Cinta Di Antara Dua Istri Sang CEO

Waktu menunjukkan pukul delapan malam di kota Busan. Langit mulai gelap, hanya diterangi kelap-kelip lampu dari gedung-gedung tinggi yang menjulang di kejauhan. Angin malam berhembus lembut melewati balkon kamar Zeline, mengibaskan helaian rambut panjangnya yang dibiarkan terurai.

   Ia duduk di kursi rotan, menatap kosong ke arah kota yang tampak gemerlap    kontras dengan hatinya yang justru terasa gelap dan kacau. Pikirannya penuh, dadanya sesak. Di tangannya, ponsel terus bergetar pelan, menampilkan pesan yang sama berulang kali.

     "Aku harap kau bisa datang, Zeline."    Taehyung

    Zeline menggenggam ponsel itu erat-erat. Napasnya tidak beraturan, bibirnya bergetar menahan rasa yang tidak bisa ia jelaskan.

“Kenapa aku harus merasa seperti ini lagi…” bisiknya pada diri sendiri.

    Ia bangkit dari duduknya, berjalan mondar-mandir di balkon, seolah langkah-langkah kecil itu bisa membantu pikirannya tenang. Namun semakin ia mencoba berpikir jernih, semakin hatinya berontak. Bayangan masa lalu bersama Taehyung muncul lagi    tawa, janji, dan luka yang belum sepenuhnya sembuh.

    Sementara itu, di sisi lain kota, Taehyung duduk di sebuah meja dekat jendela besar di restoran mewah Skyline Blu Terrace, restoran dengan pemandangan laut dan gemerlap lampu kota. Di depannya, dua gelas wine masih penuh. Di tangan kirinya, jam menunjukkan pukul delapan lewat tiga puluh.

     Ia menatap jam itu lagi, lalu menghela napas panjang. “Apa aku terlalu berharap?” gumamnya pelan, matanya tak lepas dari pintu masuk restoran.

    Pelayan datang menanyakan apakah ia ingin memesan makanan, namun Taehyung hanya menggeleng. “Nanti saja… mungkin sebentar lagi dia datang,” katanya lirih, meski di hatinya, keraguan mulai tumbuh.

    Kembali ke balkon rumah Appa, Zeline memandangi layar ponsel untuk kesekian kalinya. Jemarinya hampir menekan ikon pesan, namun ia menarik tangannya kembali dan menatap langit malam.

Jam terus berdetak, menunjukkan pukul sembilan malam. Restoran Skyline Blu Terrace kini mulai sepi, hanya tersisa beberapa pasangan yang menikmati makan malam di bawah cahaya lampu temaram. Di sudut dekat jendela besar, Taehyung masih duduk sendiri, menatap gelas wine yang sudah kehilangan suhunya.

    Ia menghela napas berat, jemarinya mengetuk pelan meja di hadapannya.

    “Zeline… apa kau benar-benar tidak akan datang?” gumamnya lirih, nyaris seperti bisikan yang hanya bisa didengar oleh dirinya sendiri.

    Raut wajahnya tampak kecewa, namun juga pasrah. Dengan langkah pelan, Taehyung berdiri, mengambil jasnya yang tersampir di kursi. Ia menatap sekali lagi pemandangan malam Busan dari balik kaca    laut yang berkilau, lampu kota yang menari, dan langit yang memantulkan cahaya biru lembut dari gedung-gedung tinggi.

    Ia menghela napas terakhir sebelum berbalik menuju pintu keluar.

Tangannya sudah menyentuh gagang pintu ketika tiba-tiba…

Klik.

    Pintu itu terbuka dari arah luar.

 Dan di sana    berdiri seorang wanita yang wajahnya tak akan pernah ia lupakan.

Zeline.

    Tubuhnya kaku sesaat, mata mereka saling bertemu dalam diam yang mengguncang. Taehyung bahkan sempat membeku, pikirannya menolak percaya dengan apa yang ia lihat.

      Zeline berdiri dengan anggun, mengenakan dress hitam sederhana namun elegan. Bahunya terbuka, rambutnya dibiarkan terurai lembut, wajahnya terlihat tenang meski jelas-jelas menyimpan keraguan.

   “...Zeline?” suara Taehyung bergetar pelan, seolah takut kalau wanita di depannya hanyalah bayangan semu.

    Zeline menatapnya singkat, lalu mengangguk kecil. “Aku terlambat, ya?” katanya pelan, suaranya nyaris tenggelam di antara musik lembut restoran.

    Taehyung tersenyum    senyum lega yang tulus, bercampur haru dan tak percaya.

     “Tidak… kamu datang tepat saat aku hampir menyerah.”

    Zeline tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan gugup di dadanya. 

   “Aku tidak bisa menolak terus… aku hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja, Tae.”

   Taehyung menatapnya lekat-lekat. “Sekarang aku jauh lebih baik… karena kamu datang.”

     Hening beberapa detik. Lalu, dengan sopan, Taehyung melangkah ke samping dan membuka pintu lebih lebar.

      “Masuklah. Mari duduk, aku sudah menyiapkan meja terbaik untukmu.”

     Zeline menunduk sedikit, melangkah masuk. Aroma bunga dan cahaya lilin menyambut kehadirannya. Mereka duduk berhadapan di meja dekat jendela besar, di mana pemandangan kota Busan tampak berkilau di bawah langit malam.

Taehyung memanggil pelayan.

   “Tolong dua menu spesial malam ini… dan wine merah yang paling lembut.”

   Pelayan itu mengangguk dan pergi.

    Kini hanya ada mereka berdua.

Tatapan mereka bertemu    lama, penuh kenangan dan kata-kata yang belum sempat diucap.

Dan di antara suasana canggung itu, hati keduanya mulai berdetak dengan irama yang sama    seperti dulu, sebelum segalanya hancur.