Langit di atas Lembah Seribu Pedang selalu berkabut, seolah-olah para roh pedang zaman kuno sengaja menutupinya dari mata dunia luar. Di balik kabut itu, terdapat sebuah lembah yang luas, terjal, dan dipenuhi bangunan megah terbuat dari batu hitam. Di puncak-puncak tebingnya, ratusan pedang kuno tertancap, bersinar samar seperti bintang yang tertidur. Konon, setiap pedang telah menyaksikan darah dan kemenangan yang tak terhitung jumlahnya sepanjang ribuan tahun sejarah klan ini.
Di tempat inilah, klan terbesar dalam benua Timur, Klan Lembah Seribu Pedang, berdiri tegak sebagai simbol kekuatan, kejayaan, dan ketakutan.
Klan ini memiliki struktur kekuasaan yang ketat:
Murid luar, ribuan pemula yang menghabiskan waktunya untuk latihan dasar.
Murid dalam, mereka yang telah membuktikan bakat serta disiplin.
Murid senior, para ahli pedang yang menjadi pilar kekuatan klan.
Murid elit, generasi terpilih yang berhak memegang pedang roh dan mempelajari teknik pamungkas.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Junot Slengean Scd, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB.30 Perpisahan Di Lembah Seribu Pedang
Langit sore di atas Lembah Seribu Pedang dipenuhi warna lembayung.
Kabut spiritual berputar pelan di antara ribuan bilah pedang yang tertancap di tebing-tebing lembah, menciptakan suara gemerincing yang seolah menangis.
Di puncak tertinggi lembah itu, berdiri dua sosok — Xio Tian, sang patriark sejati yang baru bebas dari segel, dan Xio Lun, cucunya, yang kini memegang pedang legendaris Pedang Kegelapan di punggungnya.
Xio Tian menatap lembah yang dulu ia bangun dengan darah dan kerja keras.
Kini, lembah itu kembali berdiri, tapi harga yang harus dibayar terlalu mahal.
“Lun’er… klan ini selamat karena keberanianmu,” ucap Xio Tian dengan suara bergetar.
“Kau telah membawa kembali kehormatan Lembah Seribu Pedang… bahkan tanpa aku sadari, kekuatanmu sudah melampaui semua yang pernah aku bayangkan.”
Xio Lun menunduk sedikit, masih dengan tatapan hormat.
“Kakek terlalu meninggikan Lun’er. Aku hanya melakukan apa yang seharusnya dilakukan seorang keturunan klan ini.”
Xio Tian tersenyum tipis, lalu menepuk pundak cucunya.
“Kau benar-benar cucu dari Xio Wu. Semangatmu sama seperti ayahmu… keras kepala dan berani menentang langit.”
Ucapan itu membuat mata Xio Lun sedikit bergetar — nama ayahnya selalu memunculkan luka lama.
Angin sore bertiup lembut.
Xio Lun menatap jauh ke arah barat, di mana matahari tenggelam perlahan, mewarnai cakrawala dengan warna emas kemerahan.
“Kakek,” ucapnya pelan, “aku sudah memutuskan… aku akan pergi ke Benua Barat. Aku harus menemukan Ibu. Aku yakin dia masih hidup.”
Xio Tian terdiam beberapa saat. Tatapannya berat, namun penuh pengertian.
“Kau telah tumbuh menjadi pria sejati, Lun’er. Tapi Benua Barat bukan tempat biasa. Di sana, kekuatan para kultivator berada jauh di atas apa yang kita temui di sini.
Bahkan klan sekuat Lembah Seribu Pedang pun tidak berani sembarangan menapakkan kaki di wilayah itu.”
Xio Lun mengangguk pelan.
“Aku tahu, Kek. Tapi… aku tak bisa berdiam diri. Aku tak akan tenang sebelum menemukan Ibu, atau setidaknya… mengetahui kebenarannya.
Xio Tian menarik napas panjang, lalu mengeluarkan sebuah gulungan emas kecil dari jubahnya.
Gulungan itu memancarkan aura suci pedang yang sangat murni.
“Ini adalah Teknik Warisan Langit Pedang, peninggalan leluhur tertua klan kita. Aku sendiri belum menuntaskannya… tapi mungkin, di tanganmu, teknik ini akan mencapai bentuk sempurnanya.”
Xio Lun menerima gulungan itu dengan kedua tangan dan membungkuk dalam.
“Lun’er akan menjaganya dengan nyawa.”
Xio Tian tersenyum.
“Kau tidak perlu menjaganya… kau hanya perlu menghidupkannya kembali.
Lembah Seribu Pedang akan bersinar lagi suatu hari nanti — di bawah tanganmu.”
Xio Lun terdiam sejenak. Dalam hati, ia tahu kakeknya menganggapnya pewaris masa depan lembah itu.
Namun ia tak bisa menceritakan tentang Dewa Perang, Mutiara Teratai Ilahi, dan Pedang Kegelapan yang kini terikat dengan jiwanya.
Itu adalah rahasia yang bahkan langit tak boleh tahu.
Sebelum pergi, Xio Lun menatap wajah tua kakeknya dengan dalam.
“Kakek… jaga diri. Lun’er berjanji akan kembali — membawa Ibu, dan kehormatan klan ini.”
Xio Tian menatap cucunya lama, lalu mengangguk pelan.
“Pergilah. Tapi ingat, jangan kehilangan jati dirimu. Dunia di luar sana kejam, tapi mereka yang membawa cahaya di dalam hati tak akan mudah dikalahkan.”
Xio Lun tersenyum tipis.
“Tenang saja, Kek. Aku akan menorehkan nama Lembah Seribu Pedang di langit Benua Barat.”
Angin lembah bertiup kencang ketika Xio Lun menuruni puncak.
Ratusan murid dan tetua yang tersisa berdiri di bawah, menatap sosok muda itu dengan rasa hormat.
Mereka tahu, sosok itu adalah masa depan lembah — bahkan jika ia menolak menjadi patriark, namanya akan selalu menjadi legenda.
Pedang Kegelapan bergetar pelan, seakan turut berpamitan.
Xio Lun melangkah pergi, meninggalkan lembah yang telah menjadi saksi darah keluarganya.
Cahaya senja memantul di bilah pedangnya, seolah dunia sendiri mengakui — seorang legenda baru telah berangkat.
Di bawah cahaya senja, Xio Lun berjalan ke arah barat — menuju tanah asing, ke benua tempat rahasia lama dan kekuatan para dewa tertidur.
Di sanalah akan dimulai babak baru perjalanannya: