Siang hari, dia adalah dosen yang berkarisma. Malam hari, dia menjelma sebagai bos bar tersembunyi dengan dunia yang jauh dari kata bersih.
Selina, mahasiswinya yang keras kepala, tak sengaja masuk terlalu dalam ke sisi gelap sang dosen. Langkahnya harus hati-hati, karena bisa menjadi boomerang bagi mereka.
Keduanya terjebak dalam permainan yang mereka buat sendiri—antara rahasia, larangan, dan perasaan yang seharusnya tidak tumbuh.
Bab 11: Tolong Puaskan Aku*
Bagi yang berusia dibawah umur, resiko ditanggung sendiri.
🥂🥂🥂
Leonhard langsung berlari saat Selina tidak lagi bersuara dari ujung telepon itu. Larinya secepat kilat, mamasuki bar yang pengunjungnya sibuk menonton balapan. Nafasnya berat diabaikan, dia langsung berlari menuju toilet. Di sana, dia melihat seorang pria yang sedang menggedor pintu itu—dia yakin Selina berada di dalamnya.
“Selina!” Suara Leonhard berat dan mendesak. Pria yanga tidak nampak mukanya karena tertutup masker di depan pintu itu langsung menoleh ke arahnya. Matanya sedikit membulat, seperti ketahuan sedang melalukan tindak kriminal.
Tanpa membuang waktu, Leonhard langsung mendorong pria itu ke samping hingga terhantam dinding. Tubuh Leonhard membara dengan rasa panik bercampur amarah.
“Siapa kamu?”
Pria itu tidak menjawa Leonhard, dengan susah dia mencoba berdiri dan langsung kabur.
Dengan sekali hentakan bahu, Leonhard merobohkan pintu toilet yang terkunci separuh. Pintu itu langsung terbuka paksa.
Dia melihat Selina terduduk lemah di lantai sambil memegangi tubuhnya. Rambutnya menempel pada wajah yang basah oleh keringat. Dari ekspresinya dia terlihat kesakitan.
Leonhard berjongkok di hadapan Selina. Alisnya mengkerut, matanya mengobservasi tubuh Selina yang sedikit bergetar.
“Selina…” suara Leonhard merendah, penuh hati-hati.
Mata Selina yang setengah tertutup mencoba fokus pada suara dan wajah yang dikenalinya. “Leon…?” suaranya nyaris tak terdengar.
“I got you. Stay with me, okay?”
Saat Leonhard baru saja menyentuhnya untuk menggendong, Selina mengerang. Leonhard bingung. “Kenapa?” tanyanya dengan nada lembut.
“Gak tau… ak—aku ngerasa… a..a—neh… badanku…” lirih Selina.
Satu hal yang muncul di otaknya adalah Selina terlah diberi obat perangsang. Rahangnya mengeras saat mengingat pria tadi yang mencoba membuka pintu toilet. Tanpa berpikir panjang lagi, dia langsung mengangkat Selina.
“Tahan sebentar, oke? I’ll take care of you,” ujarnya sambil membawa Selina keluar dari toilet menuju mobil.
Selina menggeliat kecil didekapan Leonhard, nafasnya berat tak beraturan. Tangannya yang lemah mencekram bajunya.
“Leo… p-please…”
“I know… tahan sedikit lagi,” ucap Leonhard mempercepat jalannya menuju mobil.
Udara malam yang dingin menyapu mereka, mobilnya terparkir di dekat pintu belakang, membuka pintu penumpang depan, lalu menurunkan Selina dengan hati-hati ke kursi.
Tangannya bergerak cepat—mengencangkan sabuk pengaman, memastikan dia tetap nyaman, lalu mengibakan rambut Selina yang menutupi wajah.
“Kosan kamu dimana?” tanya Leonhard.
Selina masih menggeliat. “Hmm… j—jangan kosan aku… b..boys are not allowed,” lirih Selina.
Dengan begitu, Leonhard langsung menutup pingu mobil dan segara masuk ke tempat kemudi.
“Then… saya bawa kamu ke apartemen saya yg dekat sini aja, ya,” tambah Leonhard sambil menyalakan mesin mobil.
Tangan Leonhard menggenggam erat setir, sementara matanya beberapakali melirik Selina yang bersantar lemah di kursi. Selina tampak gelish, nafasnya terengah. Badannya terus menggeliat. Tangannya meraih udara kosong, seolah mencari sesuatu untuk digenggam.
“It’s okay… sebentar lagi sampai,” ujar Leonhard pelan sambil memegang tangan Selina dan memgelusnya.
Beberapa menit kemudian, mobil berhenti di sebuah gedung apartemen modern. Leonhard memarkirkan mobilnya kemudian segera turun, lalu berlari ke sisi penumpang, membuka pintu, dan kembali mengangkat Selina.
Tubuhnya bergetar hebat saat Leonhard menyentuhnya. Dengan cepat dia berlari ke arah lift parkiran yang bisa langsung menuju lantai kamarnya.
“Leo…” desah Selina pelan.
“Shh… kita sudah sampai,” jawab Leonhard singkat, lalu berjalan cepat saat pintu lift itu terbuka. Selina semakin terkukai di dekapannya, kepalanya bersandar di dada Leonhard.
Kunci digital berbunyi beep-beep ketika ia menempelkan kartu apartemennya. Pintu terbuka, tanp berpikir panjang, Leonhard langsung membawa Selina ke kamarnya. Dia menurunkan Selina di kasurnya.
“Leo… kamu hangat…” desahnya lirih.
Leonhard sebenarnya mati kutu, dia tidak tahu harus berbuat apa. Tapi, dia merasa kasihan dengan Selina. Tiba-tiba pikirannya tentang pria tadi muncul lagi, amarahnya memuncak. Leonhard yakin pasti ini ulah pria itu yang membuat Selina seperti ini.
“Leo… please…” lirih Selina lagi.
“Wait… saya ambilkan minum—”
“No… aku gak butuh minum. Aku b-butuh…” ujar Selina terputus. Leonhard mendekatkan dirinya pada Selina—mengusap lembut lengannya. Selina semakin menggeliat.
“Ple…please..”
“What do you want? Hmm?” tanya Leonhard.
“Help me..” desis Selina, kini dirinya duduk, tangannya mengelus tangan Leonhard—mencoba mengirim sinyal.
Leonhard memiringkan kepalanya, tangannya mulai mengelus kepala Selina. Selina menjatuhkan kepalanya di telapak tangan Leonhar, merasa nyaman. Otaknya tidak bisa berpikir jernih lagi. Yang dia perlukan hanyalah belaikan manja dari Leonhard.
“Help you with what?” tanya Leonhard, suaranya berat. Leonhard masih menahan dirinya, karena dia tahu Selina sedang di bawah pengaruh obat. Dia tidak mau mengambil kesempatan itu.
Selina menuntun tangan besar Leonhard ke lehernya. “Please…” ujar Selina, matanya terpejam ketika tangan hangat itu menyentuh kulitnya.
Leonhard sempat ragu, sebelum melingkarkan telapak tangannya di leher Selina. Jempolnya mengusap pelan lehernya, membuat Selina semakin jatuh dalam genggamannya.
“Kamu bakal menyesalinya nanti,” ujar Leonhard. Kini matanya berbinar, seperti melihat mangsa.
Selina berdecak pelan. “F*ck it! Aku… gak peduli itu sekarang. I… want you…”
Mendengar itu, Leonhard terpancing. Dia mengencangkan cengkraman di leher Selina sambil sedikit mengangkatnya.
“Kamu yakin? Hmm?” bisiknya di telinga Selina.
Selina mendesah pelan, merasakan nafas berat Leonhard di telinganya. Dia benar-benar sudah tidak tahan lagi.
Selina mendesah pelan, merasakan nafas berat Leonhard di telinganya. Dia benar-benar sudah tidak tahan lagi.
Wajah Leonhard mengelilingi telinga, tengkuk, dan leher Selina—membuatnya mabuk kepalang. Hembusan nafas panas menggelitik tubuhnya. Tangannya mencengkram kaos yang dikenakan Leonhard.
“Ayolah… jangan buatku semakin gila,” ujar Selina, suaranya berangin seolah menahan gejolak tubuhnya.
“Tubuhmu terlalu sensitif…” Leonhard menurunkan tangannya dari leher Selina ke dadanya yang tertutup dengan pakaian yang masih membalut tubuhnya. Selina bergetar hebat, mulutnya terbuka sedikit mengeluarkan suara indah. “See? Kamu yakin bisa tahan?” tambah Leonhard yang masih mengusap-usap dadanya.
Selina mengerang frustasi. “I said I don’t f*cking care. Just—” suaranya tercekat saat Leonhard tiba-tiba mendorong badanya ke kasur. Kini dia terbaring lemah di bawah Leonhard. “—oh… tolong sentuh aku,” lanjut Selina. Dia sudah menyerahkan badannya pada Leonhard.
“Kiss me,” perintah Selina yang menatapnya dengan tatapan frustasi.
Leonhard membawa wajahnya mendekati Selina. Matanya melirik mata Selina kemudian bibirnya.
Saat ini, Selina sudah hampir kehilangan kewarasannya. Dia ingin sekali menangkap wajah itu, tapi dia juga suka caranya membangun emosi. Nafasnya tercekat ketika jari telunjuk Leonhard menyentuh bibirnya.
“Hmmm…? Ask me nicely,” bisik Leonhard.
Selina menelan ludahnya, sekujur tubuhnya bisa merasakan sentuhan elektrik dari jari itu.
“Please… kiss me.”
Selina belum sempat mengambil nafasnya, bibirnya sudah ditabrak dengan bibir penuh milik Leonhard. Ciuman itu sangat lembut. Leonhard memainkan tangannya pada tengkuk Selina. Perlahan, ciuman itu semakin dalam. Selina menepuk pelan dada Leonhard—merasakan nafasnya hampir habis.
Leonhard melepas pagutan mereka. “What’s wrong?” Suaranya serak membuat Selina pusing, ingin melahapnya lagi.
“Can you… use your… tongue?”
Leonhard mengangkat alisnya, sedikit tertegun dengan permintaan Selina, kemudian dia tersenyum tipis.
“No.”
Selina merengek seperti anak kecil. “Kenapa?”
“Karena…” ujar Leonhard sambil mendekatkan bibirnya ke telinga Selina lagi. “Permainan ini mungkin akan berakhir lebih jauh,” bisiknya.
Selina langsung menangkap wajah Leonhard, tidak tahan dengan rayuan-rayan itu. Dia langsung mencium bibir penuh Leonhard lagi.
“Aku gak peduli,” ucapnya disela-sela cumbuan mereka.
Ciuman itu semakin dalam. Permainan lidah yang ganas—saling bertabrakan. Leonhard memenangkan permainan itu membuat Selina mengangkat badannya mendekat pada Leonhard.
Selina menggantungkan lengannya pada tengkuk Leonhard dan mengelusnya pelan, membuat Leonhard mengeluarkan suara beratnya. Selina tersenyum dalam ciuman itu.
“Oh… you don’t know how you make me crazy right now,” desis Leonhard disela-sela ciuman. Saat pertahanannya lengah, Selina menggigit bibirnya sehingga mengeluarkan suara plop.
“Trust me. I know,” ujar Selina kembali mencumbunya.
Cumbuan Leonhard turun ke leher Selina. Selina memiringkan kepalanya, membiarkan Leonhard melakukannya dengan leluasa. Tubuhnya semakin terasa panas. Keringat di dahinya perlahan muncul seraya Leonhard menjilat titik lemahnya.
“Ahh… hmm…”
Leonhard tersenyum kecil. Dia tahu persis apa yang dia lakukan layaknya seorang profesional.
Baju yang melekat pada badan berotot Leonhard sektika terhempas ke lantai. Selina menikmati pandangan di depannya, tangannya meraba six pack milik Leonhard. Tangan Leonhard memegang tangan kecil Selina, menuntunnya untuk meraba bagian darinya. Selina menelan ludahnya.
“Suka?” tanya Leonhard sedikit manja. Selina hanya berdehem membuat Leonhard tertawa kecil.
“Can I…?” Leonhard menanyakan konsen kepada Selina sebelum dia menyentuh tubuhnya lebih jauh. Selina menatapnya dengan mata besar yang polos itu.
“As you please.” Matanya berkaca-kaca, tubuhnya gemetar antara rasa lemah dan keinginan yang tidak bisa lagi dia bendung.
Leonhard terdiam. Dadanya naik turun, jelas dia ingin melahap tubuh kecil itu. Tapi dia juga sadar, Selina bukan dirinya.
“Selina…” suaranya berat dan serak. “Aku gak mau salah langkah. I won’t take advantage of you.”
Selina menggeleng pelan. “You’re not. Kan… aku sudah kasih izin. Please… aku bisa gila. I need it,” lirih Selina, tangannya masih mengelus abs-nya.
Leonhard menelan ludah. Nafasnya tercekat. Dia masih menahan diri untuk tidak menjadi buas, tapi dengan tangan Selina yang terus menjelajahi tubuhnya… dia bisa cepat lepas kendali.
“I need you.”
Saat itu juga, Selina melempar pakaiannya, meninggalkanya hanya jeans dan bra yang dikenakan. Leonhard terkesiap—dia menelan ludah.
“God..” gumamnya.
Tangan Selina menuntun tangannya untuk menyentuh tubuhnya yang terkspos. Leonhard menggeram. Selina melempar kepalanya kebelakang saat tangan besar itu menyentuhnya. Dia menggigit bibir bawahnya menahan suara-suara aneh keluar.
“Jangan di tahan. Aku mau dengar suaramu,” bisik Leonhard. Suara yang ditahan pun langsung keluar. Pretty. Seperti musik di telinga Leonhard.
“Good girl.”
Degup jantung Selina semakin kencang ketika Leonhard melanjutkan permainanya. Keringat menetes di pelipisnya.
Ciuman Leonhard semakin turun ke perut, meninggalkan bekas ciuman itu. Tangannya mendorong Selina untuk berbaring di kasur. Kemudian tangannya menyentuh ujung jeans Selina. Mata mereka kembali bertemu, Leonhard seakan memjnta izin kepada sang pemilik tubuh indah itu yang menjawab dengan anggukan pelan.
“Saya tanya sekali lagi. Do you really want this?” tanya Leonhard, tatapannya langsung ke mata Selina. Dia benar-benar ingin meyakinkan Selina kalau mungkin setelah ini… hubungan mereka akan sedikit berubah.
“Yes, please.”
Leonhard terkekeh. Dia bergegas melepas celananya, meninggalkan bokser yang menunjukkan benjolan besar di tengah-tengah pahanya. Selina membulatkan mata sambil menelan ludahnya.
“Sebelum saya lanjut… kamu pernah…?” tanya Leonhard. Dia ingin memastikan tidak mengambil hak berharganya dengan semena-mena.
Pipi Selina sedikit merona dengan pertanyaannya, sedikit ragu menjawab pertanyaan itu.
“Uhm… does… d**do count?” Suaranya kecil hampir seperti berbisik. Leonhard tersenyum gemas dengan jawaban Selina.
Dia mengelus pipi Selina dengan lembut, “Then… I won’t take it away from you.”
“B-but.. I…”
“No, Selina. I want it to be your special person. Okay?”
Selina hanya mengangguk, pasrah. Padahal dia ingin yang lebih.
“Jangan remehkan skill jari dan lidahku. Kamu masih bisa merasakan surga dunia dengan itu,” ujar Leonhard sedikit sombong, sebelum dia mencium bibirnya lagi.
Benar. Selina yakin seorang Leonhard pasti punya skill yang hebat dalam hal ini.
Suasan kamar dipenuhi nafas berat dan denyutan jantung yang berpacu gila. Setiap sentuhan, setiap bisikan, seolah menelan mereka berdua berpacu ke jurang yang sama. Selina tidak bisa lagi membedakan mana rasa sakit, mana kenikmatan—semuanya bercampur, dan hanya ada satu orang yang berhasil menenangkan dan membakar tubuhnya; Leonhard.
Tangannya menggenggam erat sprei, matanya setengah terpejam, sementara Leonhard membungkuk, berbisik tepat di telinganya.
“Kamu milikku malam ini.”
…
Beberapa waktu setelahnya, Selina dan Leonhard terbaring lemah di kasur. Mata Selina mulai sayup dengan senyum tipis yang masih menggantung di bibirnya. Leonhard menatapnya dalam diam, jemarinya menyusuri rambut lembab itu. Ada sesuatu dalam tatapn Selina yang memancarkan kepercayaan penuh pada dirinya.
Dan itu membuat Leonhard merasa… kalah dan takut.
Dia bangkit pelan, mengenakan kembali pakaiannya. Saat dia menoleh sekali lagi, tatapannya jatuh pada Selina yang terbalut selimut. Cantik. Rapuh. Tak berdosa.
Namun, saat dia hendak melangkah keluar kamar, matanya tertuju pada stelan baju yang menggantung tepat di depan ranjang—stelan pakaian Baskara, identitas satunya sebagai dosen. Dia buru-buru mengambil stelan pakaian itu dan melemparnya ke dalam lemari. Berharap dengan keadaan Selina sejak menginjak kamar ini, tidak melihat.
Nafasya sedikit tercekat dan dadanya sesak, memikirkan bagaimana jika waktu itu datang—waktu Selina mukai menyusun puzzle bahkwa Leonhard dan Baskara adalah satu orang yang sama.
Dan… pikirannya semakin berantakan mengingat baru saja dia bermain dengan tubuh kecil itu.
🥂🥂🥂
Hai semuanya. Bab ini ditulis sesuai aturan platform yang hanya mengizinkan adegan intim ditulis secara implisit. Tapi kalau kalian penasaran versi aslinya (tanpa sensor🫣), cek di Karyakarsa aku. Bisa cari nama kreator aku “heyseraphina” atau langsung judulnya “Midnight Professor”. Seriusan versi aslinya nyampe 3k kata🫠. Ini yang mau-mau aja ya🤫