Malam bahagia bagi Dila dan Arga adalah malam penuh luka bagi Lara, perempuan yang harus menelan kenyataan bahwa suami yang dicintainya kini menjadi milik adiknya sendiri.
Dalam rumah yang dulu penuh doa, Lara kehilangan arah dan bertanya pada Tuhan, di mana letak kebahagiaan untuk orang yang selalu mengalah?
Pada akhirnya, Lara pergi, meninggalkan tanah kelahirannya, meninggalkan nama, kenangan, dan cinta yang telah mati.
Tiga tahun berlalu, di antara musim dingin Prancis yang sunyi, ia belajar berdamai dengan takdir.
Dan di sanalah, di kota yang asing namun lembut, Lara bertemu Liam, pria berdarah Indonesia-Prancis yang datang seperti cahaya senja, tenang, tidak terburu-buru, dan perlahan menuntunnya kembali mengenal arti mencintai tanpa luka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maple_Latte, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab: 5
Malam itu, langit seperti ikut berduka.
Awan menutup bulan, bintang-bintang pun menyingkir.
Dan di kamar kecil bersebelahan dengan kamar pengantin, Lara duduk memeluk lututnya sendiri.
Tubuhnya gemetar, bukan karena dingin malam, tapi karena luka yang tak bisa ditahan.
Di dinding tipis pemisah kamar, suara rintihan itu terdengar jelas.
Desahan yang dulu ia kenal, suara yang dulu hanya ia yang mendengarnya, kini menjadi milik orang lain.
Milik adiknya.
Suaminya, lelaki yang pernah ia yakini sebagai takdir, kini sedang menyalakan bara di tubuh perempuan lain, perempuan yang lahir dari rahim yang sama dengannya.
Dila dan Arga.
Sepasang pengantin baru yang tengah merayakan cinta.
Dan Lara, perempuan yang dulu juga pernah mengenakan mahkota pengantin, kini hanya penonton dalam kisah yang dulu adalah miliknya.
Air matanya menetes tanpa suara.
Satu per satu, menitik di punggung tangannya.
Ia tidak menjerit, tidak mengumpat, tidak mengamuk.
Sebab ia tahu, tidak ada yang akan mendengar.
Tidak ada yang akan peduli.
Dalam diam, ia meratapi nasibnya sendiri.
Betapa kehidupan selalu menempatkannya di posisi kalah.
Sejak kecil, Dila selalu lebih disayangi, lebih diperhatikan, lebih dimenangkan.
Dan kini, bahkan dalam hal cinta pun, Tuhan seperti masih berpihak pada sang adik.
“Kenapa selalu aku yang harus mengalah?” bisiknya lirih.
Suara itu nyaris hilang, tertelan oleh dinding dan desah di seberang.
“Dulu, aku menyerahkan mainanku untuk Dila, menyerahkan kebahagiaan kecilku supaya dia tersenyum.
Dan sekarang, aku menyerahkan suamiku…”
Kata itu berhenti di tenggorokannya.
Sesak.
Lara menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan, menahan isak yang nyaris pecah.
Namun air mata itu tetap tumpah, deras dan hangat, membawa serta seluruh luka yang tersimpan.
Ia menatap cincin di jarinya.
Logam perak yang dulu disematkan dengan janji, kini terasa begitu dingin.
Ia ingin melepasnya, tapi jarinya gemetar.
Cincin itu seakan menolak pergi, seolah menjadi belenggu yang tak bisa diputuskan oleh kehendak semata.
“Arga…”
Namanya disebut pelan, seperti doa yang tak sampai.
“Apakah cintamu memang hanya sementara? Atau sejak awal, aku hanya tempat singgah?”
Tidak ada jawaban.
Yang terdengar hanya napas tersengal di seberang dinding dan suara kasur yang berderit pelan, ritmis, menyayat.
Lara menutup telinganya.
Namun semakin ia menutup, suara itu semakin jelas.
Menyelinap ke sela-sela jemari, menghujam langsung ke hati.
Ia bangkit.
Melangkah gontai menuju wastafel, menatap wajahnya di cermin.
Wajah pucat dengan mata sembab, seperti perempuan yang baru kehilangan dunia.
Dan memang, dunia Lara sudah hancur, retak dari dasar yang paling dalam.
“Mungkin aku tidak pantas bahagia,” ucapnya pelan.
Cermin membisu, hanya memantulkan sosok yang rapuh.
“Dulu aku pikir, mencintai dengan tulus akan cukup untuk membuat seseorang bertahan. Tapi ternyata, cinta tidak pernah menjamin apa pun.”
Ia berjalan menuju kamar mandi.
Membuka kran air, lalu mengambil wudhu perlahan.
Air yang dingin menyentuh kulitnya, menenangkan sedikit bara di dada.
Namun saat air itu menyentuh wajahnya, air mata ikut jatuh bersama, bercampur tak terbedakan.
Selesai berwudhu, ia menggelar sajadah.
Sajadah lusuh berwarna hijau tua yang dulu ia beli bersama Arga, saat mereka masih sepasang kekasih yang bahagia.
Kala itu, Arga pernah berbisik, “Semoga nanti kita selalu salat bersama.”
Janji itu kini terasa seperti pisau tumpul yang menggores dari dalam.
Lara menengadahkan tangan.
Tangannya bergetar.
Mulutnya kaku.
Namun akhirnya, suaranya pecah juga, lirih, bergetar, tapi penuh dengan kejujuran yang menyayat.
“Ya Tuhan…”
Suara itu begitu pelan, tapi terasa memenuhi seluruh ruangan.
“Di mana kebahagiaan untukku? Mengapa hanya sekejap Kau beri, lalu Kau ambil semuanya tanpa sisa?”
Tangisnya pecah, tanpa suara.
Hanya bahunya yang berguncang, hanya air matanya yang jatuh berturut-turut ke sajadah.
“Dosa besar apa yang pernah aku lakukan, Tuhan?”
Ia menatap ke arah langit-langit, seolah mencari wajah yang tak tampak.
“Aku selalu berusaha menjadi anak yang patuh, istri yang setia, kakak yang penyayang. Tapi mengapa… mengapa aku harus menerima luka seperti ini?”
Lara menunduk lagi, menatap lantai yang basah oleh air matanya sendiri.
“Apakah baktiku kepada orang tuaku kurang?
Apakah kasihku sebagai seorang kakak tidak cukup?
Apakah cintaku sebagai seorang istri masih kurang murni?”
Suaranya patah di tengah doa.
Lara menekan dadanya, terasa sesak, seperti ada batu besar yang menghimpit.
“Jika ini ujian, Tuhan… mengapa rasanya begitu berat?
Apakah Engkau yakin aku sanggup melewatinya?
Aku bahkan tidak tahu bagaimana harus melanjutkan hidup setelah ini.”
Hening.
Angin malam menyelinap dari celah jendela, membawa aroma hujan yang tertahan.
Langit seakan menatap Lara dari jauh, dengan dingin, dengan diam yang panjang.
Lara kembali berucap, dengan nada lebih pelan, lebih menyerah:
“Apakah Engkau ingin aku mengikhlaskan semuanya? Tapi bagaimana mungkin, Tuhan?
Bagaimana mungkin aku mengikhlaskan lelaki yang aku cintai dengan seluruh jiwaku?
Bagaimana mungkin aku mengikhlaskan kebahagiaan yang selama ini aku doakan setiap malam?”
Tangisnya kini tak bisa lagi dibendung.
Ia menunduk, menutup wajah dengan kedua tangan, dan terisak tanpa suara.
Tangis yang tidak memanggil siapa pun, tidak berharap penghiburan dari mana pun.
Tangis yang hanya dimengerti oleh dirinya sendiri, dan mungkin, oleh Tuhan yang ia pertanyakan.
Waktu berjalan lambat.
Suara malam makin sunyi.
Hanya detak jam dinding dan isak tertahan yang mengisi ruang.
Lara terpejam.
Dalam gelap matanya, ia melihat potongan masa lalu, senyum Arga di hari pernikahan mereka, tangan Arga yang menggenggamnya di pelaminan, doa-doa yang mereka ucapkan bersama.
Semua itu kini terasa seperti mimpi buruk yang indah.
Ia ingin marah, tapi hatinya sudah terlalu lelah.
Ia ingin membenci, tapi cinta itu masih ada, meski menyakitkan.
“Kalau memang ini takdirmu untukku, Tuhan,” bisiknya lemah,
“Ajarkan aku cara untuk bertahan tanpa harus membenci.
Ajarkan aku cara untuk tetap berdoa, meski Kau hancurkan semua alasan untuk percaya.”
Suara itu menghilang bersama angin.
Tubuh Lara perlahan tersungkur di atas sajadah, menunduk dalam sujud yang lama.
Air matanya terus menetes, membasahi kain sajadah, membentuk lingkaran basah yang lebar.
Dan di tengah kesunyian itu, Lara terus berbicara pada Tuhan dalam diamnya:
tentang cinta yang dikhianati, tentang pengorbanan yang sia-sia, tentang luka yang tak sembuh.
Ia memohon agar hatinya tidak sepenuhnya mati.
Agar masih ada cahaya kecil di dalamnya, meski samar.
Malam semakin larut.
Suara dari kamar sebelah telah berhenti, tergantikan oleh napas tenang dua insan yang baru saja saling memiliki.
Namun di sisi lain dinding itu, ada seorang perempuan yang kehilangan seluruh makna dari kata “memiliki”.
Lara mengangkat wajahnya perlahan.
Matanya sembab, tapi ada ketenangan yang aneh di sana, ketenangan yang datang setelah seluruh tangis tumpah.
Ia tahu, tidak akan ada jawaban malam ini.
Tapi setidaknya, ia sudah mengeluarkan seluruh yang ia tahan.
“Jika besok aku masih bisa membuka mata,” katanya pelan,
“itu artinya Kau masih memberiku kesempatan, Tuhan.
Mungkin bukan untuk bahagia… tapi setidaknya untuk belajar menerima.”
Ia kembali menutup mata.
Air mata terakhir jatuh, pelan, membasahi ujung bibirnya yang nyaris tersenyum.
Dan malam itu, dunia diam, menyaksikan seorang perempuan yang berjuang sendirian,
mempertanyakan cinta, memohon pengampunan, dan mencoba menemukan Tuhan
di antara serpihan hatinya yang hancur.
******
Untuk readers selamat datang di karya baru author, untuk yang sudah membaca. Terima kasih banyak, jangan lupa support author dengan like, komen dan vote cerita ini ya biar author semangat up-nya. Terima kasih😘😘😘
Aku udh mmpir.....
Dr awl udh nysek,kbyang bgt skitnya jd lara....d khianati orng2 trdkatnya,apa lg dia tau kl dia cm ank angkat.....btw,hkum krma udh mlai dtang kya'nya....mnimal tau rsanya khilangn dn smga mrsakn pnyesaln s'umr hdp.....
sekarang nikmati saja karma kalian
masa ga bisa move on Ampe tuir gitu come on