Keputusan Bian dan Tiara untuk pindah ke Rumah Warisan Kakek di Desa Raga Pati adalah sebuah kesalahan fatal. Rumah itu ternyata berdiri di atas tanah yang terikat oleh sebuah sumpah kuno: Kutukan Arwah Tumbal Desa.
Gangguan demi gangguan yang mengancam jiwa bahkan menjadikannya tumbal darah selanjutnya, membuat mental Bian dan Tiara mulai lelah dan ingin menyerah.
"Jangan pernah mencoba memecahkan apa pun yang sudah ada. Jangan membuka pintu yang sudah terkunci. Jangan mencoba mencari tahu kebenaran yang sudah lama kami kubur. Jika kalian tenang, rumah ini akan tenang. Jika kalian mengusik, maka ia akan mengusik kalian kembali."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss_Dew, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rumah Warisan Sang Kakek
Debu tebal. Itu adalah hal pertama yang Bian rasakan saat membuka pintu mobil SUV sewaannya. Debu tanah kering yang berputar-putar bersama angin dari arah hutan, menerpa wajahnya. Sudah hampir jam empat sore, dan matahari sudah mulai miring di atas bukit, mewarnai langit dengan palet oranye kusam.
Di sampingnya, Tiara menarik napas panjang, bukan karena lega, melainkan karena was-was. Matanya menyusuri gerbang besi tua yang berkarat, dihiasi ukiran naga yang nyaris tak terlihat di bawah lapisan lumut. Gerbang itu adalah batas resmi antara jalan desa yang sepi dan Rumah Warisan Kakek Pranoto, sebuah rumah yang seharusnya menjadi awal baru, tetapi terasa seperti akhir dari sebuah perjalanan panjang.
"Aku bisa menciumnya," bisik Tiara, suaranya sedikit parau.
Bian, yang sibuk menurunkan ransel dan kotak perkakas, menoleh dengan kening berkerut. "Mencium apa? Bau tanah dan kemenyan sisa pembakaran sampah?"
Tiara menggeleng. "Bukan. Bau lama. Bau kayu tua, tanah lembap, dan sesuatu yang dingin. Seperti udara di dalam lemari es yang sudah lama tidak dibuka."
Bian tersenyum paksa, mencoba meredam kecemasan istrinya dengan logika khasnya. "Tentu saja, Sayang. Rumah ini sudah kosong hampir lima belas tahun sejak kakek meninggal. Ini bukan vila minimalis di Bali. Ini rumah kuno di tengah pedesaan Jawa. Ayo, kita buka pintu itu dulu."
Bian mendorong gerbang, menimbulkan bunyi derit logam yang menusuk keheningan sore. Di baliknya, jalan setapak batu alam yang ditumbuhi lumut mengarah ke bangunan utama. Rumah itu besar, berarsitektur kolonial Belanda dengan sentuhan tradisional Jawa, tetapi aura kemegahan itu telah ditelan oleh waktu. Jendela-jendela kayu yang tingginya menjulang tampak seperti mata buta yang menatap kosong ke arah mereka.
Saat mereka melangkah maju, langkah kaki mereka terasa tenggelam dalam kesunyian. Desa Raga Pati tidak terlalu ramai, dan rumah ini, terletak agak di tepi, terasa seperti terpisah sepenuhnya dari dunia.
"Apakah kita yakin tidak salah tempat?" tanya Tiara, memegang erat lengan Bian.
"Ini dia. Sertifikat properti tidak mungkin salah," jawab Bian. Ia mengeluarkan kunci yang diikat pada tali kulit usang, peninggalan kakeknya. "Dan, bukankah kita setuju? Rumah ini adalah kesempatan emas. Renovasi sedikit, kita bisa tinggal di sini selama aku mengurus proyek di kota sebelah. Hemat biaya, dan siapa tahu, udara segar bisa bagus untuk...." Bian menghentikan kalimatnya. Ia tahu Tiara masih berusaha pulih dari tekanan pekerjaan dan kehidupan kota yang berat.
Mereka mencapai pintu utama, terbuat dari kayu jati tebal yang diukir dengan motif rumit yang kini hitam legam. Bian memasukkan kunci. Prosesnya memakan waktu lama, kunci itu seret dan berkarat. Ketika pintu akhirnya terbuka dengan krak yang menggelegar, udara dari dalam rumah menerpa wajah mereka. Udara itu dingin, jauh lebih dingin daripada udara sore di luar. Dan Tiara benar, ada aroma yang tidak menyenangkan, bukan hanya debu, tetapi aroma apek yang menusuk hidung, bercampur dengan aroma dupa yang samar.
Ruangan depan gelap gulita. Bian merogoh saku, mencari senter. Ia menyalakannya. Cahaya kuning pucat menyapu ruangan.
Perabotan masih tertinggal di sana, diselimuti kain putih tebal yang sudah kotor. Ruangan itu terasa seperti museum yang dilupakan. Di sudut ruangan, berdiri sebuah lemari ukir besar yang tingginya mencapai langit-langit, memancarkan bayangan yang mencekam.
Tiba-tiba, Tiara tersentak. Ia menunjuk ke arah ruang tengah, senter di tangan Bian mengikuti arah tunjuknya.
"Bian, lihat!"
Di tengah ruangan, di antara tumpukan perabotan yang tertutup kain, berdiri diam seorang pria paruh baya. Posturnya tinggi dan besar, mengenakan pakaian gelap khas pedesaan.
Pria itu tidak bergerak. Wajahnya keras, tanpa ekspresi, dan matanya menatap lurus ke arah mereka, kosong.
"Astaga! Anda siapa?" seru Bian, sontak menjatuhkan tas perkakasnya.
Pria itu tetap diam. Ia hanya memiringkan kepalanya sedikit, tatapannya menyiratkan kebingungan, atau mungkin penghakiman.
"Dia..." Tiara berbisik, nadanya perlahan berubah dari takut menjadi penasaran, "dia pasti Jaga."
Jaga. Penjaga rumah yang diceritakan oleh notaris, yang bertugas menjaga properti. Namun, notaris tidak pernah menyebutkan bahwa ia begitu, diam.
Bian memberanikan diri melangkah maju. "Selamat sore, Pak Jaga? Saya Bian, cucu kakek Pranoto. Ini istri saya, Tiara. Kami baru datang."
Jaga hanya membalas dengan dengusan yang terdengar seperti suara napas berat, sebelum ia mengangkat tangan kanannya. Dengan gerakan lambat dan hati-hati, ia menunjuk ke arah langit-langit di atas tangga kayu tua, tempat sebuah lampu pijar yang tergantung tampak nyaris copot. Kemudian, ia berbalik, berjalan menuju pintu dapur tanpa suara sedikit pun, menghilang ke kegelapan bagian belakang rumah.
"Dia... bisu?" tanya Bian, tercengang.
"Mungkin," jawab Tiara, yang masih mencoba menenangkan detak jantungnya. "Tapi tatapannya dia tahu sesuatu. Dia tahu kita tidak seharusnya di sini."
Setelah beberapa menit menenangkan diri dan mengaktifkan saklar utama yang ternyata masih berfungsi, pasangan itu mulai membersihkan kamar tidur utama di lantai bawah. Mereka bekerja cepat, didorong oleh keinginan untuk menemukan kenyamanan sebelum malam tiba.
Tepat saat magrib, ketika desa mulai diselimuti kabut tipis dan suara azan terdengar samar-samar dari kejauhan, pintu depan rumah diketuk tiga kali dengan ritme yang lambat dan pasti.
Bian membukanya. Di sana, berdiri seorang pria tua dengan wajah keriput yang dipenuhi wibawa. Pria itu mengenakan sarung yang rapi, kemeja putih bersih, dan topi peci yang dipasang miring. Aura hormat dan ketenangan memancar darinya, berbanding terbalik dengan kecanggungan Jaga.
"Selamat datang, Nak Bian dan Nyonya Tiara," sambut pria itu dengan suara berat yang menenangkan. "Saya Mbah Pawiro. Saya adalah sesepuh desa dan juru kunci adat di sini. Saya datang untuk menyambut, sebagai kewajiban kami terhadap tamu desa."
Mbah Pawiro berbicara dengan kehangatan yang melegakan, membuat Bian merasa sedikit lega setelah suasana mencekam yang diciptakan Jaga.
"Terima kasih banyak, Mbah," ujar Bian, menjabat tangan Mbah Pawiro.
Mbah Pawiro tersenyum, tetapi mata tuanya tidak pernah meninggalkan Tiara. "Kakekmu, Pranoto, adalah orang yang terhormat. Meskipun ia memilih pergi dari desa ini. Tapi rumah adalah rumah. Hanya saja," jeda Mbah Pawiro terdengar sangat panjang, "Rumah ini... agak tua. Dan desa kami memiliki tradisi yang kuat."
"Tradisi apa, Mbah?" tanya Tiara, merasa cemas kembali.
Mbah Pawiro tidak menjawab langsung. Ia hanya mengalihkan pandangannya ke arah cermin tua yang telah mereka pindahkan dari loteng ke ruang tengah, yang kini tertutup kain.
"Selama tinggal di sini, Nak," lanjut Mbah Pawiro, suaranya kini melunak tetapi lebih tegas, "Jangan pernah mencoba memecahkan apa pun yang sudah ada. Jangan membuka pintu yang sudah terkunci. Jangan mencoba mencari tahu kebenaran yang sudah lama kami kubur. Jika kalian tenang, rumah ini akan tenang. Jika kalian mengusik, maka ia akan mengusik kalian kembali."
Mbah Pawiro lalu menatap mata Bian dalam-dalam. "Jaga, dia sudah diperintahkan. Jika ada yang aneh, dengarkan saja kata-katanya. Walaupun ia tak bersuara, ia mengerti apa yang tidak bisa kita mengerti."
Setelah Mbah Pawiro pergi, Bian dan Tiara duduk di sofa yang kini sudah ditutupi seprai bersih. Kehadiran Mbah Pawiro telah meninggalkan bekas dingin, meskipun kata-katanya penuh keramahan.
"Maksudnya apa? Jangan mencari tahu kebenaran yang sudah dikubur?" tanya Tiara, menggigil.
"Itu hanya cara bicara orang tua, Sayang. Mereka ingin kita menghormati adat. Kita akan tinggal di sini sebentar, merenovasi, lalu pergi. Kita tidak akan usil," kata Bian, berusaha meyakinkan diri sendiri.
Mereka pun memutuskan untuk tidur lebih awal.
Malam itu, jam menunjukkan pukul dua pagi. Angin di luar menderu pelan, terdengar seperti bisikan yang tak jelas. Bian tidur nyenyak, mungkin karena kelelahan.
Tiara terbangun. Bukan karena suara, tetapi karena sensasi dingin yang luar biasa. Ia merasa ada yang salah. Jendela kamar mereka, yang seharusnya tertutup rapat, kini terbuka sedikit, membiarkan udara dingin dan bau tanah basah masuk.
Tiara turun dari tempat tidur, menarik selimut ke pundaknya. Ia berjalan ke jendela untuk menutupnya.
Saat tangannya hendak menyentuh bingkai kayu, ia melihat ke luar.
Di halaman, dekat pohon kamboja tua, berdiri sesosok bayangan. Bukan Jaga. Sosok itu kecil, kurus, mengenakan pakaian putih kumal. Itu adalah sosok seorang wanita. Ia berdiri membelakangi rumah, menatap lurus ke arah kegelapan hutan.
Tiara terpaku, napasnya tertahan. Ia ingin berteriak, tetapi suaranya tercekat.
Saat itulah, wanita itu bergerak. Ia memutar kepalanya, tetapi hanya sebatas leher. Tubuhnya tetap menghadap hutan, tetapi kepalanya berputar 180 derajat, menghadap tepat ke arah Tiara.
Wajah itu pucat, mata cekung, dan di pipinya, ada bekas darah kering yang tampak seperti bekas tangisan abadi. Itu adalah wajah yang dilihat Tiara di cermin sore tadi.
Arwah itu tidak bersuara. Ia hanya menatap.
Namun, perlahan, jari telunjuknya yang panjang dan kuku hitam mengarah ke sebuah titik di tanah, di bawah pohon kamboja.
Dan kemudian, sosok itu mengucapkan sesuatu, bukan dengan suara yang terdengar di telinga, melainkan langsung di dalam pikiran Tiara, memunculkan rasa sakit yang menusuk.
"Kenapa kau lari, Pranoto?"
Tiara tersentak mundur, terhuyung, dan tanpa sengaja menabrak cermin tua yang mereka sandarkan di dinding.
PRANG!
Cermin itu jatuh dengan suara yang memekakkan telinga.
Bian langsung terbangun.
"Tiara! Ada apa?" Bian berteriak, menyalakan lampu kamar.
Tiara gemetar, menunjuk ke arah pecahan cermin di lantai.
Bian melihat pecahan itu, lalu ke jendela yang terbuka. "Kenapa kacanya pecah? Dan kenapa jendelanya terbuka?"
Tiara tidak menjawab. Ia hanya menunjuk ke salah satu pecahan cermin di mana pantulan wajahnya seharusnya ada.
Di pecahan itu, pantulan wajah Tiara terlihat normal.
Namun, ada satu pecahan kecil yang menampakkan sesuatu yang lain, wajah pucat wanita itu, yang tersenyum sinis, seolah kini ia sudah berada di dalam rumah.
Dan sebelum Bian sempat menyadari bahaya itu, Tiara melihat salah satu pecahan kaca menampakkan sosok Jaga, yang berdiri diam di ambang pintu kamar mereka, tangannya memegang sapu lidi, membersihkan sehelai rambut panjang berwarna hitam yang tergeletak di lantai marmer kamar Bian.
Jaga tidak bisu. Ia hanya memilih diam.
Dan arwah itu, kini sudah tidak lagi di luar.
sampai di bab ini, setiap baca gw cuma bisa,
"woh... wah... wah!"