warastri muncul dari dalam. Ia sudah tumbuh menjadi gadis cantik, rambut diikat satu di belakang, tubuh nya yang semampai terbalut gaun sederhana hingga bawah lutut.
“Nyi… saya jadi ke kota.” Kata nya sambil tersenyum, meski matanya berkaca kaca. Hati nya tahu jika Nyi Kodasih, merasa berat untuk ditinggalkannya ..
Kodasih memandang nya lama...
“Kota itu ramai, Tri. Jangan lupa makan. Jangan lupa pulang,” kata nya pelan.
Warastri menggigit bibirnya, menahan gemetar. “Saya pasti pulang, Nyi… Katanya gaji di kota lebih baik. Jadi nanti saya bisa bantu Emak, Bapak, Mbah Piyah… dan Nyi juga.”
“Hm…” Kodasih hanya tersenyum kecil, senyum yang lebih mirip garis kesedihan. “Orang-orang yang Nyi sayangi satu per satu pergi… tapi Nyi tetap mendoakan kalian.”
Sanah menutup koper kayu itu.
“Jaga diri baik-baik, Nduk. Kamu jadi tinggal di rumah Pak De Pono kan?”
“Iya Mak, untuk sementara aku tinggal di rumah Pak De Pono. Sumilir sangat senang aku tinggal di sana,” jawab Warastri, mata nya berbinar binar, meski sinar nya tak sepenuhnya menutupi gundah hati nya.
Tiba tiba Pardi muncul dari pintu samping, sudah mengenakan celana panjang dan kemeja rapi. Ia menepuk nepuk debu di bahunya.
“Iya Mak, aku sudah izin pada Kang Pono. Dia senang sekali kalau Warastri tinggal di rumahnya,” ucap Pardi. Rambut nya kini juga sudah dua warna, seperti uban yang tumbuh mengikuti perjalanan waktu. Kang Pono memang sudah lama tinggal di kota sejak diangkat menjadi Tentara Republik Indonesia.
Dari kejauhan, suara motor kembali terdengar. Dua petugas kesehatan turun dan menegakkan papan sementara bertuliskan Pendataan Kesehatan Dusun Akar Wangi. Warga yang lewat memperhatikan dengan campuran ingin tahu dan was was. Hal baru selalu punya bayangan panjang di dusun lereng Merapi.
Tak jauh dari situ, terdengar gumaman warga:
“Wah, sekarang ada petugas kesehatan segalanya…”
“Iya, apa nanti masih ada yang ke rumah Nyi Kodasih, ya?”
Sanah akhirnya menanyakan itu secara langsung.
“Nyi… apa nanti orang orang masih datang minta pertolongan ke sini kalau sudah ada Puskesmas?”
Pertanyaan itu seperti batu kecil yang jatuh tepat ke kedalaman hati Kodasih. Ia menatap joglo yang telah menampung begitu banyak keluh kesah. Suara bayi lahir, tangis keluarga yang kehilangan, doa doa yang diucapkan tanpa nama.
“Mungkin… tidak sebanyak dulu,” jawab Kodasih akhirnya. “Tapi selama orang masih percaya pada yang tak terlihat, mereka tetap akan mencari tempat seperti ini.”
Mbok Piyah mengangguk, memegangi tongkatnya.
“Orang boleh dapat obat dari kota… tapi ketenangan itu, Nyi… cuma ada di sini. Di tempat yang sudah kenal napas kita sejak kecil.”
Sebentar kemudian, Warastri pamit.
Ia mencium tangan Kodasih, lama, seolah ingin menitipkan seluruh masa kecilnya dalam satu sentuhan.
“Nyi… terima kasih untuk semuanya… Saya mohon doa restu... ” bisiknya lirih.
Kodasih membalas dengan usapan lembut di kepala gadis itu.
“Wis… pergilah. Masa depanmu nunggu di sana.”
Saat Warastri dan Pardi ayahnya melangkah turun, bayangannya mengecil di antara pohon kopi, lalu menghilang di tikungan. Kini sudah tidak ada kereta kuda milik Nyi Kodasih yang dulu setia mengantar. Kuda kuda itu telah mati sebelum Pak Sastro meninggal. Kodasih sudah tidak kuat membeli kuda yang baru.
Setelah Warastri dan Pardi tidak terlihat di pandangan mata. Sanah dan Mbok Piyah segera masuk ke dalam rumah. Akan tetapi Kodasih tetap duduk di serambi. Memandang jalan tanah yang perlahan kembali sepi. Di balik tatapan kosongnya, doa doa lama mulai bermunculan, seperti bara kecil yang tak pernah padam.
Joglo tua itu pun kembali sunyi. Namun ksli ini, ada getar halus.. masa depan yang mengetuk, belum sepenuhnya diterima, tapi tak mungkin ditolak.
Namun sesaat dari dalam rumah terdengar suara ...
BRUUUKK
Dan bersamaan dengan itu suara Sanah berteriak keras.. “Ya Allah Mbookk!”
yakinlah bahwa setial karya mu akan jadi
pelajaran di ambil.sisi baik nua dan di ingat sisi buruk nya
mksh mbk yu dah bikin karya yg kuar biasa
"Angin kotor " aku bacanya "Angin kolor" 🤣🤣🤣 mungkin karena belum tidur semalaman jd bliur mataku 🤣🤣🤣🤣