Cinta Di Antara Dua Istri Sang CEO

Cinta Di Antara Dua Istri Sang CEO

cinta di antara dua istri sang ceo

Di pagi hari itu, langit Seoul tampak cerah dengan sinar mentari yang lembut menembus kaca-kaca tinggi gedung megah yang berdiri anggun di tengah kota. Di dalam gedung mewah itu, suasana tampak begitu sakral dan menegangkan sebuah pernikahan megah tengah berlangsung.

Di atas pelaminan yang dihiasi bunga mawar putih dan lilin kristal beraroma lembut, berdirilah seorang pria dengan setelan jas hitam yang sempurna. Dialah Suga, CEO muda dan tampan yang dikenal dingin, cerdas, serta hampir mustahil didekati oleh wanita mana pun. Tatapan matanya tajam, penuh wibawa, namun di balik ketegasan itu tersembunyi sesuatu yang sulit diartikan entah keengganan, atau mungkin luka masa lalu yang belum sembuh.

Di sampingnya, berdiri seorang wanita dengan gaun putih panjang yang membuat semua mata terpana. Dialah cristine, gadis lembut dan sederhana yang kini menjadi pusat perhatian. Wajahnya terlihat cantik namun sedikit gugup, jemarinya bergetar halus saat menggenggam buket bunga lily putih.

Musik lembut dari biola memenuhi ruangan. Para tamu undangan para pengusaha, tokoh penting, dan keluarga terpandang menatap dengan penuh rasa ingin tahu. Banyak yang berbisik, bertanya-tanya mengapa CEO dingin itu akhirnya menikah.

Suga menoleh sedikit ke arah cristine. Suaranya rendah dan tenang ketika ia berucap,

“Mulai sekarang, kau adalah istriku, cristine.”

cristine menatapnya pelan, bibirnya gemetar saat membalas,

“Dan kau… suamiku.”

Suara tepuk tangan bergema, kamera berkilat, namun di antara sorotan cahaya dan senyum palsu, hati keduanya menyimpan rahasia yang berbeda.

Pernikahan itu akhirnya selesai.

Musik lembut yang sejak tadi mengiringi pesta mulai mereda, dan satu per satu tamu undangan meninggalkan aula megah itu.

Suga berdiri di samping Cristine, istrinya yang baru saja ia nikahi. Senyum di wajah Cristine tampak manis dan anggun, tapi hati Suga… kosong.

Ketika kakeknya menatapnya dari kejauhan dengan senyum puas, Suga hanya bisa menunduk. Ia tahu, pernikahan ini bukan tentang cinta melainkan kewajiban keluarga yang tidak bisa ia tolak.

Malam itu, setelah pesta usai, Suga menggenggam tangan Cristine dan mengajaknya pulang ke rumahnya rumah besar yang selama ini ia huni bersama seseorang yang lain.

Mobil hitam berhenti di depan gerbang mansion. Begitu mereka melangkah masuk, aroma teh melati menyambut dari ruang tamu.

Di sana, duduk seorang wanita berambut panjang dengan gaun putih sederhana, tampak tenang namun dingin. Jemarinya menggenggam secangkir teh, matanya menatap kosong ke arah jendela besar.

Suga terdiam sesaat. Jantungnya berdetak cepat.

Ia tahu siapa wanita itu.

Zeline.

Istri pertamanya.

Wanita yang dulu ia nikahi atas kehendaknya sendiri bukan karena siapa pun, bukan karena darah atau nama besar keluarga.

Wanita yang dulu dicintainya… dan mungkin, masih dicintainya sampai detik ini.

Suga melangkah perlahan mendekat.

    Suga: “Mengapa kau tidak datang ke pernikahan kami, Zeline?”

    Zeline melirik sekilas ke arahnya, lalu berpaling lagi. Suaranya tenang, tapi tajam seperti pisau.

 

Suga menarik napas panjang.

 

    Suga: “Zeline, aku sedang berbicara denganmu. Apa kau tidak bisa mendengarku?”

Zeline berdiri perlahan, kini wajahnya sejajar dengan Suga. Mata keduanya bertemu dingin, dalam, dan penuh luka yang belum sempat sembuh.

   Zeline: “Apa kau sudah gila, Suga? Kau menyuruhku datang ke pernikahanmu sendiri? Untuk apa? Melihat bagaimana kau memegang tangan wanita lain di depan semua orang? Hm… dasar pecundang.”

    Cristine yang berdiri di belakang Suga menunduk pelan, merasa tidak nyaman. Ia tahu posisinya hanya sebagai pengganti, bukan yang pertama di hati pria itu.

Suga tak bisa menjawab. Kata-kata Zeline menamparnya keras, lebih dari yang bisa ia bayangkan.

Ia menatap wanita itu lamawanita yang dulu membuatnya percaya pada cinta sejati, kini berdiri di depannya dengan tatapan yang hanya menyisakan kekecewaan.

Keheningan malam mengisi ruangan.

Dan di antara mereka bertiga, hanya ada satu hal yang benar-benar jelas:

Pernikahan boleh sah di mata manusia, tapi cinta tidak bisa dipaksa oleh siapa pun.

Suga:

“Zeline… kau tahu kan kalau semua ini adalah kehendak kakek. Dulu, waktu kami masih kecil, kakek Cristine dan kakekku sudah menjodohkan kami. Tapi saat aku dewasa, aku justru menikahi orang lain… yaitu dirimu.”

Zeline hanya menatap datar, tanpa ekspresi. Tangannya menggenggam erat cangkir teh yang sudah dingin.

Zeline:

“Lalu?”

Satu kata itu membuat Suga terdiam. Matanya menatap wajah wanita di depannya wanita yang telah menemaninya melewati suka dan duka, wanita yang dulu membuatnya percaya bahwa cinta bisa melawan segalanya.

Suga:

“Ketika kakek Cristine sakit… sebelum meninggal, beliau sempat berpesan padaku.”

suaranya melemah

“Pesan terakhirnya adalah… agar aku menikahi Cristine.”

Suasana menjadi sunyi.

Hanya terdengar detik jam dinding yang berdetak pelan.

Zeline mengangkat wajahnya perlahan, menatap Suga tajam. Di matanya, ada luka yang dalam tapi juga kekuatan yang tak mau runtuh.

Zeline:

“Dan kau menurutinya begitu saja? Bahkan setelah kau tahu siapa aku untukmu?”

Nada suaranya bergetar antara marah dan kecewa.

“Aku pikir cinta kita cukup kuat untuk melawan segala kehendak orang lain, Suga. Tapi ternyata… aku salah menilai pria yang dulu kucintai.”

Cristine yang berdiri di tangga, berpura pura menatap mereka dengan wajah sedih.

Tangannya memegang dada, seolah ikut terluka mendengar percakapan itu. Tapi di balik air mata palsunya, ada senyum kecil yang tersembunyi.

Dalam hatinya, Cristine berbicara pelan,

“Akhirnya, setelah bertahun-tahun menunggu, aku mendapatkanmu juga, Suga. Dan suatu hari nanti… Zeline tidak akan punya tempat di sisimu lagi.”

Sementara itu, Suga hanya bisa menatap dua wanita yang kini terikat dalam hidupnya.

Satu adalah cinta sejatinya…

Yang lain adalah kewajiban yang tak bisa ia tolak.

Dan malam itu, di bawah cahaya lampu temaram, awal dari perang hati yang panjang pun dimulai.

Cristine melangkah pelan mendekati mereka. Gaun pengantinnya masih menjuntai lembut di lantai, sisa dari pesta yang baru saja usai. Wajahnya tampak lembut dan sedih, tapi di balik mata cokelatnya, ada kilatan puas yang sulit disembunyikan.

Cristine:

dengan suara lembut

Suga… Zeline… maafkan aku kalau kedatanganku membuat suasana jadi tidak nyaman. Aku benar-benar tidak bermaksud merebut apa pun dari kalian. Aku hanya menuruti keinginan orang tua… terutama wasiat kakekku sebelum meninggal.

Zeline tersenyum tipis, sinis namun menawan.

Zeline:

“Oh, begitu ya? Menikahi suami orang demi memenuhi wasiat keluarga? Kau benar-benar gadis yang berbakti.”

Cristine menunduk pura-pura tersentuh, padahal dalam hatinya ada kepuasan yang manis.

“Akhirnya… wanita itu akan tersingkir juga,” batinnya dalam diam.

Cristine:

suaranya bergetar, menatap Zeline dengan wajah seolah menahan tangis

Aku tahu aku salah, Kak Zeline. Aku tidak bermaksud menghancurkan rumah tanggamu. Aku hanya… tidak ingin mengecewakan keluarga. Aku harap kita bisa hidup berdampingan dengan damai.

Zeline menatapnya tajam.

Zeline:

“Damai?”

tawa kecil keluar dari bibirnya

“Kau datang dengan gaun pengantin, memegang tangan suamiku, dan sekarang kau berbicara tentang kedamaian?”

Suga mencoba menengahi, suaranya berat menahan emosi.

Suga:

“Sudahlah, Zeline… jangan membuat semuanya semakin sulit. Tidak ada yang ingin hal ini terjadi.”

Zeline menatapnya dengan mata basah tapi penuh kebanggaan.

Zeline:

“Tidak ada yang ingin? Suga, kau yang berdiri di altar itu. Kau yang mengucapkan janji baru di depan semua orang. Jadi katakan padaku siapa sebenarnya yang ingin semua ini?”

Suga terdiam.

Cristine memanfaatkan keheningan itu, menyentuh lengan suaminya dengan lembut, seolah ingin menenangkan, padahal setiap sentuhan adalah racun manis bagi Zeline.

Cristine:

dengan suara lirih, manis tapi menusuk

Suga… mungkin sebaiknya aku pergi ke kamar dulu. Aku tak ingin jadi penyebab pertengkaran kalian. Aku… hanya istri baru yang masih belajar menempatkan diri.

Zeline mengepalkan tangan, menahan amarah.

Zeline:

“Ya, sebaiknya kau lakukan itu belajar menempatkan diri. Karena sampai detik ini, rumah ini masih milikku… dan aku masih istri sah Suga.”

Cristine menatapnya sekilas kali ini dengan tatapan tajam yang hanya terlihat sedetik sebelum berubah lagi menjadi senyum lembut.

Cristine:

“Tentu saja, Kak Zeline. Aku akan selalu menghormati posisimu… untuk sementara waktu.”

Senyum itu samar, namun Zeline bisa merasakannya senyum seorang wanita yang siap berperang.

Cristine melangkah perlahan meninggalkan mereka. Gaun putihnya bergesekan lembut di lantai marmer, suaranya nyaris tenggelam dalam keheningan malam.

Namun baru beberapa langkah dari ruang tamu, tubuhnya tiba-tiba terhuyung. Wajahnya memucat, pandangannya kabur, dan dalam sekejap

Bruk!

Tubuh Cristine ambruk ke lantai. Cangkir teh di tangan pelayan terjatuh, pecah berantakan.

Suga:

“Cristine!”

Tanpa pikir panjang, Suga berlari menghampiri. Wajahnya panik, suaranya gemetar. Ia segera meraih tubuh Cristine yang terkulai lemah dan menggendongnya ke arah kamar pengantin di lantai atas.

Zeline hanya berdiri di tempat, terpaku. Matanya menatap punggung Suga yang menjauh dengan wanita lain di pelukannya.

Tak ada satu pun lirikan. Tak ada kata.

Bahkan sekadar menoleh pun tidak.

Hatinya terasa remuk, seperti diremas pelan tapi menyakitkan.

Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya, tapi Zeline menahannya dengan keras kepala. Ia tidak ingin terlihat lemah di hadapan siapa pun terutama pria yang baru saja mengabaikannya.

Zeline lirih, berbicara pada diri sendiri:

“Selalu begitu, Suga… setiap kali dia jatuh, kau yang menjemputnya.

Dan setiap kali aku terluka, kau yang pergi.”

Dari atas tangga, Suga menghilang ke balik pintu kamar.

Zeline menarik napas panjang, memalingkan wajah. Ia tahu betul, Cristine tidak selemah yang ia lihat barusan. Pingsan itu terlalu sempurna… terlalu tepat waktunya.

Zeline:

menyeringai pahit

“Pintar sekali kau, Cristine… tahu kapan harus tumbang untuk mendapatkan perhatian. Tapi ingat, permainan ini baru dimulai.”

Cahaya lampu chandelier berkilau di matanya yang kini mulai basah.

Malam itu, untuk pertama kalinya sejak menikah, Zeline merasa benar-benar sendirian di rumah yang dulu ia bangun bersama Suga, kini ia hanyalah tamu di kehidupannya sendiri.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!