Ini adalah kisah tentang seorang ibu yang terabaikan oleh anak - anak nya di usia senja hingga dia memutuskan untuk mengakhiri hidup nya.
" Jika anak - anak ku saja tidak menginginkan aku, untuk apa aku hidup ya Allah." Isak Fatma di dalam sujud nya.
Hingga kebahagiaan itu dia dapat kan dari seorang gadis yang menerima nya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fitri Wardani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hati
*****
Fatma sibuk mematuk diri nya di depan cermin. Dia memegangi sebuah jilbab dan menata nya dengan rapi di atas kepala nya. Mencoba mencocokkan jilbab itu dengan wajah nya. Kadang dia harus memutar jilbab itu ke kanan dan ke kiri agar terlihat bagus di pakai.
" Bunda." Panggil Kanaya yang langsung membuka pintu kamar Fatma.
Sontak Fatma langsung menyembunyikan hijab itu di belakang tubuh nya. Tapi tak kalah cepat kala Kanaya sempat melihat nya.
" Bunda ngapain?" Tanya Kanaya semakin masuk ke dalam.
" Tidak, Nak. Ini lagi pakai bedak. Mau ke depan lihat sayur." Jawab Fatma terbata karena gugup.
Kanaya tersenyum lalu menarik tangan Fatma yang dia sembunyikan di belakang tubuhnya.
" Ini apa?" Tanya Kanaya lagi.
" Iya. Ini jilbab kamu terbawa sama pakaian bunda waktu di setrika tadi malam." Jawab Fatma lagi berbohong.
Kanaya pun tersenyum. Dia tahu apa yang di lakukan Fatma tadi. Dia bisa melihat dengan jelas sebelum Fatma sempat menyembunyikan nya.
" Bunda mau pakai jilbab?"
Fatma tidak langsung menjawab. Dia menatap Kanaya yang merasa Kanaya selalu tahu apa yang ada di pikiran nya.
" Naya bisa belikan hijab yang instan buat bunda. Biar bunda gampang pakai nya."
" Bunda ingin pakai hijab seperti kamu. Kamu terlihat cantik jika memakai nya. Belum terlambat kan untuk bunda memakainya?"
" Ya belum lah. Justru Naya senang dengar nya. Bunda mau menutup aurat. "
Kanaya pun mengambil hijab segiempat yang di pegang Fatma. Dia melipatnya agar mudah untuk di pakaikan ke Fatma.
" Sudah lama Naya mau suruh bunda pakai hijab. Tapi Naya takut. Naya nggak mau bunda berpikir kalau Naya ini banyak aturan. Jadi Naya diam saja. Nunggu sampai bunda tergerak sendiri untuk pakai hijab. Karena kan menutup aurat itu kewajiban. Dan harus di lakukan dengan hati yang ikhlas. Bukan dengan paksaan ." Ucap Kanaya sembari memakaikan hijab kepada Fatma.
" Selesai." Ujar Kanaya membelokkan Fatma ke depan cermin.
" Tuh kan... Bunda juga cantik banget pakai hijab. Apa lagi kalau pakai hijab instan. Pasti lebih cantik." Puji Kanaya.
Fatma merasa haru dengan pujian yang di berikan Kanaya pada nya. Tak terasa air mata nya menetes di pipi. Dia menyentuh lembut pipi Kanaya lalu memeluk nya erat.
" Orang tua kamu pasti orang yang sangat baik, Nak. Mereka memiliki kebaikan seperti malaikat yang mereka turunkan untuk kamu. Bunda nggak tahu bagaimana nasib bunda sekarang ini jika bunda tidak bertemu dengan kamu, Naya. Kamu adalah malaikat penolong bunda. Malaikat yang di kirim Allah untuk bunda." Ucap Fatma.
" Bunda terlalu berlebihan memuji Naya. Naya bahkan jauh lebih beruntung bisa bertemu dengan bunda. Akhir nya Naya bisa punya bunda, walau pun bunda tidak melahirkan Naya." Balas Kanaya.
Fatma melepaskan pelukannya dengan perlahan, jari-jarinya gemetar saat menyeka sisa-sisa air mata yang membasahi pipinya.
" Nanti pulang dari kantor, Naya belikan hijab instan buat bunda. Biar bunda gampang pakai nya. Nggak usah pakai jarum - jarum."
Fatma mengangguk pelan.
" Kalau gitu, Naya berangkat ke kantor dulu ya Bun. Sarapan yang bunda buatkan sudah Naya habiskan. Sarapan nya enak. Terima kasih bunda."
" Alhamdulillah kalau kamu suka. Bunda jadi makin semangat masak buat kamu."
Kanaya melangkah pergi meninggalkan rumah saat taksi yang dia pesan sudah sampai.
Fatma melambaikan tangan nya mengantar kepergian Kanaya. Dengan senyum yang masih menempel di wajah, Fatma masuk ke dalam. Dia menyentuh hijab yang di pakaian Kanaya pada nya.
Menatap diri nya yang sudah tertutup dengan hijab itu dari kaca lemari hias di ruang tamu.
" Bismillahirrahmanirrahim." Gumam Fatma memejamkan mata nya.
*
*
*
Taksi yang membawa Kanaya berhenti di kantor nya. Dia masuk dengan kondisi tubuh yang jauh lebih baik sekarang. Walau pun masih terasa nyeri di dada saat dia kelelahan atau sedang berpikir keras.
" Kanaya." Sapa Aris dari belakang Kanaya.
Kanaya menoleh lalu tersenyum saat melihat Aris di belakang nya.
" Selamat pagi pak Aris. Apa kabar?" Jawab Kanaya.
" Kabar saya baik, Naya. Kamu sendiri bagaimana? Sudah berapa hari tidak melihat kamu, hari ini kamu terlihat sangat segar. Seperti nya Bandung sudah memberikan energi positif untuk kamu." Ucap Aris yang berjalan beriringan dengan Kanaya.
" Alhamdulillah kalau begitu, pak. Saya lega akhir nya bisa ke Bandung menjenguk keluarga di sana."
" Syukurlah kalau begitu. Sudah siap dengan tugas hari ini?"
" Aduh... Kayak nya bakal di kasi tugas banyak nih dari pak Aris." Celetuk Kanaya.
Aris tersenyum dan mereka masuk ke dalam lift.
" Bukan hanya banyak, tapi banyak sekali. Rata - rata semua tugas yang saya berikan lada Bella tidak ada yang selesai sampai tuntas. Dia selalu beralasan jika kamu tidak pernah mengajari nya soal itu. Ada saja alasan nya. Sampai saya sendiri yang harus mengerjakan nya." Sindir Aris tersenyum.
" Maaf pak, selama saya cuti saya sudah banyak merepotkan bapak."
" Kali ini kamu saya maafkan. Tapi tidak lain kali ya ,Naya. Jangan pergi begitu saja tanpa memberi kabar pada saya. Kamu tahu, saya sangat khawatir saat saya tidak bisa menghubungi kamu. Bahkan kamu tidak pernah membalas chat saya satu pun." Ucap Aris fokus menatap Kanaya.
Saat itu di rumah sakit Kanaya juga kaget melihat banyak nya panggilan dan lesan masuk dari Aris. Dia tahu jika pria yang berdiri di sebelah nya itu sangat mengkhawatir kan nya. Tapi Kanaya juga tidak mau memberikan harapan kosong Alda Aris. Dia sadar akan kondisi nya sekarang. Dan dia tidak mau memberatkan Aris dengan penyakit nya.
Kanaya mulai terhanyut dalam kenyamanan yang ia rasakan setiap kali berada di dekat Aris. Pikirannya selalu melayang ke sosok Aris, bahkan saat ia hendak terlelap, menjadikan Aris sang penghuni tetap dalam dunia mimpinya.
" Tolong jangan abaikan panggilan dan pesan saya. Tidak masalah jika kamu tidak bisa menerima saya, tapi saya hanya ingin kamu tahu. Jika saya tidak mau terjadi sesuatu sama kamu. Saya hanya ingin memastikan kamu baik - baik saja." Ucap Aris dengan tulus.
Kanaya bisa merasakan dalam nya perasaan seorang Aris pada nya. Nada suara Aris yang lembut mampu menembus dinding pertahanan Kanaya untuk menjaga hati nya dari Aris.
" Pak..."
" Sepulang kantor kamu saya antar pulang ya. Ada yang mau saya bicarakan dengan kamu. Mungkin kamu sudah tahu. Tapi... Saya hanya ingin kamu mendengarkan nya sekali lagi Naya." Pinta Aris dengan sangat.
Pikiran Kanaya mulai berputar kesana kemari. Permintaan Aris bukan lah berat, tapi Kanaya butuh waktu yang lama untuk menyetujui nya.
" Baik lah, pak. Tapi sebelum itu bapak temani saya ke Mall ya. Saya mau membeli beberapa hijab." Jawab Kanaya.
" Baik lah."
Ting
Pintu lift terbuka di lantai tempat Aris dan Kanaya bekerja.
" Ayo." Ajak Aris meminta Kanaya terlebih dahulu keluar.
Kanaya melangkah keluar tanpa menyadari bahwa seorang OB sedang mendorong gerobak penuh peralatan kebersihan di jalurnya.
" Awas Naya." Pekik Aris.
Tepat saat mereka nyaris bertabrakan, Aris dengan refleks sigap menarik Kanaya mendekat, menyebabkan tubuh Kanaya mendadak menempel erat di dada Aris.
Napas Kanaya tersengal, detak jantungnya berpacu, dan matanya memandang Aris dengan rasa terima kasih yang mendalam tercampur kejut.
" Kamu sangat cantik Naya kalau di lihat dari jarak sedekat ini. Kecantikan kamu sangat alami. Hal yang tidak bisa saya temukan di wajah perempuan lain." Bathin Aris.
" Ya Allah... Kenapa ini? Jantung ku kok berdebar gini. Kuat Naya... Kuat... Jangan sampai kamu baper sama pak Aris. Walau pun wajah pak Aris ganteng juga kalau di lihat - lihat. Wajah yang bersih. Sama seperti hati nya yang sangat baik." Bathin Kanaya.
Aris segera sadar dan melepaskan pelukan nya dari tubuh Kanaya takut Kanaya merasa tidak nyaman saat karyawan lain melihat mereka.
" Maaf maaf, Naya."
" Nggak papa, pak. Terima kasih bapak sudah menolong saya."
" Tapi kamu nggak apa - apa kan? Ada yang terluka?" Tanya Aris memperhatikan tubuh Kanaya dari atas sampai bawah.
" Saya baik - baik saja, pak. Nggak ada yang luka."
" Bagus lah kalau begitu."
" Saya duluan ke meja saya ya, pak. Sampai ketemu nanti sore." Pamit Kanaya berlalu dengan cepat karena grogi berada terlalu dekat dengan Aris.
" Iya iya, Naya." Jawab Aris.
Aris bahkan tak mampu mengontrol detak jantungnya yang berdegup kencang seakan mau melompat keluar dari dada. Keriuhan di dalam hatinya tiada tara, Kanaya telah menghancurkan setiap tembok pertahanannya hingga tak ada lagi yang mampu menahan pandangannya hanya untuk satu orang itu.
Dengan tatapan nanar, Aris mengikuti setiap langkah Kanaya, mematri bayangannya dalam-dalam sebelum ia menghilang di balik tikungan koridor yang sepi.
Setiap hembusan nafasnya terasa berat, menyadari betapa dalamnya ia telah terperosok dalam genggaman cinta yang tak terelakkan.